1
RELASI TUHAN DAN MANUSIA: PENDEKATAN SEMANTIK TERHADAP AL-QUR’AN
“God and Man in The Koran: Semantics of The Koranic Weltanschauung”
Oleh: Imam Sudarmoko
NIM:14750004
BAB I
PENDAHULUAN
Buku karya Prof. Toshihiko Izutsu ini merupakan kajian semantik terhadap Relasi Tuhan dan Manusia Pendekatan Semantik Terhadap Al-Qur’an. Dalam melakukan analisis, penulis mengacu pada Al-Qur’an. Sebagai penunjang analisisnya, Prof. Toshihiko Izutsu memberikan kutipan-kutipan puisi dari masa pra-Islam (jahiliyah) yang menerangkan bagaimana secara historik suatu konsep lahir, berkembang dan diantisipasi oleh al-Qur’an. Dengan demikian konsep-konsep relasi Tuhan dan Manusia dijelaskan secara semantik-diakronik dan bagaimana konsep-konsep tersebut digunakan di luar bidang agama.
Buku yang ditulis berdasarkan kuliah-kuliah yang diberikan oleh penulisnya di Institut Kajian Keislaman Universitas McGiil, Kanada ini terlihat mengkaji al-Qur’an dengan memilih topik tertentu, yakni hubungan personal antara Tuhan dan Manusia. Metode yang dipilihnya adalah metode semantik atau tepatnya analisis semantik terhadap data-data yang telah disediakan oleh Al-Qur’an. Tekanannya lebih kepada metodologi, yakni analisis semantis, daripada materi, yakni hubungan antara Tuhan dan Manusia. Keistimewaan dari buku Izutsu ini adalah relatif baru dalam kajian Al-Qur’an juga penggunaan data-data yang tersimpan dalam khazanah sastra Arab klasik, terutama dari masa sebelum Islam. Buku ini dapat memberikan manfaat bagi orang yang mempelajari sejarah pemikiran Islam.
Uraian yang diberikan penulis mengenai sejarah istilah-istilah kunci dalam al-Qur’an menambah juga pada sistem-sistem pemikiran yang lahir dan berkembang
2
dalam dunia Islam (kalam dan tasawuf) dan konsep lain seperti tentang akal yang diambil dari luar Islam dan diungkapkan dengan istilah Arab. Papran ini penting terutama untuk mengingatkan bahwa suatu istilah tertentu dalam tradisi pemikiran tertentu semisal (kalam, tasawuf dan filsafat) yang sama dalam tradisi yang lain, karena perlu juga kajian yang cermat terhadap istilah-istilah kunci dalam masing-masing tradisi pemikiran.
A. Kehidupan Toshihiko Izutsu
Toshihiko Izutsu lahir di Tokyo tahun 4 Mei 1914. Ia adalah pengikut agama Zen-Budha. Ia lahir di tengah keluarga pebisnis yang kaya di Jepang.1Ia menguasai banyak bahasa negara-negara lain, tidak terkecuali bahasa Arab dan Inggris. Kegemarannya mempelajari bahasa, dimulai dari kejenuhannya mempelajari agama Zen. Karena sebagai anak pemimpin agama Zen-Budha, ayahandanya terlalu ketat dalam mendidik penghayatan terhadap agama Zen. Kejenuhanya itu dilampiaskan untuk mempelajari berbagai bahasa, Islam dan al Qur’an, hingga ia berhasil melahirkan 4 karya tentang kajian semantik al Qur’an.2Selain itu ia adalah seorang Professor pada Institut Studi Kebudayaan dan Bahasa Universitas Keio, Tokyo, dan Professor tamu pada Institut Islamic Studies, McGill University Montreal, dimana selama enam bulan setiap tahunnya ia mengajar mata kuliah Teologi dan Filsafat Islam. Pendekatan yang ia gunakan dalam kajian religius adalah linguistic dan ilmu sosial.3Karya-karyanya yang lain diantaranya adalah: Lenguage and Magic: Studies in The Magical Fungtion of Speech (1956), The Structure of Ethical Terms in The Koran (1959) (yang kemudian direfisi menjadi Ethico-Religious Concepts in The Qur’an), God and Man in The Koran: a Semantical Analysis of The
1http://en.wikipedia.org/wiki/Toshihiko_Izutsu
2http://digilib.uin-suka.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=digilib-uinsuka--liesmaysar-940.
3http://www.bible.ca/islam/library/islam-quotes-izutsu.htm.
3
KoranicWestanchauung (1964), dan The Concept of Belief in Islamic Theology (1965).
4
BAB II
ISI BUKU
A. Fokus Pembahasan
Dalam pembahasan tentang relasi Tuhan dan Manusia yang didasarkan pada Qur’an, penulis membedakannya menjadi tiga kategori4:
1. Kategori yang menunjukkan dan menguraikan tentang metodologi kajian yaitu Semantik terhadap data-data yang disediakan oleh Al-Qur’an dan Weltanschauung Al-Qur’an tentang relasi Tuhan dan Manusia.
2. Kategori yang menjelaskan tentang konsep Allah dalam makna dasar dan makna relasional, paganisme arab, orang-orang Yahudi dan Kristen serta Tuhan orang-orang hanif.
3. Selanjutnya menjelaskan tentang topik penting yang berkaitan dengan relasi Tuhan dan Manusia.Yaitu terbagi menjadi empat, diantaranya adalah 1. Relasi Ontologis: antara Tuhan sebagai sumber eksistensi manusia yang utama dan manusia sebagai representatif dunia wujud yang eksistensinya berasal dari Tuhan. Dengan istilah yang lebih teologis hubungan pencipta-makhluk antara Tuhan dan manusia. 2. Relasi Komunikatif: di sini, Tuhan dan manusia di bawa ke dalam korelasi yang dekat satu sama lain, Tuhan mengambil inisiatif melalui komunikasi timbal balik. Dua cara komunikasi yang berlainan dapat dibedakan: (1) tipe verbal dan (2) tipe non verbal. Tipe komunikasi verbal dari atas ke bawah adalah Wahyu menurut pengertian yang sempit dan teknis, sedangkan bentuk dari bawah ke atas mengambil bentuk “sembahyang” (du’a). Tipe komunikasi non verbal dari atas adalah tindakan Iahiah menurinkan (tanzil) “tanda-tanda” (ayat). Dari bawah ke atas, kmunikasi dalam bentuk ibadah ritual (salat) atau yang lebih umum lagi praktek-praktek penyembahan.
4 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia , hlm. 20.
5
3. Relasi Tuhan-hamba: relasi ini melibatkan di pihak Tuhan sebagai Tuan (Rabb) semua konsep yang berhubungan dengan keagungan-Nya, kekuasaan-Nya, kekuatan Mutlak-Nya dan lain sebagainya, sedangkan di pihak manusia sebagai “hamba-Nya” (‘abd) seluruh konsep yang menunjukkan kerendahan, kepatuhan mutlak, dan sifat-sifat lainnya yang selalu dituntut pada seorang hamba. Semenatra di pihak manusia berkolerasi negative dengan konsep-konsep yang menunjukkan ketinggian, kesombongan, merasa cukup, dan sifat-sifat serupa lainnya yang tercakup di dalam dan terkait dengan kata jahiliyyah. 4. Relasi Etik: relasi ini dibedakan pada perbedaan yang paling dasar antara dua aspek yang berbeda yang dapat dibedakan dengan konsep tentang Tuhan itu sendiri, Tuhan yang kebaikannya tidak terbatas, maha pengasih, pengampun dan penyayang di satu sisi. Tuhan yang murka, kejam, dan sangat keras hukumannya, di sisi yang lain. Demikian pula dari sisi manusia terdapat perbedaan dasar antara rasa syukur di satu pihak dan takut kepada Tuhan(taqwa) di pihak lain. Sebagaimana telah kita lihat di atas, syukr dan taqwa bersama-sama membentuk katagori iman, dan ini akhirnya membentuk perbedaan yang tajam dengan kufr baik dalam pengertian “tidak bersyukur” maupun ingkar.
Dari beberapa kategori di atas, yang perlu diperhatikan adalah bahwa penulis berupaya untuk menampilkan suatu kajian metodologi dan penggunaan metodologi semantik tersebut terhadap pengkajian data-data al-Qur’an yang berkaitan dengan Relasi Tuhan dan Manusia.
B. Semantik & Al-Qur’an
I. Semantik Al-Qur’an
Menurut penulis, hal yang menjadi keistimewaan karya yang berjudul Relasi Tuhan dan Manusia dalam al-Qur’an ini adalah terletak pada metode analitik yang diterapkan terhadap data al-Qur’an. Dalam hal ini penulis menggunakan teori semantik dalam analisisnya. Suatu kajian analitis terhadap istilah-istilah kunci dari suatu bahasa dengan dengan maksud untuk akhirnya menangkap secara konseptual pandangan dunia (Welstanchauung) dari orang-orang yang menggunakan bahasa itu
6
sebagai alat tidak hanya dalam berbicara dan berpikir, namun lebih penting lagi dalam menangkap dengan pikiran dan menerjemahkan dunia yang mengelilinginya. Kajian semantik yaitu cabang ilmu linguistik yang meneliti arti atau makna.5 Seluruh pokok persoalan dalam membangun teori semantik terletak pada ‘definisi’ tentang makna, yaitu pemikiran sistematik tentang sifat dasar makna.6 Toshihiko dalam buku ini berusaha memahami makna kalimat yang ada di dalam al-Qur’an melalui definisi langsung, yang mengkorelasikan kata tersebut langsung dengan bentuk realitas non-linguistik yang jelas7. Menurut penulis, untuk memahami kategori semantik suatu kata, maka harus diselidiki bagaimana keadaan kata tersebut, jenis sifatnya, bentuk perbuatannya berdasarkan bahasa Arab kuna.8
Ada perbedaan antara pendekatan semantis ini dengan pendekatan tematik. Pendekatan tematik berusaha untuk menangkap konsep al-Qur’an mengenai tema tertentu, sedangkan semantik berusaha untuk mengungkap pandangan dunia al-Qur’an melalui analisis terhadap istilah-istilah kunci yang dipakai kitab suci ini. Namun, keduanya saling mengisi atau lebih tepatnya pendekatan Izutsu dapat digunakan untuk memperkokoh landasan pemahaman terhadap konsep-konsep al-Qur’an yang diusahakan oleh pendekatan tematik.
Bagian utama kajian ini hampir secara eklusif berhubungan dengan masalah hubungan personal antara Tuhan dan manusia menurut cara pandang Qur’ani dan masalah-masalah sekitar topik khusus tersebut. Alternatif judul ini menguntungkan dilihat dari dua penekanan yang memberikan karakteristik kajian ini secara keseluruhan sejak awal: semantik di satu pihak dan Al-Qur’an di pihak lain.
Judul semantik Al-Qur’an menunjukkan bahwa karya ini sejak awal konsisten menggunakan metode analisis semantik ataupun konseptual terhadap bahan-bahan
5 Verhaar, J.W.M. Asas-asas Linguistik Umum. hlm. 385.
6 Leech, Geoffrey. Semantik. hlm. 11.
7 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, hlm. 30.
8 Ibid.
7
yang disediakan oleh kosa kata Al-Qur’an. Ini juga menunjukkan dua penekanan dalam studi ini. Semantik yang merujuk pada aspek metodologis ini dan Al-Qur’an merupakan sisi materialnya. Keduanya sama-sama penting, tetapi secara praktis sesuai dengan tujuan kajian ini, aspek pertama barangkali lebih penting dari yang kedua. Penulis juga menghabiskan pada bagian pertama tentang aspek metodologis masalah-masalah agar menyadarkan para isnlamis akan penting dan bernilainya cara pandang baru terhadap masalah-masalah lama.
Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwasannya semantik secara etimologis memiliki arti ilmu yang berhubungan dengan fenomena makna dalam pengertian yang lebih luas dari kata, dengan kata lain tidak memiliki kesatuan bentuk ilmu semantik yang rapi dan teratur, semua yang dimiliki hanya sejumlah teori tentang makna yang beragam. Penulispun mengartikan istilah semantik adalah kajian analiti terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai pada pengertian konseptual Weltanschauung atau pandangan duniamasyarakat yang menggunakan bahasa itu, tidak sebagai alat bicara atau berfikir, tetapi yang lebih penting penkonsepan dan penafsiran dunia yang melingkupinya.
Semantik Al-Qur’an akan mempermasalahkan persoalan-persoalan bagaimana dunia wujud distrukturkan, apa unsur pokok dunia, dan bagaimana semua itu terkait satu sama lian menurut pandangan kitab suci tersebut. Dalam pengertian ini ia semacam ontologi- suatu ontologi yang kongkret, hidup dan dinamika bukan semacam ontologi sistematik statis yang dihasilkan oleh filsuf pada tingkat pemikiran metafisika yang abstrak.
II. Keterpaduan Konsep-konsep Individual
Berbicara dalam istilah-istilah yang lebih umum, ketika kata-kata tersebut diambil dari kombinasi baku tradisionalnya dan kemudian ditempatkan ke dalam sebuah konteks yang sama sekali baru dabn berbeda, umum diketahui bahwa kata-
8
kata itu cenderung terpengaruh oleh perubahan tersebut. Ini dikenal sebagai pengaruk konteks terhadap makna kata. Kadang-kadang dampak ini hanya terasa perubahan tak kentara pada penekanan an sedikit nuansa evokasi efektif. Tetapi, yang lebih sering adalah perubahan drastis pada struktur makna kata tersebut. Dan hal ini benar bila kata-kata yang dipermaslaahkan dalam sistem baru tetap memiliki makna dasar yang sama dengan yang dimiliki pada sisitem lama.
Seperti contoh dalam Surah Al-Ahqaf (XLVI), ayat 28. Tuhan-tuhan selain Allah dihormati selain qurban, secara harfiah berarti sarana pendekatan yaitu pengambilan hati dari perantaraan. Mengacu pada kota kuno yang telah dimusnahkan akibat mereka keras kepala menolak beriman kepada Allah, dikatakan dengan agak kasar: “lalu mengapa tidak menolong orang-orang itu, tuhan-tuhan selain Allah yang mereka jadikan sebagai tempat memohon?”
فلولا نصرهم الذين اتخذوا من دون الله قربانا آلهة
Ayat-ayat tersebut menunjukkan secara jelas bahwa eksistensi Tuhan yang disebut Allah dan posisi tertingginya diantara tuhan-tuhan telah dikenal dan telah diketahui pada zaman Jahiliyyah. Tetapi Dia merupakan salah satu tuhan. Sistem nilai religious kuno ini benar-benar terancam dengan pernyataan Nabi Islam bahwa Than tertinggi ini tidak hanya tertinggi secara relatif dalam hierarki ketuhanan tetapi tertinggi secara mutlak, unik, dan Esa. Dengan demikian menurunkan semua martabat tuhan-tuhan lain ke dalam posisi batil “palsu” lawan dari haqq “nyata”.
Contoh lain, tentang kategori Jin, kita akan mendapatkan banyak bahan untuk dibicarakan dalam hubungannya dengan permasalahan Wahyu dan inspirasi puitik. Sebagai contoh tipikal, masalah penyembahan malaikat yang ada di Arabia kuno. Menurut informasi-informasi yang diperoleh dari hadis, tampak bahwa penyembahanmalaikat telah dipraktekkan secara luas di kalangan masyarakat jahiliyyah. Al-Qur’an sendiri menceritakan pada kita bahwa diantara mereka banyak yang percaya dan mengakui malaikat sebagai anak Allah. Kata-kata mal’ak atau
9
malak yang berarti malaikat dikenal baik tidak hanya di kalangan penduduk kota yang dalam hal ini mungkin dengan mudah terpengaruh oleh konsepsi agama yahudi dan Persia.
Perlu diperhatikan bahwa semuanya itu hanyalah contoh kecil dari penyusunan kembali konsep-konsep universal dan redistribusi nilai-nilai yang dimunculkan oleh ajaran baru Islam, yang secara radikal mengubah hakikat konsepsi Arab tentang dunia. Kita harus mengamati bahwa kata-kata tersebut belum berubah dasar makna aslinya, apa yang secara aktual berubah adalah rancangan umumnya, system umumnya dan dalam system baru ini masing-masing menemukan kedudukan barunya.
III. Makna Dasar dan Makna Relasional
Pada tahap ini penulis akan memberitahukan tentang perbedaan teknis antara apa yang disebut dengan makna dasar dan makna relasional.
Kata kitab misalnya, makna dasarnya baik yang ditemukan dalam Al-Qur’an ataupun di luar Al-Qur’an, kata kitab menerima makna yang luar biasa pentingnya sebagai isyarat konsep religious yang sangat khusus yang dilingkupi oleh cahaya kesucian. Ini dilihat dari kenyataan bahwasannnya konteks ini berdiri dalam hubungan yang sangat dekat dengan Wahyu Ilahi. Oleh karenanya, kata ini dalam konteks karakteristik Al-Qur’an harus dipahami dari segi semua istilah terkait ini dan keterkaitan ini sendiri memberikan kata kitab warna semantik yang sangat khusus.
Inilah yang akan penulis sebut dalam buku ini sebagai makna relasional, kata untuk membedakannyadengan makna dasar. Jadi, makna dasar kata adalah sesuatu yang melekat pada kata itu sendiri yang selalu terbawa dimanapun kata itu diletakkan, sedangkan makna relasional adalah sesuatu yang konotatif yang diberikan dan ditambahkan pada makna yang sudah ada dengan meletakkan kata itu pada posisi khusus dalam bidang khusus berada pada relasi yang berbeda dengan semua kata-kata penting lainnya dalam system tersebut.
10
IV. Kosakata dan Welthanschauung
Kita telah menela’ah sedikit contoh dari Al-Qur’an, tujuan kita sesungguhnya bukanlah menjelaskan perbedaan-perbedaan itu sendiri dengan contoh-contoh kongkret untuk menunjukkan bagaimana analisis semantik dari sisi relasional terhadap makna kata. Kemudian apa yang dikatan dengan makna relasional adalah manifestasi kongkret atau kristalisasi dari semangat budaya dan refleksi yang terpercaya dari kecenderungan umum, keadaan psikologi dan lainnya dari masyarakat yang memakai kata tersebut sebagai bagian kosa katanya.
Menurut penulis, ini juga menunjukkan analisis semantik, bukanlah analisis sederhana mengenai struktur bentuk kata maupun studi makna asli yang melekat pada bentuk kata atau analisis etimologi. Etimologi hanya dapat memberikan petunjuk bagi kita untuk mencapai makna dasar kata. Analisis semantik dalam konsepsi bermaksud mencapai lebih dari itu. Jika diklasifikasikan ia diakui sebagai ilmu budaya. Analisis unsur-unsur dasar dan relasioanal terhadap istilah harus dilakukan dengan sedemikian rupa, kombinasi dua aspek makna kita akan memperjelas aspek khusus, satu segi yang signifikan dengan budayanyaatau pengalaman yang dilalui oleh budya tersebut. Dan pada akhirnya jika kita mencapai tahap akhir semua analisis akan membatu kita merekonstruksi pada analitik struktur keseluruhan budaya tersebut sebagai konsepsi masyarakat yang sungguh-sungguh ada atau mungkin ada. Inilah yang disebut Welthanschauung semantik budaya.
Kata-kata yang memainkan peranan yang sangat penting dalam penyusunan struktur konseptual dasar pandangan dunia Al-Qur’an. Penulis sebut dengan istilah-istilah kunci Al-Qur’an. Allah, Islam, Iman, Keyakinan, Kafir, Inkar, Nabi, Rasul (Utusan Tuhan) adalah sejumlah contoh lainnya. Memisahkan, sebelum mengerjakan yang lainnya, istilah-istilah kunci dari bagian kosa kata Al –Qur’;an akan menjadi bagian yang sangat penting , tetapi akan menjadi sangat rumit bagi ahli semantic yang mengkaji Al-Qur’an dari sudut pandang ini.
11
Konsep jalan, sirath atau sabil memainkan bagian paling utama dalam pembentukan konsepsi religius khas Al-Qur’an. Kata-kata kunci ini mungkin dengan baik sekali diklasifikasikan dalam tiga kelompok utama. (1) Di tempat pertama muncul kata-kata yang mewakili konsep-konsep yang berkiatan dengan hakikat jalan itu sendiri. Al-Qur’an melihat dari sudut pandang mustaqim, sawiy dan sebagainya, (2) Konsep-konsep yang berhubungan dengan pilihan manusia, atau bimbinghan kepada jalan yang benar (huda, ihtida, rashad dan lain-lain), (3) Konsep-konsep tentang penyimpangan dari jalan yang benar (dalal, ghawayah, taih dan sebagainya).
C. Sejarah Istilah-Istilah Kunci Al-Qur’an
I. Semantik Sinkronik dan Diakronik
Inti dari buku ini menerapkan Welthanschauung Al-Qur’an melalui kosa kata. Meskipun begitu jelas, jika kita masih menekan pada beberapa persoalan yang kurang penting yang ditimbulkan oleh semantik historis berkenaan dengan perubahan yang terjadi pada beberapa isyilah kunci dalam Al-Qur’an karena perjalanan sejarah, hal ini terutama karena 3 alasan: Pertama: karena pada umumnya kajian terhadap persoalan tersebut hanya berdasarkan dua sudut pandang yang berbeda atau lebih, Kedua: dengan mengikutiperkembangan semantic beberapa istilah kunci dalam Al-Qur’an melalui system non Al-Qur’an yang muncul dalam Islam karena perkembangan zaman, Ketiga: Tela’ah yang cermat terhadap persoaln kemungkinan signifikasi semantic historis, sebaliknya akan memeperjelas keuntungan dan keterbatasan metode tersebut dan prinsip-prinsip khas semantic statis, sehingga memungkinkan kita untuk menggabungkan kedua semantic tersebut dengan cara yang sangat menguntungkan dalam menganalisis struktur kosa kata Al-Qur’an.
Menurut Ilmu linguistik modern kedua sudut pandang ini masing-masing disebut (diakronik) dan (sinkronik). Dikronik menurut pengertian etimologi adalah pandangan terhadap bahasa, yang pada prinsipnya menitikberatkan pada unsur waktu. Dengan demikian secara diakronik kosa kata adalah sekumpulan kata yang masing-masingnya tumbuh dan berubah secara bebas dengan caranya sendiri yang khas.
12
Adapun sinkronik adalah sudut pandang yang melintasi garis-garis historis kata-kata tersebut memungkinkan kiat untuk memperoleh suatu system kata yang statis.
Dengan demikian semantik historis bukanlah pelacakan sejarah terhadap kata-kata individual belaka unuk melihat kata-kata tersebut berubah maknanya karena perjalann sejarah. Interval tersebut dapat panjang atau pendek tergantung pada tujuan analisis. Misalnya: bahkan bahasa Al-Qur’an itu sendiri dapat dianggap sebagai proses historis yang berlangsung selama lebih dari dua puluh tahun dengan dua periode yang khas periode Makkah dan Madinah.
Sebagai upaya untuk menunjukkan persoalan ini dengan cara sederhana dan sejelas, penulis akan mengisolasikan tiga permukaan semantik yang berbeda pada awal sejarah kosa kata Al-Qur’an: (1) Sebelum turunnya Al-Qur’an atau jahiliyyah, (2) Masa turunnya Al-Qur’an dan (3) Setelah turunnya Al-Qur’an terutama apada masa Abbasyiah. Dengan demikian, pada tahap pertama, yakni masa pra Islam, kita memiliki tiga sistem kata yang berbeda pula: (1) Kosa kata Badwi murni yang mewakili Welthanschauung Arab yang sangat kuno dan berkarakter sangat nomaden, (2) Kosa kata kelompok pedagang, yakni pada hakikatnya sangat terkait dan berlandaskan pada kosa kata Badwi, (3) Kosa kata Yahudi – Kristen, suatu system istilah-istilah religious yang digunakan di kalangan Yahudi dan Kristen yang hidup di tanah Arab yangmencangkup persoalan hanafiah yang lebih banyak.
Dengan demikian, kata yang sama tampil bersama makna dasar yang sama dalam dua system yang berurutan tersebut, namun memiliki nilai dan konotasi yang sama sekali berada berdasarkan penggunaan sebagai istilah kunci pada satu system lainnya karena adanya hubungan khusus yang terbentuk di sekitar itilah kunci itu sendiri di dalam sektor khusus sistem tersebut. Dan sesungguhnya hal yang sama juga terjadi antara kosa kata Al-Qur’an dan system berikutnya, sekalipun dengan cara yang lebih halus dank arena itu kurang jelas.
II. Sistem Al-Qur’an dan Sistem Pasca Al-Qur’an
Dengan kata lain, Islam menghasilkan banyak system pemikiran yang berbeda pada periode pasca Al-Qur’an, yakni teologi, hukum, teori politik, filsafat, tasawwuf,
13
untuk menyebut beberapa system pemikiran yang terpenting. Masing-masing produk kultural Islam mengembangkan system konseptualnya sendiri, kosakata nya sendiri yang mencangkup sejumlah sub-sistem sebagaiman yang baru saja kita lihat dalam kasus kosa kata Al-Qur’an. Dengan demikian, kita sepenuhnya berhak untuk membicarakan kosa kata teologi Islam, kosa kata hokum Islam, kosa kata tasawwuf dan lain-lain menurut pengertian teknis yang tepat sebagaimana didefinisikan di atas. Sedangkan seluru satuan berbagai macam kosa kata tersebut nerupakan kosa kata bahasa Arab pada masa Islam Klasik.
Untuk tujuan khusus ini, terdapat struktur semantic system pasca Al-Qur’an. Masing-masing menghendaki perlakuan yang berbeda. Disini penulis akan menyebutkan tiga system diantara beberapa system tersebut: teologi, filsafat dan tasawwuf, dan memberikan contoh tipikal pada setiap kasus sehingga dapat memberikan ilustrasi pada setiap kasus sehingga dapat memberikan ilustrasi pokok pada bab ini.
Persoalan pertama yang perlu diperhatikan menyangkut teologi Islam adalah bahwa hamper seluruhnya berasal arti Al-Qur’an. Dan dalam persoalaan kasus ini kita dapat menggunakan kata material dengan pengertian yang lebih luas daripada yang digunakan secara ketat dan linguistic. Contoh: struktur konsep Allah ditransformasikan dalam system baru ini, perata dan terutama oleh posisinya yang secara konseptual berhubungan langsung dengan Sembilan puluh Sembilan Nama yang paling indah, seperti wahid “satu”, ghafur “Maha Pengampun”. Tetapi hal-hal semacam ini terdapat di dalam Al-Qur’an sebagai deskripsi sederhana yang harus diartikan secara naïf sebagaimana adanya, tampa direkayasa. Ini bermakna bahwa konsep Allah dipahami dengan istilah esensi (dzat) dan atribu (sifat), sehingga ini bermkana bahwa teolog sekarang dalam cara berfikir mengasimilasi cara berfikir khas Yunani, yang cenderung menafsirkan keseluruhan dunia wujud dan eksistensinya dari segi esensi dan atribut.
Bila beralih dari mistisisme ke filsafat, kita menemukan transformasi semantik yang sama yang lebih terdorong ke depan lagi. Jika dari semua system Al-Qur’an
14
teologi tetap setia menggunakan kata dan konsep Al-Qur’an yang asli, maka filsafat Islam menggunakan langkah yang berani dan mantap kea rah arabisasi system asing, dan persoalan terungkap dengan jelas dalam penggunaan istilah kunci Islam yang paling penting, misalnya Allah, nabi, wahyu, ‘aql dan lain-lain. Persoalan ini snagat rumit, karena tidak sevara langsung berangkat dari penggunaan kata-kata dalam Al-Qur’an. Para filsuf baik yang berkebangsaan Arab maupun non Arab, menggunakan bahasa Arab sebagai alat intelektual dalam berfikir dan menulis. Di satu sisi, berjuang untuk membangun kosa kata baru dala bahasa Rab yang akan mampu mengungkapkan gagasan-gagasan dan konsep Yunani secara tepat, namun disisi yang lain berusaha berpegang pada tradisi Al-Qur’an. Drai sisnilah sifat khusus makna relasioanal tersebut tumbuh disekitar istilah-istilah Al-Qur’an.
Sesuai dengan kecenderungan intelektual yang baru ini maka persoalan hubungna antara Iman dan Islam menjadi persoalan yang tidak begitu penting bagi pemikir Muslim. Masalah pokok menyangkut iman sekarang adalah bagaimana agar tersusun konsepnya, tidak terlalu menekankan pertentangan dengan kafir, sebagaimana dalam kasus pada tahan Al-Qur’an. Pendekatan persoalannya adalah: apa dan berapa banyak unsur-unsur konseptual yang tersusun? Dan pertanyaan yang dipahami dan dirumuskan denga menghendaki jawaban yang diberikan adalah jawaban analitik. Dengan demikian, berbagai macam jawaban yang benar-benar diberikan berdasarkan pertanyaan dasar semuanya sangat analitik, dalam pengertian sebagaimana pemahaman ilmu semantik modern terhadap kata tersebut. Definisi al-Shafi’i terhadap iman yang terkenal berdasarkan tigakonsep, (1) mebenarkan dalam hati, (2) pengakuan lisan, (3 melakukan kewajiban-kewajiban agama. Ini merupakan usaha yang jelas untuk memberikan jawaban terhadap pertanyaan tersebut melalui analisi konseptua. Rumusan Al-Ash’ari yag tidak kalah terkenalnya merupakan contoh lain lagi. Ia membagi Iman menjadi (1) perkataan qawl” dan (2) perbuatan “amal”.
15
Sejumlah besar jawaban yang berbeda ditawarkan dalam rangka pengembangan teologi Islam oleh beberapa sekte dan juga oleh beberpa orang. Murji’ah misalnya berpendapat bahwa Iman haruslah secara tepat didefinisikan berdasarkan “pengetahuan”, yakni pengetahuan tentang Tuhan, dengan mengenyampingkan perbuatan dari konsep “iman”. Karramitah sebagai sebuah kasus ekstrem, berpendapat bahwa iman harus didefinisikan semata-mata berdasarkan “perkataan”, dalam pengertian pengakuan verbal (al-iqrar bil-lisan). Definisi menimbulkan akibat teoretik yang penting sekaligus menarik.
Sebagaimana yang telah kita lihat di atas, Islam berdasarkan konteks Al-Qur’an pada awalnya bermakna “penyerahan diri kepada Tuhan” Kata kerja yang bersesuaian salama belum lengkap: ini menunjukkan bahwa manusia melalui perbuatan berserah diri itu juga, memasuki fase kehidupan yang sama sekali baru. Konotasi asal ini menjadi sangat kabur, bahkan mungkin sama sekali hilang dalam system konseptual yang baru ini. Di sini kita ada kasus yang jelas tentang perubahan penekanan dalam struktur makna kata yang merupakan persoalan yang sudah dijelaskan di muka.
Jenis penelasan konsep semantic seperti ini, bersama dengan terjadinya perubahan penekanan dan perubahan hubungan assosiatif bias diamati dimanapun dalam pemikiran Islam pada masa itu. Di sini penulis sekali lagi akan memberikan contoh yang serupa dengan kasus yang baru saja kita tela’ah, tetapi agak sedikit berbeda. Contoh tersebut adalah kata ‘ilm, yang umumnya berarti “pengetahuan”.
Al-Qur’an melangkah lebih jauh lagi dan memperjelas bahwa landasan atau sumber zann adalah hawa, yakni kecenderungan naluriah u=yang bersifat implusif dan jahat pada jiwa manusia yang pada hakikatnya membabi buta, sebagaimana ditunjukkan dalam penggunaan pra- Islam terhadap kata hawa dalam pengertian nafsu cinta yang buta. Zann, dalam pengertian ini seringkali diseut di dalam Al-Qur’an sebagai ittiba’ al-ah-wa yang secara harfiah berarti mengikuti pikiran pribadinya
16
sendiri” sehingga dalam bentuk ini bertentangan dengan ‘ilm, yang dalam konteks seperti itu bukan apa-apa melainkan Bimbingan Illahi dan Wahyu.
Dengan demikian tidak diragukan lagi bahwa kata ‘ilm bila digunakan dalam kedudukannya hanya sebagai istilah kunci dalam Al-Qur’an, maka maknanya adalah pengetahuan yang betrasal dari sumber yang mutlak dapat dipercaya, yang tidak lain adalah Wahyu Ilahi. Dan kata yang sama dalam ayat Al-Qur’an yang terkenal al-rasikhun fi al-‘ilm “Orang-orang yang sangat dalam pengetahuannya” yang menunnjukkan orang-orang yang beriman sejati, hanyadapat dipahami dalam pengertian ini.
Makna relasioanal dari mana kata tersebut diperoleh dalam Al-Qur’an dimasukkan dalam teologi Islam. Disini sekali lagi struktur semantic dasar tidak menunjukkan perubahan. Hanya saja konsepsi sumber yang mutlak dapa dipercaya menjadi lebih luas, karena kini disamping Al-Qur’an, Hadis Nabi telah ditetapkan sebagai sumber ‘ilm yang benar. Hal ini mau tak mau mengubah seluruh keseimbangan kekuatan sitem tersebut.
Berdasarkan pembicaraan di muka, dapat dilihat perlu pengkajian kembali secara sistematis terhadap sejarah filsafat Islam dari sudut pandang semantic, karena hal itu akan dapat membantu usaha tersebut. Pengkajian seperti itu tidak tidak saja dapat memperjelas sejumlah besar persoalan yang sangat menarik menyangkut detai-detail transformasi semantic yang dialami oleh konsep-konsep individual, namun lebih jauh lagi, dapat memberikan kontribusi bagi kemajuan Ilmu Semantik yang dialami oleh
17
konsep-konsep individual namun lebih jauh lagi, dapat memberikan kontribusi bagi kemajuan Ilmu Semantik sebagai Ilmu Pengetahuan Kultural, dalam pengertian sebagai perangkat yang benar-benar produktif bagi kepentingan riset analisis ilmiah terhadap Weltanschuung. Hal ini hanya dapatdilakukan di waktu yang lain. Untuk tujuan kita saa ini, tidak perlu, jika tidak sama sekali untuk membicarakannya secara lebih terperinci. Apa yang inigin saya lakukan pada bagian terakhir bab ini hanyalah menunjukkan, pertama: bahwa secara teoritikdapat terjadi hal-hal seperti semantic diakronik, yang berbeda dengan sikan fundamental dengan semnatik sinkronik. Namun pada saat yang sama berkaitan erat, kedua: secara ilustrif betapa filsafat Islam sebagai suatu sitem konseptual telah mengalami penderitaan yang berat dalam mengembangkan kosa katanya sendiri di dalam batas-batas kosa kata Arab di bawahpengaruh besar dan langsung dari sisi konseptual yang sama sekali asing.
D. Struktur Dasar Weltanschauung Al-Qur’an
Bab ini bermaksud secara sederhana memberikan garis besar struktur Weltanschauung Al-Qur’an sebagai sebuah pendahuluan terhadap analisis yang lebih rinci mengenai beberapa medan semantic yang sangat penting yang akan dijumpai pada bab selanjutnya. Gambaran menyeluruh seperti itu sangat diperlukan apabila kita berada pada posisi untuk menentukan tempat yang paling sesuai bagi persoalan-persoalan khusus yan akan kita kaji menyangkut hubungan antara Tuhan dan Manusia dalam Al-Qur’an. Karena sebagaimana telah kita ketahui, posisi yang tepat bagi setiap medan konseptual tunggal, entah itu besar atau kecil akan ditentukan dengan cara yang pasti hanya melalui hubungan ganda dengan semua medan penting yang satu sama lain berada dalam keseluruhan Gestalt.
Sebagaimana telah dikemukakan dengan sangat jelas pada bab terdahulu, yakni analisis semantik terhadap Al-Qur’an, dalam pengertian yang kita pahami dalam buku ini bukan berarti perlakuan leksikografis terhadap seluruh kosa kata Al-Qur’an, yakni studi tentang smua kata yang kebtulan terdapat dalam Al-Qur’an tapi studi analitik dan dan sistematika hanya terdapat kata-kata yang peling penting yang tampaknya
18
memainkan peranan menentukan dalam menandai catatan dominan, menembus dan menguasai seluruh pemikiran Al-Qur’an. Hanya kata-kata penting semacam ini, yakni kata-kata kunci, yang menentukan keseluruhan system tersebut. Akan tetapi untuk dapat menentukan betapa pentingnya kata-kata tersebut dan membedakan dengan katakata yang relative lebih penting dengan kata-kata yang relative kurang penting dalam pengertian khusu ini, sebelumnya kita harus memiliki gambaran skematika umum terhadap seluruh objek,Karena kalau tidak demukian, kita hanya akan terperangkapke dalam hal-hal yang kurang penting.
Ini merupakan system pertentangan yang rumit yang telah terbentuk dengan dua kutub yang saling berhadapan. Secara semantic kutub tersebut ditunjukkan oleh apa yang telah disebut sebagai “kata-fokus”. Pendek kata berdasarkan sudut pandang semantik, Weltanschauung Al-Qur’an dapat digambarkan sebagai sebuah system yang dibangun di atas prinsip pertentangan konseptual. Diantaranya tentang Tuhan dan Manusia, Masyarakat Muslim, yang Ghaib dan yang Kasat Mata, Dunia dan Akhirat serta Konsep-konsep Eskatologi.
I. Tuhan dan Manusia
Pertentangan pertama dan yang terpenting dalam pengertian ini dibentuk oleh hubungan fundamental antara Tuhan dan manusia. Allah dan insan. Sudah jelas bahwa Allah, menurut Al-Qur’an, tidak saja sebagai satu-satunya yang tertinggi namun juga satu-satunya Wujud yang pantas disebut “wujud” dalam arti kata seutuhnya. Realitas dengan huruf besar, di mana tak satupun di seluruh dunia yang dapat melawannya. Secara ontologis, dunia Al-Qur’an sangat teosentris, sebagaimana telah penulis katakana lebih dari satu kali,. Tuhan berada di tengah-tengah dunia wujud, dan semua objek lain-lainnya, baik manusia atupum non manusia adalah makhluknya dan dengan demikian lebih rendah dibandingkan Dia dalam hierarki wujud. Berdasarkan pengertian ini ia taka da satupun yang dapat melawan dia. Dan inilah yang sesungguh nya yang dimaksudkan apabila dikatakan di atas, bahwa secara
19
semantic, Allah adalah kata fokus tertinggi dalam kosa kata Al-Qur’an, yang menguasai seluruh modern semantik, dan konsekuensinya seluruh system.
Kini di dalam dunia Islam yang baru ini, ketegangan dramatika dan spiritual secara semantik disebabkan oleh relasi khusus antara dua kutub konseptual utama, yakni Tuhan dan Manusia. Relasi ini tidak sederhana dan juga tidak unilateral, namun bersifat ganda dan bilateral, dalam pengertian relasi yang timbal balik.
Relasi yang kompleks ini secara konseptual dapat dianalisis berdasarkan empat bentuk utama relasi antara Tuhan dan manusia. Dengan kata lain “Divina Commedia” Al-Qur’an dilaksanakan di panggung utama di mana tentang hal ini telah penulis kemukakan dalam bentuk empat tipe relasi yang berlainan antara Allah dan Insan.
1. Relasi Ontologis: antara Tuhan sebagai sumber eksistensi manusia yang utama dan manusia sebagai representative dunia wujud yang eksistensinya berasal dari Tuhan. Dengan istilah yang lebih teologis hubungan pencipta-makhluk antara Tuhan dan manusia.
2. Relasi Komunikatif: di sini, Tuhan dan manusia di bawa ke dalam korelasi yang dekat satu sama lain, Tuhan mengambil inisiatif melalui komunikasi timbal balik. Dua cara komunikasi yang berlainan dapat dibedakan: (1) tipe verbal dan (2) tipe non verbal. Tipe komunikasi verbal dari atas ke bawah adalah Wahyu menurut pengertian yang sempit dan tekhnis, sedangkan bentuk dari bawah ke atas mengambil bentuk “sembahyang” (du’a). Tipe komunikasi non verbal dari atas adalah tindakan Iahiah menurinkan (tanzil) “tanda-tanda” (ayat). Dari bawah ke atas, kmunikasi dalam bentuk ibadah ritual (salat) atau yang lebih umum lagi praktek-praktek penyembahan.
3. Relasi Tuhan-hamba: relasi ini melibatkan di pihak Tuhan sebagai Tuan (Rabb) semua konsep yang berhubungan dengan keagungan-Nya, kekuasaan-Nya, kekuatan Mutlak-Nya dan lain sebagainya, sedangkan di pihak manusia sebagai “hamba-Nya” (‘abd) seluruh konsep yang menunjukkan kerendahan, kepatuhan mutlak, dan sifat-sifat lainnya yang selalu dituntut pada seorang hamba. Semenatra di pihak manusia berkolerasi negative dengan konsep-konsep yang menunjukkan ketinggian,
20
kesombongan, merasa cukup, dan sifat-sifat serupa lainnya yang tercakup di dalam dan terkait dengan kata jahiliyyah.
4. Relasi Etik: relasi ini dibedakan pada perbedaan yang paling dasar antara dua aspek yang berbeda yang dapat dibedakan dengan konsep tentang Tuhan itu sendiri, Tuhan yang kebaikannya tidak terbatas, maha pengasih, pengampun dan penyayang di satu sisi. Tuhan yang murka, kejam, dan sangat keras hukumannya, di sisi yang lain. Demikian pula dari sisi manusia terdapat perbedaan dasar antara rasa syukur di satu pihak dan takut kepada Tuhan(taqwa) di pihak lain. Sebagaimana telah kita lihat di atas, syukr dan taqwa bersama-sama membentuk katagori iman, dan ini akhirnya membentuk perbedaan yang tajam dengan kufr baik dalam pengertian “tidak bersyukur” maupun ingkar.
II. Masyarakat Muslim
Orang-orang ini pada hakikatnya membentuk kelompok yang kompak yaitu, masyarakat religious, inilah konsep tentang “masayarakat”( ummah), atau lebuih tepatnya , ummah muslimah yang pada asalnya bermakna masyarakat (orang-orang yang telah)berserah diri kepada Tuhan. Tetapi kemudian memperoleh makna masyarakatmuslim di mana Nabi dalam Hadis berulang-ulangmenyebut ummati “masyarakatku”.
Berbeda dengan sebagian besar istilah kunci Al-Qur’an yang berkaitan dengan hubungan Tuhan dan manusia, istilah-istilah kunci dari medan ini terutama menyatakan hubungan antara manusia dan manusia di dalam kehidupan sosial di dunia ini. Istilah kunci tersebut membentuk sebuah medan semantic yang kuas mengenai system sosial. Konsep-konsep tersebut untuk mudahnya dapat di klasifikasikan menjadi tjuh sub bidang, antara lain:
1. Hubungan perkawinan yang meliputi konsep-konsep yang berkenaan dengan perkawinan, perceraian, perzinaan.
2. Hubungan orang tua anak, yang mencangkup kewajiban-kewajiaban orang terhadap anak-anaknya, dan kewajiban anak terhadap orang tuanya dan peraturan mengenai adopsi.
21
3. Hukum Waris, hokum criminal yang menyangkut khususnya pembunuhan, pencurian dan pembalasan dendam.
4. Hubungan perdagangan yang mencangkup konsep-konsep perjanjian, utang, riba, sogok dan peraturan dalam pembagian keuntungan dalam perdagangan.
5. Hukum-hukum tentang derma, dalam pengertian shodaqoh dan zakat.
6. Hukum-hkum yang menyangkut kebudakan .
III. Yang Gaib dan Yang Kasat Mata
Pandangan Al-Qur’an membagi tempat manusia hidup ini menjadi dua bagian: alam ghaib (‘alam ghaib) dan alam nyata(‘alam shahadah). Ini pertentangan konseptual pokok ke dua yang dapat dilihat berdasarkan pandangan dunia Al-Qur’an. Dan ini merupakan dua bentuk dasar seluruh dunia wujud, yang tidak lain sebagai tahap utama di mana Divina Commedia yang telah disebutkan di atasterjadi.
Dari keduanya hanya bagian manusia yang telihat merupakan urusan manusia, sedangkan Tuhan menguasai keduanya. Sebagaimana telah di tegaskan, misalnya dalam:
22
“ Katakan: Wahai Allah! Engkaulah pencipta langit dan Bumi! Engkau maha mengetahui yang tak terlihat (al-ghayb) dan yang terlihat (al-shahadah)”.
Perlu diperhatikan bahwa perbedaan itu sendiri hanya memiliki makna dalam kaitannya dengan kemampuan epistemology dasar pikiran manusia. Dengan kata lain, perbedaan tersebut semata-mata apabila dilihat berdasarkan sudut pandang manusia, karena dari sudut pandang Tuhan, sama sekali tidak ada yang ghaib. Dialah Yang Maha Mengetahui, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an secara tegas dan berulang-ulang “ Sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar meliputi segala sesuatu”.
Dengan demikian, sebagai contoh yang berkaitan dengan masa (al sa’ah), pengetahuan mengenai kapan sesungguhnya Hari Pengadilan akan tiba, hari yang menjadi salah satu persoalan penting bagi orang Muslim maupun orang kafir, dikabarkan bahwa hanya Allah sajalah yang mengetahui “kapan” dan tak seorangpun di dunia ini yang mengetahui, bahkan Nabi sendiripun tidak tahu.
“Manusia bertanya kepadamu ten tang hari bangkit, Katakanlah: Sesungguhnya pengetahuan tentang hari berbangkit itu hanya di sisi Allah: Dan katakanlah kamu (hai Muahmmad), boleh jadi hari berbangkit itu sudah dekan waktunya”.
IV. Dunia dan Akhirat
Dari sudut pandang yang sama sekali berbeda, dunia yang benar-benar dialami manusia ini secara keseluruhan disebut al-dunya, yang secara harfiah dunia “yang rendah” atau dunia “yang dekat”. Pada umumnya Al-Qur’an menggunakan frasa al-hayah al-dunya “kehidupan rendah” untuk menggantikan kata sederhana al-dunya.
Kata al-dunya sering dijumpai dalam literaur pra-Islam. Dan kenyataan ini nampaknya menunjukkan bahwa konsep korelasi ahirat juga dikenal oleh orang-orang Arab pra-Islam. Namun al-dunya itu sendiri tampaknya telah digunakan secara luas
23
di kalangan orang-orang Arab pra –Islam, bahkan di luar lingkugan motoeistik, meskipun sangat diragukan apakah ada nilai religious dalam konsep tersebut. Pada saat ini, misalnya sang penyair mengakui dunya sebagai suatu keyakinan yang memberikan inspirasi, yang patut dipercaya, sehingga dengan demikian bernilai positif.
Sebagaimana telah terlihat di atas, Al-Qur’an telah menegaskan kembali hubungan konseptual ini dalam bentuknya yang asli, dan sekali lagi menempatkan dua konsep ini ke dalam pertentangan langsung satu sama lain. Dan imimerupakan pertentangan konseptual utama ketiga, yang sebagaimana telah saya katakana, menyumbang terciptanya atmosfir ketegangan spiritual yang kuat yang menjadi ciri khas Welstanchauung AL-Qur’an.
Berkaitan dengan konseptual akhirah itu sendiri, perlu kita perhatikan bahwa struktur tersebut juga didasarkan pada prinsip dikotomi, dalam pengertian sekali lagi di sini kita melihat sebuah pertentangan yang mendasar antara dua konsep utama: yakni surge (al jannah, jamaknya al-jannat), dan neraka (al-jahannam). Dan ini menentukan struktur umum medan tersebut. Konsepsi tentang akhirat dalam bentuk
24
25
Dari semua konsep yang berada dalam kategori ini, perhitungan serupa dengan hal itu, yang paling kontrofersial di kalangan orang-orang Makkah pada masa awal-awal Islam adalah tentang kebangkitan setelah mati. Banyak diantara mereka yang menanggapiny adengan penolakan sengit dan mengejek ajaran Al-Qur’an tentang kebangkitan yang menyangkut konsep Pengadilan di hari akhir.
E. Konsep Allah
Nama Allah sudah muncul semenjak zaman jahiliyyah atau pra-Islam. Nama Allah lazim di kalangan jahiliyyah dan Islam. Berawal dari konsep makna dasar “Allah”, Allah berbeda dengan kata Yunani hot heos berarti Tuhan. Pada masa pra-Islam semua suku biasanya memiliki tuhan-tuhan dan dewa lokal yang dikenal dengan nama sendiri. Orang-orang Yahudi dan Kristen menggunakan kata yang sama “Allah” untuk menunjukkan Tuhan dalam injil mereka. Termasuk juga orang-orang Badwi murni di Padang pasir. Menurut al-Qur’an sampai masa Muhammad berdakwah, orang-orang pagan telah menghargai sebuah gagasan kabur dan mungkin pula kepercayaan kabur terhadap Allah sebagai Tuhan tertinggi di atas tingkatan-tingkatan berhala-berhala local. Jadi, kata “Tuhan” pada masa jahiliyyah banyak mengandung makna dasar. Makna tersebut telah dibawa oleh kata tersebut dalam sistem Islam ketika Al-Qur’an mulai menggunakannya sebagai nama Tuhan dalam wahyu Islam, meskipun masih ada sekutu (syuraka’).
Secara historis, nama tersebut masuk ke dalam sistem Islam yaitu sistem religious pra-Islam. Dalam perkembangan makna relasional kata Allah di kalangan orang-orang arab pra-Islam ada tiga kasus yang berbeda dan menelaah masalah tersebut dari tiga sudut yang berbeda pula, yaitu:
1. Konsep pagan tentang Allah, yaitu orang-orang murni arab pra-Islam berbicara tentang “Allah” sebagaimana mereka pahami. Yang menarik ternyata sastra pra-Islam bukanlah satu-satunya sumber informasi mengenai masalah ini. Informasi yang
26
sepenuhnya dari tangan pertama bisa diperoleh dari deskripsi situasi aktual yang diberikan oleh al-Qur’an.
2. Orang-orang Yahudi dan Kristen zaman pra islam yang menggunakan kata Allah untuk menyebut Tuhan mereka sendiri tentu saja Allah Tuhan Injil sebuah konsep monoteistik tentang Tuhan yang khas. Contoh ditemukannya karya ‘Adi bin Zayd, Orang Arab Kristen yang terkenal, penyair istana al-Hirah.
3. Orang-orang Pagan, Arab Jahiliyah murni non Kristen dan non Yahudi yang mengambil konsep Tuhan Injil, “Allah”. Ini terjadi misalnya ketika seorang penyair Badui mendapat kesempatan menulis puisi pujian terhadap seorang Raja Kristen, seperti sering ia lakukan pada zama Jahiliyyah. Dia menggunakan kata Allah, baik sengaja maupun tidak dalam pengertian Kristen dan sudut pandang Kristen meskipun dalam kenyataannya dia sendiri seorang pagan.
Konsep khusus tentang Allah pada kelompok sangat khusus orang-orang jahiliyyah yang dikenal dengan nama hanif, oleh penyair Umayyah bin Abi al-Salf yang tidak pernah menjadi Yahudi atau Kristen yang bertahan dengan gagasan religiusnya yang bersifat monoteistik dan memberikan andil penting penyerapan Arab terhadap gagasan Yahudi dan Kristen pandangannya dari sudut pandang Islam.
F. Relasi Ontologis Antara Tuhan dan Manusia
Relasi di sini adalah tentang penciptaan dan nasib manusia.
I. Konsep Penciptaan
Hubungan antara Tuhan dan manusia dalam konsepsi al-Qur’an sumber wujud adalah Tuhan itu sendiri; eksistensi itu diberikan oleh Tuhan kepada manusia sebagai pemberian yang perlu disyukuri. Antara Tuhan dan manusia ada hubungan fundamental antara pencipta dan yang diciptakan yang menurut divina Comedia al-Qur’an, Allah berperan sebagai Pemberi eksistensi dan wujud kepada manusia. Dia adalah Pencipta manusia, dan manusia tidak lain hanyalah makhluknya. Banyak petunjuk al-Qur’an yang berbicara tentang hal tersebut. Allah Sang Maha Pencipta Seluruh dunia mulai dari para Malaikat-malaikat (surat al-Zukhruf: 9), Jin (surat ar-
27
Rohman:15), Matahari dan Bulan, siang dan malam (surat fushilat: 37 dan sebagainya), hingga ke gunung dan sungai (surat al-Ro’du:3), Pohon-pohon, Buah-buahan, Biji bjian, Daun daunan (surat ar-Rohman: 11-12), dan semua jenis binatang, diantaranya ada yang melata, dan sebagian berjalan di atas dua kakinya, sedangkan sebagian yang lain berjalan dengan empat kaki (surat an-Nur: 45). Dan Dia Pencipta segala sesuatu (suratal-An’am:102). Dan manusia hanyalah salah satu dari beberapa ciptaan-Nya, sekalipun merupakan ciptaan yang paling penting. Sesungguhnya Al-Qur’an dapat di pandang sebagai Hymne Agung sebagai penghormatan terhadap ciptaan Ilahi.
Pengkaitan antara penciptaan (Khalq) dan “Allah”, tidaklah selalu tetap dan pasti karena Al-Qur’an menceritakan ada beberapa orang penyembahberhala yang menghubungkan penciptaan ini dengan berhala-berhala (suratal-Ra’du: 16), aktifitas penciptaan semua yang tampak dinisbatkan pada Tuhan Yang Maha Tinggi, Allah.
Manusia Jahiliyyah dapat hidup dengan nyaman tanpa perlu menaruh perhatian sama sekali terhadap asal usul eksistensinya sendirisedangkan fakta Al-Qur’an mendorong agar orang Muslim selalu menyadari eksistensinya sebagai makhluk seorang Muslim yang kehilangan perasaan kemakhlukannya atau berhenti dari seorang Muslim karena jatuh kedalam dosa besar (kesombongan) dalam Al-Qur’an digambarkan dengan kata-kata seperti tughyan dan istighna. Berbeda dengan system Al-Qur’an di mana Allah Sang Pencipta menguasai seluruh Welstanchauung, jahiliyyah tidaklah begitu mementingkan medan semantik ini maka Al-Qur’an berusaha untuk menyadarkan mereka akan pentingnya gagasan tentang eksistensi Allah dan menyadarkan akan besarnya implikasi gagasan tersebut.
II. Nasib Manusia
Pandangan pra Islam terhadap kehidupan manusia merupakan sesuatu yang gelap dan misterius yang mengepakkan sayap tiraninya terhadap proses kehidupan setiap orangsemenjak ayunan sampai liang kubur dan sesuatu yang kira-kira berhubungan
28
dengan yang disebut nasib hamper secara eklusif dipahami sebagai kekuatan perusak setengah/ personal yang tidak saja membawa segala sesuatu pada kerusakan tetapi menyebabkan penderitaan, kesengsaraan dan kecelakaan manusia sepanjang masa hidupnya. Manifestasi aktifitas distruktifnya memiliki sejumlah nama khusus seperti suruf dahr, hadathan dahr atau hawadith, Rayb zaman dan lain-lain yang artinya keberuntungan yang tidak bisa diperkirakan.
Menurut konsepsi Al-Qur’an kehidupan dunia dan akhirat dalam kendali Allah, yang dikenal dengan qadha dan qadar, ketetapan Tuhan. Konsep qadha dan qadar bukan merupakan temuan ahli teologi. Itu diperlihatkan oleh kenyataan bahkan sebelum munculnya Islam, gagasan yang hampir mirip tersebut tampaknyatelah beredar di kalangan orang-orang Arab yang memiliki kecenderungan religius tertentu, bahkan di luar kelompok kecil para hanif. Seperti penyair besar Labid adalah seorang yang terang-terangan mengakui keyakinannya terhadap qadha’danqadar itu.
G. Relasi Komunikatif Tuhan dan Manusia
Komunikasi antara Tuhan dan Manusia terbagi menjadi komunikasi secara linguistik dan non-linguistik. Komunikasi non-linguistik membicarakan tentang ayat-ayat Allah, hidayah Tuhan, dan shalat sebagai alat komunikasi. Sedangkan komunikasi linguistik berbicara mengenai firman Tuhan (kalam Allah), makna asli kata wahyu, sruktur semantik wahyu, wahyu dalam Bahasa arab dan do’a.
1. Komunikasi Non-Linguistik
a. Ayat-ayat Allah
Kehendak Tuhan untuk membuka komunikasi langsung antara Dia dengan manusia menurut Al-Qur’an terwujud dalam bentuk Dia mengirimkan ayaat (jama’ ayat), tanda-tanda yang bersifat non linguistik. Tuhan menunjukkan tanda-tanda setiap saat, ayat demi ayat, bagi mereka yang memiliki cukup kecerdasan untuk memahaminya sebagai tanda-tanda menuturAl-Qur’an artinya semua yang sering disebut gejala alam seperti hujan, angina, susunan langit dan bumi, pergantian siang
29
dan malam, perputaran angina dan sebagainya harus dipahami sebagai tanda-tanda atau lambing yang menunjukkan campur tangan Ilahi terhadap urusan manusia sebagai bukti ketuhanan Allah, kebijaksanaan dan kepedulian Tuhan demi kebaikan umat manusia di muka bumi. Struktur semantikkonsep ayat dalam system Al-Qur’an (ayat Ilahi dipahami secara pengertian umum. Medan semantik tentang ayat Ilahi secara ringkas dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Tuhan menurunkan ayat
2. Manusia meresponnya baik dengan menerimanya sebagai kebenaran atau (tasdiq) atau menolaknya sebagai kepalsuan (takdzib)
3. Tashdiq sesungguhnya menuju kepada kepercayaan (iman) dan takhzdib menuju kepada tidak percayaan (kufur)
b. Hidayah Tuhan
Menurut pandangan Al-Qur’an tuhan mengirimkan ayat, sama halnya dengan bimbingan-Nya, ayat tidak lain adalah ungkapan kongkrit tujuan Tuhan pembimbing umat manusia ke jalan yang benar.Manusia merespon perbuatan Ilahi dengan cara ihtida mengikuti bimbingan yang telah di tawarkan atau dholal menyimpang dari jalan yang benar dengan menolak mengikuti bimbingan-Nya. Orang yang memilih bimbingan beada di jalan syurga sedangkan orang-orang yang memilih jalan dholal berada di dalan neraka (Jahannam).
Pengertian kata huda juga memiliki makna jalan, hadi yang merupakan bentuk partisipal dari kata hada “membimbing” pada zaman jahiliyyah adalah laki-laki yang memiliki pengetahuan khusus tentang semua jalan di padang pasir yangmenuntun orang di jalan yang benar sampai tujuan dengan selamat, namun dunia Al-Qur’an hadi juga menempati posisi yang penting tetapi hadi itu adalah Tuhan sendiri, pembimbing yang tak pernah tersesat sehingga benar-benar dapat di andalkan, kemudian maka sangat wajar terjadi pada konsep (jalan) itu berarti sirath dan sabil dalam Al-Qur’an yang digunakan dalam pengertian religius.
30
c. Sholat Sebagai Alat Komunikasi
Komunikasi Ilahiyyah non verbal dimana Tuhan menurunkan ayat non verbalnya, maka sebai imbangannya manusia melakukan ibadahdan amalan agama yang disebut sholat. Sholat meliputi unsur-unsur verbal, di sampan gerakan-gerakan tubuh yang telah ditetapkan, membaca kitab suci, mengucapkan pengakuan Iman (syahadat), sholawat Nabi, dan sebagainya merupakan bagian penting dari ibadah.
Muatan material sholat dalam pengertian dalam syair ‘Antarah disebutkan dengan al-qiblah yang secara teknis berarti arah yang harus dihadapi dalam ibadah umum, tapi dimaksudkan juga kata qiblah oleh penyair ditunjukkan kepada Kaisar Anusirwana. Dalam pengertian Islam struktur formalnya sama, satu-satunya perbedaan yang ada hanyalah kenyatan bahwa di sini kiblat bukanlah arah tempat suci di Makkah, namun Istana kekaisaran Kaisar Persia dan ibadah itu sendiri adalah pemujaan terhadap kaisar, bukan pemujaan terhadap Allah (Islam).
2. Relasi Komunikasi Linguistik
Relasi komunikasi Tuhan dan manusia berdasarkan linguistik atau verbal yaitu firman Tuhan (kalam Allah), makna asli kata wahyu, sruktur semantik wahyu, wahyu dalam bahasa arab dan do’a.
a. Firman Tuhan (Kalam Allah), Wahyu
Firman Tuhan atau kalamullah di sini adalah wahyu artinya perkataan Tuhan, seperti dalam surat at-Taubah ayat 6. Dalam al-Qur’an wahyu diperlakukan sangat istimewa, sesuatu yang misterius, rahasia yang tak dapat diungkap oleh pikiran manusia biasa yang diperlukan perantara yaitu Nabi. Firman Tuhan atau wahyu diturunkan oleh Tuhan dengan Bahasa manusia yang jelas dan dapat dimengerti, namun tidak dengan cara yang sederhana. Pada hakikatnya wahyu adalah konsep linguistik.
31
Secara kontekstual, mengacu pada apa yang dikatakan dan diucapkan dan dikatakan kepada Nabi, yaitu kata-kata yang telah diwahyukan kepadanya, sebagaimana dalam surat al-Baqarah ayat 75. Secara semantik fenomena wahyu memiliki dua aspek yang berbeda yaitu Tuhan dan firman. Al-Qur’an menyebut wahyu dengan perkataan (kalimat-kalimat) dalam suratas-Syuura, ayat 24 juga qaul dalam surat al-Muzammil ayat 5.
Kesimpulannya meskipun wahyu itu sendiri merupakan suatu fenomena yang berada di luar semua perbandingan dan pertentangan semua analisis, namun ada hal tertentu di mana kita dapa melakukan pendekatan secara analisis dan berusaha menemukan struktur dasar konsepnya melalui cara mengkaji kasus ekstrem atau perilaku linguistik umum yang dikenal semua makhluk yang berbicara. Pembicaraan yang terjadi di sini antara tatanan wujud supranatural dan tatanan wujud natural, sehingga tidak ada keseimbangan antara pembicara (Tuhan) dan pendengar (manusia).
Wahyu juga merupakan komunikasi verbal dari Tuhan kepada Manusia, sebagai disebutkan dalam suratal-Syura al-Syura ayat 51. Bahwa ada tiga cara pengiriman wahyu yang berbeda-beda yaitu komunikasi misterius, berbicara dari balik tabir dan mengirimkan utusan.
b. Do’a
Hubungan Tuhan dan manusia secara linguistik selain wahyu juga dengan do’a, di mana manusia berinteraksi dengan Tuhan melalui bahasanya. Hubungan linguistik antara Tuhan dan manusia ini tidak bersifat sepihak, meskipun masih bersifat pasif tetapi manusia terkadang berhubungan dengan Tuhan dengan bahasa isyaratnya. Hasilnya adalah suatu fenomena yang secara struktural berhubungan dengan wahyu yaitu do’a menjadi komunikasi verbal arah naik, dari manusia kepada Tuhan, di mana wahyu dari Tuhan kepada manusia.
32
Peristiwa linguistik ini pun terjadi dalam situasi yang istimewa, yang mana manusia pada posisi di luar kerangka normal dalam kehidupan sehari-hari, yaitu dalam situasi terbatas. Karena situasi itu, hati manusia dapat sepenuhnya murni dar semua pikiran keduniaan sehingga bahasa spiritual yang diapakai menjadi lebih tinggi. Ayat tentang konsep do’a dalam keadaan terbatas yaitu suratal-An’am ayat 40-41. Namun jika do’a tersebut dilakukan tidak dalam situasi terbatas atau mendesak maka do’a juga menjadi sinonim dari ibadah. Seperti tersebut dalam surat al-An’am ayat 52 dan 56, al-A’raf ayat 29. Konsekuensi do’a adalah keikhalsan dan keyakinan sebagaimana manusia merespon perilaku baik Tuhan. Maka Tuhan akan mengabulkan do’a/ istijabah meskipun secara semantik non verbal sebagaimana surat al-Mu’min ayat60. Karena istijabah merupakan hal positif Allah yang sangat bisa Dia lakukan berbeda dengan Tuhan-tuhan selain Allah yang disembah oleh orang-orang kafir. Do’a mereka menyesatkan dan Tuhan mereka tidak mampu mengabulkan meskipun mendengar (suratFatir ayat 14).
Do’a termasuk Bahasa magis dan orang-orang arab pra Islam menggunakannya untuk memohon kepada Tuhan-tuhan mereka. Pada masa jahiliyyah, fungsi Bahasa magis memainkan peran penting di masyarakat.
H. Relasi Etik antara Tuhan dan Manusia
Pembahasannya tentang Tuhan Yang Maha Pengasih, Tuhan Yang Maha Murka, serta Wa’ddan Wa’id.
Relasi etik ini merupakan ciri yang paling menonjol dalam pemikiran keagamaan – yang berasal dari dunia semantik, entah itu Yahudi, Kristen atau Islam, di mana konsep tentang Tuhan bersifat etik.Karena Tuhan bersifat etik, maka relasi antara Tuhan dan manusia juga harus bersifat etik, yaitu Tuhan bertindak sebagai Tuhan Keadilan dan Kebaikan terhadap manusia, demikian pula manusia diharapkan merespons dengan etika yang etis. Etika merupakan bagian yang tak terpisahkan dari agama; seluruh agama membicarakan masalah ini, dan benar-benar tergantung pada
33
respons etik manusia. Tuhan Al-Qur’an menunjukkan dua aspek berbeda yang secara fundamental saling berptentangan satu sama lain. Bagi pikiran yang saleh dan beriman, dua aspek ini tidak lain merupakan dua sisi dari satu Tuhan yang sama, namun bagi masyarakat awam, keduanya tampak bertentangan. Persoalan ini umum bagi Al-Qur’an maupun perjanjian lama. Dua aspek berlawanan itu adalah Tuhan Yang Maha Pengasih dan Tuhan Yang Maha Murka.
a. Tuhan Yang Pengasih dan Penyayang
Salah satu dari kedua aspek tersebut, Allah tampil sebagai Tuhan yang Maha Pemurah; Tuhan yang Maha Pengasih, Penyayang dan Pengampun. Kata kuncinya dalam al-Qur’an disebutkan ni’mah “kenikmatan”, fadl “karunia”, rahmah “kasih sayang”, maghfirah “ampunan”, dan sebagainya.
Fakta bahwa Tuhan bertindak terhadap manusia dengan cara yang sangat pengasih dan menunjukkan semua kebaikan dalam bentuk tanda-tanda (ayat), di mana manusia harus merespon dengan baik pula yaitu rasa terimakasih atau syukur (syukr). Syukur dalam al-Qur’an banyak berkaitan dengan iman atau percaya sehingga saling beriringan, di mana terlihat dalam memahami suatu ayat. Lawan dari syukur adalah kufur atau maknanya yang sesuai tidak berterima kasih atau tidak bersyukur. Manusia ketika merespon kebaikan Ilahi (ni’mah) tentu ada yang syukur da nada pula yang kufur. Kufur ini juga berarti tidak percaya yang bertentangan langsung dengan iman, jika seseorang kufur berarti ia tidak iman atau tidak percaya, begitu juga sykur karena percaya kepada Tuhan karena anugerah semua kasih sayang (rahmat) dan semua kebaikan-Nya.
Tuhan Yang Maha Murka
Bagi mereka yang kufur, bukan syukur atau iman, yakni mereka yang dengan keras kepala menolak untuk berserah diri ke hadapan Tuhan, dan juga kepada mereka yang sungguh-sungguh lalai dan lengah mengahbiskan waktu mereka dalam senda
34
gurau dan bermain-main, tertawa dan bersenang-senang, tidak pernah memikirkan Akhirat. Orang-orang yang ghafil “lalai”, maka terhadap orang-orang seperti itu Tuhan menunjukkan wajah-Nya yang lain.
Di sini, Allah merupakan Tuhan yang keras, yang akan membalas di Hari Pengadilan, yang balsannya sangat pedih (shaded al-‘iqab) Tuhan yang membalas dendam (dzu intiqam), yang kemarahan-Nya (ghadhab) akan melemparkan siapa saja ke dalam kebinasaan. Persoalannya adalah bagaimana manusia merespons aspek Tuhan yang ini, karena aspek ini sudah dibicarakan oleh para pengkaji al-Qur’an dari sudut pandang religius. Pokok dari semua ini adalah konsep eskatologis Hari Pengadilan, di mana Tuhan sendiri menguasai segala sesuatunya dengan keras, tegas, dan adil, yang di depan-Nya manusia hanya berdiri diam dengan kepala tertunduk. Gambaran tentang hari yang pasti ini harus dicamkan dalam pikiran manusia agar menjadikan dirinya bersungguh-sungguh, tidak lalai dalam hidupnya. Dalam al-Qur’an, penekanan mutlak terhadap kesungguhan dalam hidup ini berasal dari kesadaran tentang Hari Pengadilan yang akan datang yang sangat ditekankan pada periode Mekah. Inilah taqwa berdasarkan makna aslinya. Takwa inilah yang disebut etik manusia kepada Tuhan/ Allah.
Kata taqwa kehilangan warna eskatologisnya yang sangat kuat sesuai dengan berjalannya waktu sehingga pada akhirnya hamper-hampir diartikan sama dengan ketaatan. Namun, pada mulanya ia menunjukkan suasana yang sangat khusus berhubungan dengan konsep Hari Pengadilan.
“Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksaan-Nya”. (QS. Al-Maidah: 2).
Kombinasi tiga kata tersebut, yaitu ittiqa’ “takut”, Allah, ‘iqab “siksaan” dalam kalimat tersebut menerangkan struktur dasar taqwa dalam al-Qur’an menurut bentuk aslinya. Taqwa dalam konsep ini, merupakan konsep eskatologis yang maknanya
35
adalah takut kepada siksaan Ilahi di akhirat. Kemudian muncul makna ketakutan yang patuh kepada Allah, kemudian akhirnya ketakutan saja.
Maka kata muttaqi bentuk partisipial dari ittiqa’, seringkali digunakan dengan pengertian “orang beriman yang taat” yang menjadi lawan dari kafir.9Sebagaimana juga disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 3-4 tentang definisi muttaqi tidakberbedadengan muslim atau mukmin, yaitu orang yang percaya kepada yang ghaib, mendirikan shalat, menafkahkan sebagian rizki yang dikaruniakan Allah kepadanya, dan yang beriman kepada Kitab Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dan kitab-kitab yang diturunkan kepada Nabi-nabi sebelum Muhammad, serta yakin akan adanya kehidupan akhirat.
Hal ini direfleksikan dalam literature non-Al-Qur’an pada masa awal Islam oleh ‘Abdah bin al-Tabib yang hidup sezaman dengan Nabi, sangat menarik untuk diperhatikan.
“Aku perintahkan kepadamu supaya tuqa (taqwa) kepada Tuhan, karena Dial ah yang memberi kita dan menahan pemberiannya, kepada siapa saja yang Dia sukai,semua benda yang bernilai dan dia ingini.”
Sebagaimana kita lihat, taqwa sama sekali tidak ada hubungannya dengan eskatologi/ akhirat dan takut terhadap siksaan. Hal ini jelas bahwa kebaikan dan karunia Allah disebutkan sebagai alasan kenapa manusia harus takwa kepada Tuhan.
b. Wa’d dan Wa’id
Etik Tuhan berkomunikasi dengan manusia dengan dua wajah yang berbeda yang menyangkut tujuan akhir manusia, tergantung baim dan buruknya, yakni dalam al-Qur’an ditegaskan wajah tersenyum menunjukkan masa depan yang baik dan wajah marah yang menunjukkan sesuatu yang suram atau membinasakan. Aspek
9 Misalnya, Surat al-Nisa’/ 4, ayat 31.
36
persoalan ini dibicarakan di dalam al-Qur’an dengan empat kata kunci yang saling berkaitan, yaitu wa’ada-wa’d, aw’ada-wa’id, basyara (basyir), dan andzara (nadzir). Bahwa Tuhan akan bersikap wa’d, memberikan janji dengan kabar yang gembira (basyir) serta memberikan ancaman (wa’id) dengan peringatan (nazir).
37
BAB III
PENUTUP
Keseluruhan tubuh konsep kunci mempunya struktur yang kurang lebih tertutup dan independen – sebuah sistem, yang selanjutnya dapat dibagi menjadi sejumlah sub-sistem. Relasi antara Tuhan dan manusia tidak hanya sepihak namun antara keduanya saling berhubungan dalam arti ada hubungan timbal balik, di mana Tuhan sebagai pencipta dan manusia sebagai makhluk yang keduanya saling merespon.
Kajian semantik ini adalah suatu kajian analitis terhadap istilah-istilah kunci dari suatu bahasa dengan dengan maksud untuk akhirnya menangkap secara konseptual pandangan dunia (Welstanchauung) dari orang-orang yang menggunakan bahasa itu sebagai alat tidak hanya dalam berbicara dan berpikir, namun lebih penting lagi dalam menangkap dengan pikiran dan menerjemahkan dunia yang mengelilinginya. Kajian semantik yaitu cabang ilmu linguistik yang meneliti arti atau makna. Toshihiko dalam buku ini berusaha memahami makna kalimat yang ada di dalam al-Qur’an melalui definisi langsung, yang mengkorelasikan kata tersebut langsung dengan bentuk realitas non-linguistik yang jelas.
Keseluruhan masalah didasarkan pada ide dasar bahwa masing-masing sistem linguistik – bahasa Arab di satu pihak dan bahasa Arab Qur’an di pihak lain, menunjukkan konsep yang terkoordinasi, yang umumnya sama-sama asing bagi pembicara bahasa yang dibahas. Dengan demikian bahasa Qur’anik berkorespondensi, dalam aspek konotatifnya, dengan yang disebut pandangan dunia Qur’anik, yang merupakan suatu bagian dari pandangan-dunia yang lebih luas, yang digambarkan bahasa Arab klasik. Demikianlah bahasa etik dari Qur’an hanya menunjukkan suatu segmen dari keseluruhan pandangan dunia Qur’anik. Dan istilah
38
etika religius merupakan suatu sistem kecil dan relatif independen dalam segmen etik itu.
Untuk memahami makna kata dalam hubungan dengan sistem relasi Tuhan dan manusia sehingga masing-masing istilah memperoleh makna yang khusus, maka harus dipakai suatu metode khusus, dimana seseorang bisa mengamati tingkah laku dari masing-masing istilah kunci dalam semua konteks verbal-kongkritnya.
Secara semantik, periode periode transisi yang di satu sisi secara definitif memisahkan masa pra-Islam dengan masa Islam, dan di lain pihak menggabungkan keduannya secara halus, merupakan salah satu periode yang menarik dalam keseluruhan sejarah pemikiran Islam, tidak hanya karena periode ini menandai masa permulaan dari Islam itu sendiri, tetapi juga karena dalam level yang lebih teoritik periode ini mengilustrasikan fenomena semantik dimana istilah-istilah kunci membentuk sistem yang terintegrasi, tertransformasikan dalam struktur konotatifnya, dimodifikasi dalam kombinasinya, dan dengan tambahan sejumlah istilah kunci baru, akhhirnya terintegrasi ke dalam suatu sistem yang sama sekali berbeda.
Turunnya Qur’an merupakan suatu revolusi spiritual yang menyebabkan reaksi yang tampak jelas dalam berbagai jalan kehidupan, baik sosial maupun pribadi, bahkan sisi material kehidupan Arab pun terpengaruh.
Kehidupan Arab pra Islam diatur oleh sekian banyak aturan-aturan sesuai pandangan mereka yang meliputi konsep penting. Konsep relasi Tuhan dan Manusia ini memiliki sifat dasar yang sedemikian rupa sehingga nilai eksternal dan universalnya pasti diakui dalam masa apa pun dan siapapun. Tetapi karena konsep ini didasarkan pada pra al-Qur’an atau pra Islam, maka aturan relasi antara keduanya mempunyai makna yang khas yang menahannya dari penilaian valid secara universal.
Dengan pendekatan semantik yang ditawarkan oleh Toshihiko Izustu ini, dapatlah dijadikan sebagai suatu metode pendekatan dalam mengkaji suatu makna
39
dasar yang diawali dengan menelaah makna semantik secara dasar kemudian relasional-nya sesuai pandangan weltanschauung, kemudian dilihat dan dihadapkan pula dengan menelaah weltancshaung al-Qur’an, sehingga dapat ditemukan suatu makna yang lebih luas dan mendalam. Dengan pendekatan semantik terhadap al-Qur’an ini dapat memberikan pencerahan bagi mereka yang masih melulu dengan pendapat-pendapat yang lama.
Beberapa nilai pra-Islam ditolak secara total oleh Qur’an. Tetapi kebanyakan nilai itu diterima, dimodifikasi, dikembangkan sesuai dengan tuntutan dari agama yang baru (Islam). Nilai yang lama secara radikal ditransformasikan dan sepenuhnya dilepaskan dari model kehidupan pra Islam, dilahirkan kembali sebagai nilai relasi Tuhan dan Manusia yang baru dan membentuk bagian yang integral dalam system Islam.
40
DAFTAR PUSTAKA
Leech, Geoffrey. Semantik. 2003. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik Terhadap Al-Qur’an. 2003. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogyakarta
Verhaar, J.W.M. Asas-asas Linguistik Umum. 2001. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
http://digilib.uin-suka.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=digilib-uinsuka--liesmaysar-940 (3).
http://www.bible.ca/islam/library/islam-quotes-izutsu.htm.
http://en.wikipedia.org/wiki/Toshihiko_Izutsu
41
RAHASIA WAJAH SUCI ILAHI
“Deciphering The Signs Of God: A Phenomenological Approach To Islam”
Oleh: Abdul Hafid
NIM:14750008
BAB I
A. Pendahuluan
Islam adalah agama yang terakhir diturunkan kedunia yang dalam tanda kurung bermakna bahwa Islam adalah agama penyempurna bagi agama-agama samawi yang sebelumnya. Yang tentu saja dalam ajaran-ajaran Islam telah ada pada agama-agama yang sebelumnya. Yang meluruskan beberapa ajaran yang sebelumnya yang telah di selewengkan oleh para pemeluknya. sehingga sedikit banyak mendorong orang-orang untuk mengkaji dan meneliti Islam lebih mendalam lagi, di antara para peneliti tersebut turut andil di dalamnya orang-orang non muslim yang lebih di kenal dengan istilah orientalis.
Namun di antara banyak kajian-kajian tersebut Islam sering di salah pahami secara tidak objektif. Berangkat dari hal ini kalangan ilmuan dan para peneliti-peneliti agama berupaya melakukan pendekatan terhadap fenomena agama. Hal ini di anggap sangat penting dan strategis apabila seseorang ingin mencari nilai-nilai kebenaran sebuah ajaran agama.
Kegiatan manusia yang terbungkus dalam sebuah tradisi keagamaan yang boleh jadi selama ini hanya sebatas fenomena ritual para pemeluknya yang mana mereka sama sekali tidak mengetahui hakikat dan makna sesungguhnya yang tersirat dari perintah dan larangan yang allah firmankan. Sehingga agama dalam hal Islam perlu di pahami secara fenomenologis, upaya ini di maksudkan untuk menangkap pesan di sampaikan atau tertuang dalam lembaran-lembaran baik dalam Alquran sebagai pedoman utama umat Islam dan assunnah sebagai pedoman kedua setelah Alquran itu sendiri.
42
Kemudiaan muncul pertanyaan tentang apa itu fenomenologi? Secara umum dapat di pahami bahwa Fenomenologi adalah salah satu bentuk pendekatan keilmuan yang berusaha mencari hakikat dari apa yang ada di balik segala macam bentuk manifestasi agama dalam ruang lingkup kehidupan manusia itu sendiri.
fenomenologi dalam mengkaji Islam melalui jalan pemaknaan pada ayat-ayat (tanda) yang Allah swt. Ciptakan terhadap objek yang sifatnya abstrak dan juga terhadap sesuatu yang sifatnya konkrit. Dengan maksud agar Islam dapat benar-benar di pahami dan di mengerti sesuai dengan sudut pandang kebenaran yang hakiki.
Di antara banyaknya para tokoh yang berkecimpung dalam kajian fenomenologi agama salah satunya ialah Annemarie Schimmel yang menawarkan pendekatan fenomenologis dalam karya besarnya “Deciphering The Signs Of God: A Phenomenological Approach To Islam” yang berarti menemukan makna atau apa (rahasia-rahasia) di balik tanda-tanda tuhan. buku ini lalu diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia oleh Rahmani Astuti dengan judul “Rahasia Wajah Suci Ilahi” yang pada saat ini akan kita kaji dan bahas bersama dalam bentuk makalah.
Di dalam bukunya Annemarie Schimmel berusaha mengkaji Islam dengan kacamata pendekatan fenomenologis. Ia berkata bahwa satu-satunya metode pendekatan yang sah dalam mempelajari dan mengungkapkan Islam adalah fenomenologi, Islam harus di lihat dan di pahami sebagaimana Islam di pahami oleh para pemeluknya.
B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan secara singkat biografi, kehidupan dan karya-karya Annemarie Schimmel ?
2. Apa pengertian fenomenologi ?
3. Bagaimana Pendekatan fenomenologi dalam studi kajian Islam menurut Annemarie Schimmel ?
4. Apa Fungsi serta kelebihan dan dan kekurangan pendekatan fenomenologi
43
C. Tujuan
1. Mengetahui lebih dekat latar belakang Annemarie Schimmel dan karya-karya
2. Mengetahui secara jelas tentang fenomenologi
3. Mengetahui tujuan dan tugas fenomenologi dalam studi Islam serta sasaran utamanya sebagaimana yang di ungkapkan oleh Annnemarie Schimmel
4. Mengetahui keterbatasan dan keunggulan pendekatan fenomenologi dalam studi Islam
44
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi dan karya-karya Annemari Schimmel
Prof Annemarie Schimmel, seorang sarjana Jerman, yang terkenal, yang meninggal pada 25 Januari 2003, pada usia 80 tahun. Seorang yang ahli dalam bidang mistisisme Islam, Schimmel telah menerbitkan 80 buku, mempunyai 5 gelar, dan 26 penghargaan dalam kuliahnya di berbagai Universitas termasuk Harvard, Bonn, London dan Ankara. Schimmel dilahirkan di Erfurt, sebuah kota kecil di Jerman pada tahun 1922. pada waktu berumur 15 tahun dia kembali untuk belajar bahasa Arab. Pada umur 19m tahun, dia menerima gelar doktor di bidang bahasa dan Peradaban Islam dari Universitas Berlin. Dia menjadi Profesor dalam bidang ilmu-ilmu Islam di Universitas Marburg saat dia berusia 23 tahun dan ia pergi untuk mendapatkan gelar doktor yang kedua dan bidang Sejarah Agama-agama, pada tahun 1954 dia menjadi Profesor pada bidang Sejarag keagamaan di Universitas Ankara. Schimmel menghabiskan waktu selama 5 tahun untuk mengajar di Turki dan mengabdikan dirinya dalam kebudayaan dan tradisi tasawuf pada negara.
Schimmel memperoleh gelar Doktornya di Universitas Berlin dan Universitas Marbung. Dia juga menyandang gelar profesor dibidang studistudi Islam di Universitas Marbung, Universitas Boon. Sejak tahun 1967 ia di Universitas Harvard. Ia menjadi anggota beberapa masyarakat akademis, diantaranya anggota Midote East Studies Association, The Association For The Association. Di samping menjadi
45
penyambung artikel-artikel untuk jurnal-jurnal profesional, dia juga pengarang beberapa buku tasawuf.10
Schimmel adalah seorang profesor yang konon menguasai lebih dari dua puluh bahasa asing dan memiliki photographik memory. Pada bulan Oktober 1945 ia pernah menjadi sasaran kecaman dari sekitar 200 penerbit, toko buku dan kaum terpelajar Jerman yang tergabung dalam kampium kebebasan berekspresi sehubungan dengan pengumuman German Book Traders yang menyatakan terpilih sebagai pemegang hadiah perdamaian. Lembaga ini memilih Schimmel berkat jasanya dalam membantu penciptakan saling pengertian antara orang Barat dan kaum muslim melalui puluhan buku dan ratusan karya tulisnya tentang Islam.
Sebagai seorang pemikir yang cukup produktif, Schimmel telah menghasilkan puluhan karya bahkan ratusan ditulisnya dengan cemerlang dan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Karya-karyanya dalam bahasa Inggris antara lain : I am Wind Your Are Fire, The Life and Work Of Rumi, Look I This is Love, Poems Of Rumi, Mystical Dimensions Of Islam, Islamic Names, An Introduction, Islam, An Introduction, Ibn Abbad Of Ronda, Letters On The Sufi Path, My Soul is a Woman, The Feminine in Islam, The Mystery Of Number, And Muhammad is His Messenger, The Veneration of the prophent in Islamic Prety, Book of gifts & rarities.11
Diantara karya-karya Schimmel yang saat ini telah banyak dipelajari di Indonesia da telah diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia diantaranya : Dan Muhammad adalah utusan Allah : penghormatan terhadap Nabi SAW dalam Islam, dimensi mistik dalam Islam, ASPEK feminin dalam Spiritualisme Islam, rahasia wajah suci ilahi, dan akulah angin engkaulah api (kehidupan dan karya jalaluddin rumi).
B. Pengertian fenomenologi
10 Muhammad Ibn Abbad, Surat-surat Sang Sufi, (Bandung : Mizan, 1993), hlm 7
11 Di kutip dari situs Http : // www ibis books.com
46
Kata fenomenologi berasal dari kata Yunani, phenomenon, yaitu sesuatu yang tampak yang terlihat karena bercakupan12. Fenomenologi ialah sebuah ilmu pengetahuan denagn menggunakan pendekatan tentang apa yang tampak (phainomenon). Fenomenologi dengan demikian adalah ilmu yang mempelajari apa yang tampak atau apa yang menampakkan diri atau fenomenon.
Teori Fenomenologi dalam sejarahnya diusung oleh seorang filsuf, Edmund Husserl. Fenomenologi Husserlian adalah ilmu tentang esensi dari kesadaran. menurutnya fenomena adalah suatu relitas yang tampak yang tidak ada selubung atau tirai yang memisahkan manusia dari sesuat yang nyata karena memang ia tampak. begitupun dengan agama, ia tampak bagi manusia namun penampakannya tidak semua sama di hadapan manusia itu sendiri.13 Selain itu fenomena berarti mencari jawaban atas pertanyaan bagaimana menangkap gejala atau penampakan objek yang tampak dalam kesadaran aagr bisa menggapai esensi murni melalui jalan penyaringan dan pengurungan atau epoche, dalam artian langkah penyaringan disini yakni sikap menunda justifikasi sampai dengan dapat dipahami suatu kenyataan secara jernih.
Max Scheler mengajukan pandangan yang agak sedikit berbeda dengan Husserl tentang fenomenologi, dalam hal ini Husserl mengajukan jalan pengurungan dan penyaringan serta penahanan pengakuan sebagaimana yang telah di ungkapkan di atas, bagi Scheler pengurungan dan penyaringan saja belumlah cukup yang tepat ialah menghilangkan segala kecenderungan personal, kesenangan, kebencian dan sikap askesis yakni melepaskan dari semua dorongan yang rendah.14
Mochammad Dimyati, yang mengutip beberapa gagasan Husserl, mengambil kesimpulan bahwa fenomenologi merupakan analisis deskriptif dan introspektif tentang kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman langsung yang meliputi inderawi, konseptual, moral, estetis dan religius. Fenomenologi adalah suatu
12 Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, 2005; hal. 178.
13 Hudjolly, imagologi; strategi rekayasa teks, (jogjakarta: ar-ruzz media, 2011) cet 1, h. 54
14 Ibid, h. 55
47
metode yang secara sistematis berpangkal pada pengalaman dan melakukan pengolahan-pengolahan pengertian Fenomenologi agama atau pendekatan agama secara sistematis berpangkal pada pengalaman dan melakukan pengolahan-pengolahan pengertian15.
Menurut Van der Leuw, fenomenologi mencari atau mengamati fenomena sebagaimana yang tampak. Dalam hal ini ada tiga hal prinsip yang tercakup di dalamnya adalah:
1. Sesuatu itu berujud
2. Sesuatu itu tampak
3. Jika sesuatu itu tampak dan benar maka ia merupakan fenomena
Penampakan itu menunjukkan kesamaan antara yang tampak dengan yang diterima oleh si pengamat16. Tanpa melakukan campur tangan dan modifikasi dan membiarkan fenomena itu berbicara sendiri. Dalam konteks ini, fenomenologi dapat dipahami sebagai “unveiling or exposing to view something that was hidden” (menyingkap atau mengungkap untuk melihat sesuatu yang tersembunyi)17. Sedangkan Marleau-Ponty dalam bukunya K. Bartens menjelaskan, fenomenologi merupakan satu studi yang membahas tentang esensi-esensi, dan menurutnya semua problem pada dasarnya tidak lain yaitu menenttukan esensi-esensi, seperti esensi kesadaran, dan lain sebagainya18.
Menurut Soejono Soekanto, Mengkaji fenomena keagamaan berarti mempelajari perilaku manusia dalam kehidupannya beragama. Ilmu pengetahuan
15 Mochammad Dimyati, Penelitian Kualitatif: Paradigma Epistemologi, Pendekatan, Metode dan Terapan, (Malang: PPS Universitas Negeri Malang, 2000), h. 70
16Jacques Waardenburg, Classical Approach to the study of religion (Paris, Mouton: the haque, 1973),h. 412
17Charles J. Ada, “The Hermeneutics of Henry Corbin,” dalam Approaches to Islam in Religius Studies, ed. Richard Martin (Tucson : The Arizona State University Press, 1985), mengutip Henry Corbin, En Islam Iranien I, h. 19
18 K. Bartens, Fenomenologi Eksistensial, 2006; hal. 25.
48
social dengan caranya masing masing, atau metode, teknik, dan peralatannya, dapat mengamati dengan cermat perilaku manusia itu19.
C. Latar belakang, karakteristik pemikiran Annemarie Schimmel
William C. Chittick memberi tanggapan bahwa Dechipering the Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam, adalah suatu karya penting Schimmel yang telah menyajikan/menyuguhkan pencerahan pemahaman Islam sepanjang masa. Lebih penting lagi, pemilihan pendekatan fenomenologisnya sebagai kerangka berfikir yang sangat mungkin akan banyak diapresiasi oleh tradisi keagamaan lain.20
Adapun hal yang melatar belakangi Annemarie schimel untum mengkaji Islam secara fenomenologis ialah bermula ketika ia mengajar tentang ajran agama-agama di Islamic faculty of divinity diankara pada 1950, ketika itu ia berusaha menjelaskan kepada mahasiswa tentang kategori yang yang dibuat oleh rudolf otto tentang mysterium tremendum dan mysterium fascinas—numens yang mengungkapkan tentang dirinya sendiri di bawah aspek keagungan yang menakjubkan dan keindahan yang memikat, di sela-sela tersebut seorang mahasiswa berdiri dan berkata kepada Annemarie: “ professor kami kaum muslimin telah mengetahui hal ini selama berabad-abad dimana tuhan memiliki dua aspek yakni jalal (keagungan, kekuasaan dan kemurkaan) serta aspek jamal (keindahan, kebaikan dan belas kasih)21. Sejak saat itulah ia lebih giat lagi untuk mengkaji Islam melalui sudut pandang fenomenologinya dan terlebih lagi Annemarie mendapati bahwa Islam di tampilkan secara buruk dalam beberapa buku penting di bidang ini. sebagaimana yang telah di ugkapkan oleh Reimarus, seorang pemikir jerman abad delapan belas yang telah dikutip Annemarie dalam pendahuluannya :”saya yakin bahwa diantara mereka yang menuduh agama bangsa turki ini mengandung kesalahan,hanya sedikit yang
19 Soejono Soekanto, Sosiologi; Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1993), h. 18.
20 William C. Chittick pada Cover belakang;Dechipering the Signs of God:A Phenomenological Approach to Islam.
21 Annemarie Schimel,rahasia wajah suci ilahi, memahami Islam secara fenomenologis, (Bandung: Mizan, 1996), h. 19.
49
membaca Alquran, dan diantara mereka yang telah benar-benar membacanya, hanya sedikit sekali yang mempunyai niat untuk memberikan pada kata-kata itu makna yang tepat yang sesungguhnya termuat di dalamnya”.
Kemudian lebih diperkuat lagi dengan anggapan bahwa diantara beberapa metode pendekatan salah satunya metode sejarah yang Annemarie sebut sebagai metode vertikal telah di perhalus dari hari kehari berkat dokumen-dokumen yang bermunculan dari sumber-sumber yang sangat berlimpah di perpustakaan-perpustakaan timur dan barat namun hampir tidak pernah tersentuh. Suatu inskripsi yang sampai sekarang terlewatkan di sebuah masjid di zansibar atau sepotong puisi muslim dalam idiom india selatan dapat membuka wawasan yang mencengangkan menyangkut perkembangan-perkembangan sejarah tertentu22, kemudian Annemarie melanjutkan bahwa demikian pula halnya dengan cara pandang yang sama sekali baru tentang awal-awal peradan Islam.
Menurut Annemarie Schimel selain menggunakan upaya Cross Section dalam upaya menggolongkan aspek-aspek Islam yang berlainan, maka perlu di perhatikan kontras tradisional antara agama ‘frofetis” dan agama ‘mistis’ hal ini senada dengan apa yang telah di ungkapkan fenomenolog lainnya yakni Nathan Soderblom dan Friedrich heiler. Selain itu pula Islam haru di pandang dari sudut kacamata sosiologisnya dan tak ketinggalan kondisi geografisnya, sekte atau kelompok sosial, hubungan guru dan murid, kecenderungan terhadap universalitas dan ekspansi baik melalui misi dan ekspansi.
Dari sekian banyaknya metode yang menawarkan pendekatan terhadap agama Annemarie menyimpulkan bahwa hal terpenting di antara banyaknya pendekatan dan pengkajian terhadap Islam yakni keharusan seorang peneliti untuk merumuskan pendirian atas objek risetnya sementara, pada saat yang sama menanguhkan
22Ibid, h 20
50
penilaiannya sebab ia tengah berurusan dengan sesuatu, yang bagaimanapun juga, merupakan bidang yang paling sakral dalam kehidupan berjuta-juta umat23.
Dalam buku yang di tulisnya ini, annemarie tidak menafikkan bahwa prasangka-prasangka pribadi mau tidak mau tertuang dalam kajian ini, yang prasangkanya lebih condong kepada aspek mistis dan puitisnya di banding aspek legalistiknya. Dalam metode pndekatan fenomelogi Annemarie terinspirasi dari metode yang di kembangkan oleh friedrich heiler dalam telaah komprehenssifnya Ersheinungsformen und wesen der relegion (stuggart 1961), diman dalam telaah tersebut Friedrich berusaha untuk masuk kedalam jantung agama dengan jalan menelaah lebih dulu fenomenanya dan selanjutnya lapisan-lapisan yang lebih dalam dan lebih dalam lagi dari tanggapan-tanggapan manusia terhadap tuhan, hingga mencapai intisari suci yang paling dalam dari agama, pusat, sang ilah, Deus abconditus, ia selalu mengacu kepada perkataan Friedrch von hugel bahwa ruh itu bangkit ketika berhubungan dengan benda mati. Hal ini senada dengan firman Allah swt. :
Yang artinya :
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu (QS, al-Fussilat : 53)
Dari firman di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa segala sesuatu yang tampak dapat di jadikan ayat atau tanda selain ayat Alquran itu sendiri, selanjutnya Annemarie mengatakan bukanlah deus absconditus melainkan deus revelatusnyalah yang dapat di temukan melalui ayat. Dimana tuhan mengungkapakan kehendak
23 Ibid, h 21
51
melalui firman, dan berbicara melalui nabi-Nya dan tuntunan-Nya membawa kepada jalan yang benar,
Annemarie kemudian memberikan contoh lain selain yang berbentuk lahiriah, yakni dalam kegiatan peribatan ia mengkiaskan sholat sebagai bentuk keintiman manusia dengan tuhannya, puasa adalah bentuk dari penyucian diri segala bentuk debu dunia, haji adalah manifestasi dari perjalanan suci manusia menuju rabnya. Selain dari contoh di atas Annemarie juga mengambil contoh dari tindakan simbolis, di antaranya ketika terjadi perang badr antara kaum muslimin dan kafir Quraisy, pada saat itu nabi mengambil pasir dan batu krikil lalu kemudian di lemparkan kepada musuhnya.
Sebagaimana yang telah di jelaskan sebelumnya tentang penejelajahan cross-section dari beberapa model yang di ungkapkan, Annemerie lebih menitik beratkan kepada model yang di gagas oleh friedrich heiler sebagai suatu model yang paling tepat dan yang paling baik dalam pemberian bentuk bagi penjelajahan cross-sectin termasuk model yang di gagas oleh Girardus Van Der Leuuw.
Dalam menawarkan gagasan Friderich heisel ini Annimerie kemudian meminjam ringkasan yang dibuat oleh J.J Waardenburg (1973) dalam karyanya Approaches to the study of relegion, sebagai berikut :
52
Dalam ringkasan ini kita bisa melihat bagaimana J.J Waardenburg membagi dunia perwujudan menjadi beberapa lapisan dan sektornya masing-masing, diagram tersebut memuat empat lapisan yang terdiri tiga sektor di setiap lapisan-lapisan tersebut, berikut penjelasannya :
1. Dunia perwujudan luar terdiri atas tiga sektor :
a. Objek suci, ruang suci diman pemujaan itu berlangsung, waktu suci, saat diman ritual yang paling penting di lakukan, bilangan suci, yang dengannya objek, ruang, waktu kata, orang-orang di ukur, tindakan (upacara) suci
b. Kata suci (1) kata-kata yang terucap : a) firman tuhan, mantra, nama tuhan, sabda dewa, mitos, legenda, nubuat, ajaran doktrin. b) kata untuk tuhan, doa dalam pemujaan, penebusan dosa, pujian, syukur, permohonan, kepasrahan. c) sikap diam yang suci. (2) kata yang tertulis seperti kitab suci
53
c. Manusia suci dn komunitas suci, semua ini ada dalam jangkauan yang secara fisik dapat di amati, dapat di lihat, dapat di dengar dan nyata. Agama bukanlah suatu keruhanian yang hampa.
2. Lingkaran dalam yang pertama adalah dunia imajinasi agama, pikiran-pikiran, citra-citra, ide-ide menyangkut zat tuhan yang tak terlihat dan hasil karyanya terlihat :
a. Konsepsi tentang tuhan (teologi)
b. Konsepsi tentang penciptaan (kosmologi dan antropologi, termasuk kondisi asal dan dosa asal
c. Konsepsi tentang wahyu; kedekatan kehendak ilahi dalam kata yang terucap, dalam sejarh, dalam jiwa (kristologi)
d. Konsepsi tentang penebusan; (1)penebus, (2)objek penebusan, (3)jslsn menuju penebusan (soteriologi)
e. Pemenuhan dimasa yang akan datang dan di dunia yang akan datang (eskatologi)
3. Lingkaran dalam kedua mewakili dunia pengalaman agama, yaitu apa yang terjadi jauh di dalam jiwa, yang merupakan kebalikan dari citra-citra rasional atau fantastis tentang tuhan, nilai-nilai keagamaan yang di kesampingkan dalam pertentangan antara manusia dan objek-objek suci dan dalam pelaksanaan tindakan suci : (1) penghormatan (kepada ilahi;kesuciannya), (2) rasa takut, (3) iman dan kepercayaan penuh kepada tuhan yang mengungkapkan diri-Nya sendiri karya-Nya aturan dan cinta kasih-Nya serta pertolongan-Nya (5) kecintaan,kerinduan kepada tuhan, kepasrahan kepada-Nya,ketimbal balikan dalam cinta kasih tuhan. Setelah nilai-nilai ini, adalah kedamaian, kegembiraan, dan dorongan untuk berbagi. Kemudian pengalaman-pengalaman keagamaan yang luar biasa. Ilham, peralihan agama secara mendadak, pencerahan, penampakan dan pendengaran, ekstase, kardiognosis, dan bebrbagai perluasan kekuatan
54
fisik, seperti pembicaraan, dan penulisan otomatis, pembicaraan dalam bahsa asing dan stigmatisasi dan sebagainya.
4. Dunia agama yang objektif, pusat dari lingkaran-lingkaran itu, ada realitas ilahi, yang dipahami melalui seluruh perwujudan eksternal, dugaan bathin, dan pengalaman jiwa, dalam suatu pengertian ganda :
a. Sebagai deus revelatus tuhan yang menghadapkan wajah-Nya kepada manusi, sebagai kesucian mutlak, kebenara, keadilan, belas kasih, keselamtan, tuhan pribadi, yang dialami sebagai ‘engkau’ dan sebagai zat kesatuan.
b. Sebagai deus ipse atau absconditus, ketuhanan, yang di alami sebagai “dia” sebagai kesatuan mutlak
Menurut Annemarie semua komponen yang telah di sebutkan dan dipaparkan berdasarkan lapisan dan sektornya masing-masing bahwa satu sama lainnya memiliki keterikatan antara satu segmen dengan segmen yang lainnya, bentuk-bentuk fisik dari ungkapan, pemikiran, perasaan, yang akhirnya terkait dengan realitas ilahi. Meskipun realitas itu tidak akan pernah terungkap secara sempurna dalam bentuk ungkapan, pemikiran, dan pengalaman manusia, ada keterikatan dan keterkaitan dengan ilahi24.
Gambaran cincin konsenteris ini menurut Annemarie telah ada jauh sebelumnya, bentuknya hampir sama dengan apa yang telah di kiaskan oleh abu’l husayn an-Nuri sebagai berikut :
24 Ibid, h 29
55
An-Nuri menggambarkan Sadr (dada) sebagai lapisan luar yang kemudian ia kaitkan dengan Islam yang dalam model kita, unsur institusional-eksternal dari agama-agama, hal ini sebagaimana yang di perumpakaan Allah dalam firman-Nya dalam surat az-Zumar :22 “maka apakah orang-orang yang di bukakan Allah hatinya untuk menerima agama Islam lalu ia mendapatkan cahaya dari tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)”.
Lapisan kedua yakni Qalb yang bermakna hati sebagai tempat iman, kayakinan, sebagaimana yang Allah firmankan dalam Surat al-hujurat :7 :”akan tetapi Allah menjadikan kamu “cinta” kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah didalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran”.
lapisan ketiga yakni Fuad yang bermakna hati yang lebih mendalam, yang merupakan tempat ma’rifah pengetahuan makrifat intuitif, sebagaimana yang di jelaskan Allah melalui firmannya dalam surat an-Najm :11 :”hatinya tidak mendustakan apa yang di lihat”
sedangkan lapisan terdalam yakni Lubb yang merupakan intisari dari hati yang paling dalam, tempatnya bersemayamnya tauhid sebagaimana yang di jelaskan Allah dalam firman-Nya surah ali imran :190 :”sesungguhnya di dalam penciptaan langit
56
dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda orang-orang yang berakal.
D. Pandangan dan pemikiran Annemarie Schimmel tentang pendekatan Islam secara fenomenologis
1. Aspek-aspek suci alam dan kebudayaan
Menurut Anneamrie sejak awal datangnya manusia ke bumi, manusia telah sering terkesa dan takjuk kepada fenomena alam yang terjadi di sekeliling mereka25.manusia menggambarkan fenomena-fenomena yang terjadi di alam merupakan hasil refresentasi dari sebuah kekuatan, kesucian, hikmah, kebijaksanaan, kebaikan, kejahatan, dan masih banyak lagi kiasan yang lainnya.
Annemarie lalu kemudian memaparkan beberapa contoh tentang beberapa fenomena yang berkaitan dengan masyarakat muslim, di antara banyaknya gambaran fenomena-fenomena alam yang di paparkan oleh Annemarie, penulis merangkumnya dan meringkasnya menjadi sebagai berikut :
a. Batu
Di beberapa wilayah termasuk di dalalamnya bangsa semit kuno menganggap batu merupakan representasi dari sebuah kekuatan yang mana memiliki kekuatan misterius, di antara banyaknya bebatuan yang di kiaskan tersebut, maka yang paling sakral ialah sebuah mitologi yang membicarakan tentang batu yang utama yang menjadi landasan kosmos, warna hijau yang berada jauh di bawah tanah, yang titik pusatnya di atas bumi ka’bah. Sebuah batu hitam yang merupakan batu meteor yang berada di sudut tenggara ka’bah adalah titik dimana orang berpaling, mereka berusaha menciumnya ketika menunaikan ibadah haji, batu ini sebagaiamnana di katakan di dalalm legenda pada awalnya berwarna putih lalu kemudian berwarna hitam akibat dari sentuhan tangan orang-orang yang berdosa.
25 Ibid, h 33
57
b. Air
Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa air merupakan sumber kehidupan manusia yang utama, namun di beberapa wilayah air di anggap sesuatu yang yang lebih dari sekedar utama, Annemarie menjelaskan bahwa ada banyak mata air dan kolam yang keramat di dunia Islam di antaranya zamzam didekat ka’bah yang sangat melegenda itu. Kemudian kita juga bisa mengambil contoh lain dimana kita bisa menemukan di daerah kita adanya mata air atau kolam yang berada di dekat makam orang yang di anggap suci,
c. Api
Dalam beberapa pandangan api di analogikan sebagai pembawa kekuatan negatif, sebagai contoh di dalam Alquran kata yang merujuk kepada ‘api’ hampir semuanya menjabarkan tentang neraka jahannam, namun selain itu juga api di anggap sebagai sesuatu yang sangat sakral dan istimewa di daerah lain
d. Cahaya
Cahaya memainkan peranana yang utama dalam seluruh tradisi agama, dan konsep cahaya dalam dirinya sendiri terlalu mencolok kejelasannyauntuk di tangkap oleh mata mendapat dukungan pasti dari Alquran26. Di beberapa wilayah simbolisme cahaya banyak di gunakan.
e. Matahari dan bulan
Matahari merupakan perwujudan cahaya yang mencangkup dan menembus segalanya, yang mewujudkan keagungan dan keindahan sekaligus, selain itu bulan juga takkala penting dari matahari bagi kehidupan. Ia merupakan petunjuk waktu,
26Ibid, h 33 di kutip dari Toshihiko izutsu (1971), the paradox of light and darkness in the garden of mistery of syastary,
58
simbolisasi dari sebuah keindahan, dalam kehidupan terkadang seseorang membandingkan antara kekasihnya dengan bulan yang bercahaya,
f. Warna
Cahaya dan kegelapan menghasilkan warna-warna, menurut Annemarie tentang hal ini kita harus memasuki dunia riset yang paling luas, dengan contoh kecil kita bisa mendapatkan di sekeliling kita tentang warna-warna yang di anggap memiliki makna artivisial,
2. Tumbuhan dan hewan
Di antara banyak kiasasan Annemarie tentang tumbuhan dan hewan, penulis membagi dan meringkasnya menjadi, sebagai berikut :
a. Pohon
Sebagaimana yang telah di gambarkan oleh Allah dalam firman-Nya tentang gambaran sebuah pohon yang memiliki makna yang sangat mendalalam :
Yang artinya :
Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, (QS, Ibrahim: 24)
dalam kehidupan manusia pohon memiliki makna yang begitu penting sebagaimana yang telah gambarkan tentang perumpamaan pohon. Dahulu kala telah di kenal sebuah konsep yang mengatakan tentang pohon kehidupan, yang akarnya menghujam bumi dan rantingnya menggapai langit. Di ceritakan bahwa pohon sering di temukan di dekat kuburan orang-orang suci, bahkan di sebagian wilayah
59
berkembang cerita bahwa secara umum pohon menyinpan aliran kekuatan hidup. Berikut ilustrasi sebagaimana yang telah di jelaskan oleh Annemarie Schimmel :
b. Taman
Taman merupakan sebuah replika surgawi, surga merupakan replika taman abadi. Abu’I-Husayn An-Nuri dibagdad pada abad ke sembilan belas mengemukakan perbandingan antara hati dengan sebuah taman yang di penuhi dengan tanaman-tanaman wangi,
c. Semut
Di dalam Alquran banyak di singgup mengenai hewan-hewan baik berupa sesungguhnya atau sesuatu yang bersifat pengkiasan saja di antaranya semut, di
60
dalam Alquran di beberapa ayat menjelaskan tentang kisah semut dengan nabi sulaiman
d. Singa
Dimana-mana singan merupakan simbol dari kekuatan dan kejayaan, begitupun halnya dalam kehidupan masyarakat Islam yang menjadikannya sebagai lambang sebuah kekuatan, pada awal Islam telah di kenal sebuah istilah ‘jundullah, haydar, alisyr, aslan, arslan yang semuanya memiliki makna yang sama, istilah ini lalu di tujukan kepada ali bin abi thalib yang konon memiliki kemampuan dan kekuatan layaknya seorang singa ketika menghadapi musuhnya di medan juang.
e. Kucing
Di dalam kepercayaan masyarakat, kita sering mendengar kata-kata yang mengatakan bahwa kucing adalah sepupu, keluarga, atau bahkan bibi dari singa. Kesukaan nabi pada binatang sering di kisahkan, kucing adalah hewan yang merepresentasikan sebuah perasaan, kebersihan, kebaikan dan lain sebagainya.
f. Anjing
Hewan yang satu ini ini merupakan kebalikan dari kucing yang telah di jelaskan sebelumnya, anjing di anggap hewan yang tidak bersih, bahkan kehadirannya bisa mengganggu kesucian shalat, anjing di kiaskan sebagai hewan yang galak dan rakus.
g. Unta
Hewan penghuni utama padang pasir ini sering di gambarkan sebagai tanda kekuatan kreatif Allah swt. Sebagaimana di jelaskan di dalam Alquran “tidaklah mereka melihat unta, bagaimana mereka di ciptakan”.
h. Kuda
61
Kuda adalah hewan khas arab yang di ciptakan, menurut sebuah dongeng, dari angin selatan yang cepat, dan literatur arab sarat dengan puji-pujian terhadap makhluk yang indah ini.
i. Burung
Menurut Annemarie yang jauh lebih penting dalam bahasa lambang adalah dunia burung. Ungkapan, kiasan dan permisalan terhadap burung-burung oleh masyarakat di bedakan bergantung pada jenisnya masing-masing, misalnya burung elang di lukiskan sebagai pemburu yang memiliki jiwa kuat dan berguna. Burung merpati di lukskan sebagai ungkapan kesetian yang di penuhi dengan cinta. Burung bangau bermetamorfosis menjadi debuah ungkapan kesalehan, ketundukan dan kepatuhan.
3. Objek buatan manusia
Benda-benda buatan manusia terkadang di maknai sebagai sesuatu yang memiliki kekuatan lebih, yang istilah umumnya ialah jimat, azimat dan lain sebagainya, yaitu sesuatu yang di buat sendiri oleh manusia kemudian mendapat tempat tersendiri di dalam hati manusia. Tetapi di dalam Islam memberikan kepercayaan kepada sebuah ‘jimat’ mutlak di larang di dalam Islam. begitupula sebuah tindakan yang tidak sesuai dengan iman kepada Allah swt. Di antara banyak banyak objek buatan manusia yang di istimewakan ialah senjata-senjata berupa pedang dan kapak, tongkat yang di dalam sebagian masyarakat Islam sebagai hal sakral ketika berlangsungnya khutbah jum’at, bendera sebagai lambang,
Selain benda –benda yang bermuatan logam dan padat, juga terdapat objek-objek tenunannya yang peranannya jauh lebih luas, di antaranya fungsi kain yang membungkus suatu makam, selain itu tak kalah pentingnya yakni pakaian, yang lebih khusus lagi, yang mana ketika seseorang mengganti pakaiannya berarti ia juga
62
mengganti kripadiannya, sebagaimana yang di jelaskan Annemarie bahwa pakaina merupakan alter ego.
4. ruang dan waktu yang suci
Ketika membahas masalah ruang dan waktu yang suci dalam masyarakat Islam, maka kita akan menemukan banyak hal yang berkaitan dengannya, hal ini bisa jadi sangat erat kaitannya dengan kondisi, situasi yang mengitarinya.
Annimarie mengutip pendapat S.H Nasr bahwa kaum muslimin di dalam suatu ruang yang di batasi oleh ketentuan Alquran, dalam pembahan Annimarie ruan dan waktu yang suci dalam Islam, ia memulainya dengan mengambil sampel gua dimana ia menjelaskan bahwa mulai dari zaman dahulu kala manusia telah berhubungan dengan gua, terbukti mulai zaman pra sejarah hingga datangnya Islam, di dalam is lam banyak hal yang berkaitan dengan gua, misalnya slah satu nama surat di dalam Alquran merupakan gua yakni ‘al-Kahf’, yang menceritakan tentang persembunyian beberapa pemuda dan seekor anjing yang bersembunyi di dalamnya yang menghindari kejaran penguasa lalim kala itu. Selain itu kita tidak menafikan bahwa nabi muhammad saw. Pertama kali mendapatkan wahyu yakni di dalam gua yang kita kenal gua hira, selain gua ini di dalam Islam juga di kenal satu gua yang menjadi tempat nabi muhammad saw. Bersembunyi bersama sahabatnya abu bakar ketika menghindari kejaran kaum Quraisy.
Selain gua di dalam tradisi masyarakat Islam juga di kenal yang nama pintu atau gerbang, yang memiliki artifisial tersendiri, pintu di gambarkan sebagai membuka menuju tempat suci, sehingga kita dapat menemukan dalam masyarakat Islam tempat suci memiliki gerbang atau pintu yang sangat sarat dengan makna. Selanjutnya setelah melewati pintu dan gerbnag maka kita akan memasuki yang namanya ruang suci, di dalam Islam ruang suci atau par exeellence tampkanya ialah masjid, bentuk-bentuk masjid dalam Islam beragam sesuai dengan gaya arsitektur negri masing-masing. Dan perlu kita ketahui bahwa apabila kita membahas masalah
63
masjid maka semestinya kita juga membahas menara, ia memiliki makna tersendiri di samping masjid. Sehingga sering kita dapatkan di beberapa masjid di sudutnya di bangun sebuah atau beberapa menara yang menjulang tinggi yang konsepnya sama menyesuakan dengan seni arsitektur daerah tersebut.
Selain masjid sebagai tempat suci yang di dalam Islam, maka dalam beberapa masyarakat muslim juga tak ketinggalam makam sebagai tempat yang di anggap tidak kala penting dan sakral, bagi masyarakat muslim makam memiliki nilai suci tersendiri, sehingga dalam masyarakat muslim makam-makam para wali, suhada, alim ulama, dan orang-orang yang di anggap istemewa sangat ramai di kunjungi bahka di keramatkan.
Makkah, dalam pemikiran umum dikaitkan dengan tempat berkumpulnya berjuta-juta manusia setiap tahun dalam rangka menunaikan salah satu rukun Islam, ia merupakan tempat yang paling su ci di antara tempat suci lainnya bagi umat Islam, semua umat Islam amat mendambakan kehadiran di tempat suci ini. seperti halnya masjid yang tidak lepas dari menaranya maka begitupun halnya dengan makkah yang tidak pernah lepas dengan ka’bahnya, ka’bah merupakan alasan utama jutaan manusia untuk datang ke makkah dalam rangka menunaikan salah satu kewajibannya. Banyak penyair yang membandingkan bangunann berselubung hitam ini dengan seorang mempelai wanita yang telah lama dirindukan.
Selain ruang dan tempat yang di anggap suci dalam Islam dan masyarakatnya juga terdapat waktu yang di anggap suci dan istimewa, misalnya dalam penanggalan isalam bulan ramadhan merupakan bulan yang paling mulia di banding bulan-bulan yang lainnya, bulan di mana pintu-pintu surga di buka lebar-lebar dan pintu neraka di tutup rapat-rapat, selain itu ada satu malam yang di lukiskan sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan yakni lailatul qadar, dan tak ketinggalan pula hari peringatan maulid nabi.
64
Dalam komunita syiah juga memiliki hari-hari yang di anggap paling keramat yakni peringatan hari kelahiran Ali, dan peringatan ghadir khum yaitu peringatan dimana nabi menetapkan ali sebagai penerusnya, dan tak kala penting ialah peringatan bulan muharram yang mengingat tentang kematian husayn.
Selain berbicara masalah bulan-bulan yang suci juga di singgung masalah hari-hari yang suci dalam Islam misalnya hari senin sebagai hari di mana di lahirkannya nabi muhammad saw. Dan seterusnya, kemudian juga di singgung masalah jam-jam yang dianggap baik hal ini bisa kita temukan dalam penentuan waktu-waktu shalat menurut jam dan waktunya.
5. tindakan yang suci
jika kita berbicara masalah kehidupan maka kita takkan bisa lepas dengan yang namanya tindakan yang umumnya di kendalikan perasaan dan pengalaman keagamaan, sehingga adat dan kebiasaan para leluhur merupakan salah satu ukuran kehidupan, di dalam Alquran di tekankan tentang berbuat baik dan bermanfaat dan agar bersandar kepada sunnah nabi serta para pemimpin. dalam membahas masalah tindakan yang suci, dalam menjelaskan tindakan suci Annemarie membagi hal ini menjadi beberapa bagian, diantaranya :
via vurgativa yakni cara-cara untuk menyucikan diri sendiri dalam usaha untuk berhubungan dengan yang suci, ilahi. Hal ini mencangkup upacara-upacara, pengasapan, wewangian. Via illuminativa merupakan batas tertentu yang profan yang tidak termasuk di dalam tindak penyucian, adalah niat, di mana setiap tindakan di awali dengan niat sehingga muncul istilah segala sesuatu tergantung dengan apa yanhg di niatkannya. Via unitiva di gambarkan sebagai penyatuan dan cinta
6. firman dan kitab suci
membahas mengenai firman tuhan, Annemarie menjelaskan bahwa firman tuhan merupakan sesuatu yang datangnya dari tuhan yang mengungkapkan diri-Nya
65
serta kehendak-Nya, firman tuhan terlindung dari segala hiruk pikuk kehidupan sehari-hari melalui satu cara pembacaan khusus yang menekankan ciri kesucian-Nya. Sehingga dalam masyarakat Islam di kenal seni membaca Alquran semisal tartil, tilawah, juga tardid yakni pengulangan, bahkan seni membaca Alquran dalam masyarakat muslim di seluruh dunia di perlombakan. Selain kita mengenal adanya seni lagu maka juga di kenal adanya seni dalam berpuisi
jantung Islam adalah Alquran, suaranya dikatakan membatasi ruang dimana kaum muslimin hidup, dan salinan-salinan tertulisnya sangat di muliakan. Annemarie menjelaskan bahwa Alquran bagi kaum muslimin adalah Verbum Visible, firman inlibrate.
Alquran di wahyukan dalam bahasa arab yang jelas, yang keunggulan astranya berulang kali di jelaskan. I’jaz, gayanya yang tiada banding merupakan bagian dari kemukjizatan Alquran. Yang rangkaian ayat-ayat yang membentuk menjadi satu-surat dan menjadi juz-juz adalah sebuah tanda dari Alquran yang membuktikan kejujuran muhammad, I’jaz yang menghapuskan kemampuan manusia dan jin untuk dapat menandingi Alquran. Bukti bahwa Firman itu berasal dari Tuhan tidak lain karena kemukjizatan yang dikandungnya, tata bahasa yang indah yakni dari Bahasa Arab Fasih yang tidak dapat ditiru oleh penyair manapun. Firman ini juga sebagai bahasa pujian, disamping merupakan bahasa hati, karena cara lain untuk menyebarkan isi wahyu adalah glossolalia, atau berbicara dalam berbagai bahasa. Teks Alquran di yakini oleh semua umat muslim sebagai pedoman utama yang mengandung pemecahan bagi semua masalah yang timbul pada waktu itu dan bagi yang akan datang.
7. Individu dan masyarakat
Ketika kita berbicara individu dan masyrakat maka kita tak bisa lepas dari manusianya itu sendiri karena individu ialah manusia dan masyarakat adalah bagian dari sekelompok manusia, menjelaskan mengenai keadaan manusia Annemarie
66
mengutip perkataan Rumi dalam kitabnya fihi ma fihi bahwa manusia ibarat sebuah sayap malaikat di ambil dan di ikat pada ekor keledai sehingga keledai itu secara kebetulan juga menjadi malaikat berkat cahaya yang di bawa oleh malaikat itu.
Dalam pembahasan ini di jelaskan bahwa manusia memiliki dua keadaan, di mana di satu pihak manusia adalah penguasa yang di tunjuk tuhan atas mahluk-mahluk lainnya, dan di satu pihak manusia adalah mahluk yang serendah-rendahnya, sebagaimana yang di firmankan oleh tuhan.
Dalam kaitannya dengan manusia, maka tidak lepas kaitannya dengan nabi sebagai pembawa kabar gembira, dalam Islam di beadkan antara dua jenis nabi, yakni nabi yang menerima wahyu dan rasul yang harus menyebarkan pesan itu, ia adalah penyebar hukum yang berbicara sesuai dengan apa yang di perintahkan oleh ilahi. Di antara keajaiban-keajaiban yang di tunjukkan oleh nabi di sebut dengan mukjizat, yangmembuat orang lain tidak dapat mengulang atau meniru mereka. Adapun isi dari psan nabi pada dasarnya adalh etika dan berpuncak pada kepatuhan kepada tuhan. Di sebutkan bahwa nabi harus menjadi wadah bagi firman ilahi,
Selain nabi juga di kenal orang yang memiliki karomah selain nabi yakni sayyid atau syarif, di dalam masyarakat muslim tradisi menghormati mereka lazim di lakukan sebagai bentuk penghormatan kepada mereka yang di anggap memiliki karomah dan lain sebagainya, selain itu juga di kenal adanya wali, berikut penulis membuat ilustrasinya :
67
Berbicara masalah masyarakat yang idel dalam Islam, Annemarie mengutip pendapat louis massignon pengikut dari louis gardet, adalah suatu teokrasi egaliter
68
dari para anggota awam, apapun itu maksudnya komunitas kaum beriman sangat penting dalam pemikiran muslim normatif,
Alquran menggambarkan komunitas muslim sebagai ummatan wasathon, atau komunitas tengah, yang mengambil jalan tengah antara kedua ekstrem, sebagaimana nabi sering tampil sebagai tokoh yang menghindari legalisme yang kaku dan keras dari musa dan kelembutan yang berlebih dari isa. Hal ini bisa kita dapatkan melalui sabda nabi yang mengatakan bahwa yang terbaik di antara segala sesuatu ialah pertengahannya.
E. Tuhan dan ciptan-Nya : Eskatologi
Muhammad abduh menjelaskan bahwa memikirkan esensi sang pencipta di larang bagi akal manusia di karenakan terputusnnya seluruh hubungan antara kedua eksitensi tersebut, hal ini sebagaimana yang di jelaskan dalam pedoman Islam bahwa berfikirlah kalian tentang ciptan-Nya dan janganlah kalin berfikir tentang pencipta-Nya,
Sejarah agama-agama mengenal berbagai cara untuk menggambarkan tuhan, Annemarie menjelaskan ada via causalitatis, via eminentiae, dan via negationis. Yang sekiranya dapat di terapkan dalam Islam. dari ketiganya yang menonjol ialah yang pertama, hal ini tergambar melalui nama-Nya al-khaliq, al-bari’, al-musawwir. Yang kesemuanya memiliki makna bahwa tuhan memiliki kepedulian pada ciptaan-Nya, via eminintiae dapat di ringkas dalam sebuah pernyataan bahwa karena kesempurnaan tuhan itu tidak terbatas, tidak ada kesempurnaan yang dapat di bandingkan dengan sesuatu dimana tidak ada kesempurnaan yang lebih besar lagi dari tuhan.
F. Kelebihan dan kekurangan pendekatan fenomenologi dalam kajian islam
a. Beberapa kelebihan dari fenomenologi agama diantaranya:
69
1. Fenomenologi agama berorientsi pada factual deskriptif, dimana tidak concern pada penilaian evaluative akan tetapi mendeskripsikan secara tepat dan akurat suatu fenomena keagamaan seperti ritual, symbol, ibadah (individual atau seremonial), teologi (lisan atau tulisan), personal yang dianggap suci, seni dan sebagainya.
2. Tidak berusaha menjelaskan fenomena yang dideskripsikan, terlebih membakukan hukum-hukum universal untuk memprediksikan persoalan-perseolan keagamaan dimasa depan, akan tetapi untuk mencari pemahaman yang memadai terhadap setiap persoalan keagamaan.
3. Fenomenologi tidak berusaha menyamakan atau mengunggulkan salah satu tradisi keagamaan tertentu.
4. Menghindari reduksionisme, dalam arti murni memahami fenomena keagamaan dalam term sosiologi, psikologi, antropologi dan ekonomi saja tanpa memperhatikan kompleksitas pengalaman manusia, memaksakan nilai-nilai sosial pada isu-isu transcendental dan mengabaikan intensionalitas unik para pelaku tradisi keagamaan.
5. Menunda pertanyaan tentang kebenaran, dalam hal ini untuk mengembangkan wawasan terhadap esensi terdalam suatu pengalaman keagamaan. Femenologi berupaya terlibat atau berpartisipasi langsung untuk memperoleh empati pemahaman yang asli.
6. Terakhir mengembangkan struktur esensial dan makna sebuah pengalaman keagamaan.
b. Adapun kekurangan dari pendekatan fenomenologi adalah :
1. Peranan deskriptif. Fenomenologi agama mengklaim pendekatannya deskriptif murni yang resistensi terhadap campur tangan peneliti, namun tidak mustahil seorang fenomenologi memiliki kepentingan maksud-maksud tertentu dan dalam mengontrol data dan metode yang digunakan. Dalam hal ini kurang tepat jika fenomenologi diklaim sebagai pendekatan deskriptif murni.
70
2. Melihat peristiwa keagamaan tanpa melihat akar historisnya. Fenomenologi agama dinilai cenderung memperlakukan fenomena keagamaan dalam isolasi sejarah seolah-olah sejarah tidak diperlukan dalam menentukan relevansi fakta-fakta fenomena bagi praktisi agama. Dalam prakteknya seringkali fenomenologi agama tidak mampu mengkontekstualisasikan fenomena-fenomena keagamaan yang dikaji.
3. Peranan intuisi, kesulitan peneliti dalam hal ini adalah menentukan sisi yang benar dan dapat diterima. Term obyektif dan intuisi adalah sesuatu yang kontradiktif, terlebih ketika menggunakan data-data yang bersifat intuitif untuk diverivikasi dalam wilayah obyektif.
4. Persoalan empati. Adanya kekhawatiran terjadinya konversi agama karena tuntutan berpartisipasi langsung dalam praktek dan ritual keagamaan.
Sedangkan menurut haidar bagir, bahawa di balik segala keunggulan fenomenologi agama, muncul masalah serius yang menentang klaim objektivitas pendekatan
1. Fenomena-fenomena agama hampir (harus) selalu di identikkan dengan pengalaman keagamaan mayoritas (massa) masyarakat penganutnya.
2. Ketika fenomena keagamaan di batasi pada apa yang sepenuhnya besifat individual dan personal, ketika ia di pahami sebagai apa yang “menampakkan diri dalam jiwa orang-orang beriman,” maka agama cenderung di identikkan dengan mistisisme. 27
27Haidar bagir dalam pengantar “rahasia wajah suci ilahi” h.12
71
BAB III
A. kesimpulan
Pendekatan fenomenologi adalah study pendekatan agama dengan cara memperbandingkan berbagai macam gejala dari bidang sama antara berbagai macam agama, misalnya cara penerimaan penganut, doa- doa, upacara penguburan dan sebagainya. Yang di coba diperoleh di sisi adalah hakikat yang sama dari gejala- gejala yang berbeda.
Fenomenologi agama pada awal kemunculannya bertujuan memperoleh pengatahuan tentang gejala-gejala agama. Kemudian berusaha memahaminya, dan pada akhirnya menemukan esensi (wussen) agama.
Posisi fenomenologi dalam kajian Agama dan Studi Islam adalah mengkaji dan kemudian mengerti pola atau struktur agama atau menemukan esensi agama di balik manifestasinya yang beragam atau memahami sifat-sifat yang unik pada fenomena keagamaan serta untuk memahami peranan agama dalam sejarah dan budaya manusia.
Fungsi dari fenomenologi adalah Sebagai pembelajaran dalam keagamaan. Dengan memahami tentang fenomenologi, seseorang di mungkinkan dapat memahami hakikat keberagamaan secara mendalam. Di karenakan, fenomenologi itu mengajarkan tentang fenomena-fenomena yang terjadi terhadap keagamaan khususnya agama Islam.
B. penutup
Demikian makalah yang kami buat. Apabila terdapat kesalahan yang disengaja maupun tidak disengaja kami mohon maaf. Kritik dan saran yang membangun sangat kami butuhkan untuk lebih baiknya makalah yamg kami buat selanjutnya. Selamat membaca dan semoga bermanfaat.
72
DAFTAR PUSTAKA
Baidhawy, Zakiyuddin. Studi Islam Pendekatan dan Metodologi. Yogyakarta: Insan Madani.2011
J. Ada Charles, “The Hermeneutics of Henry Corbin,” dalam Approaches to Islam in Religius Studies, ed. Richard Martin Tucson : The Arizona State University Press, 1985
Dimyati Mochammad, Penelitian Kualitatif: Paradigma Epistemologi, Pendekatan, Metode dan Terapan, Malang: PPS Universitas Negeri Malang, 2000
Hudjolly, imagologi; strategi rekayasa teks, jogjakarta: ar-ruzz media, 2011
Jacques Waardenburg, Classical Approach to the study of religion Paris, Mouton: the haque, 1973
Dimyati Mochammad, Penelitian Kualitatif: Paradigma Epistemologi, Pendekatan, Metode dan Terapan, Malang: PPS Universitas Negeri Malang, 2000
Ibn Abbad Muhammad, Surat-surat Sang Sufi, Bandung : Mizan, 1993
Nata Abuddin, Metodologi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.
Schimmel Annemarie, rahasia wajah suci ilahi; memahami islam secara fenomenologis, Bandung: Mizan, 1996
Sekanto, Soejono, Sosiologi; Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993.
73
HERMENEUTIKA AL-QUR’AN
Pemikiran “Nasr Hamid Abu Zayd”
Oleh: Nasruddin
NIM: 14750003
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan teks berwujud bahasa yang menjadi teks sentral bagi peradaban Arab pasca era jahiliyyah. Turunya teks al-Qur’an secara berangsr-angsur merupakan bukti telah terjadi hubungan dialektika antara teks dengan realitas, teks al-Qur’an di Jazirah Arab sebagai respon terhadap realittas-reaalitas yang terjadi saat itu yang membantu mengatur proses terbentuknya peradaban. Terbentuknya peradaban bukan berarti semata-mata antara teks dengan realitas. Sebagaimana teks-teks sastra, teks al-Qur’an tidak bisa dilepaskan dari realitas yang ada disekelilingnya.28 Sebagai representasi otoritatif teks keagamaan dalam Islam, al-Qr’an tidak hanya menyedot perhatian yang melahirkan pemikiran dan penafsiran variatif-inofatif dikalangan Islam, namun juga dikalangan non Islam, munculnya variasi tidak terlepas dari tarik menarik pendapaat tentang posisi transendental wahyu al-Qur’an yang bersifat abadi, kekal, salih li kulli zamani disatu sisi historis wahyu al-Qur’an yang kental dan penuh dengan nuansa lokalitas budaya Arab didalamnya.
Sejak sepeninggalnya Nabi Muhammad Saw, banyak bermunculan para pemikir islam dalam dunia penafsiran yang mencoba mengupas kandungan al-Qur’an, para sahabat yang ada pada masa khulafaaurrasyidin diantaranya adalah Ibn Abbas yang dengan kecerdasannya mampu memahami dan menjelaskan kandungan
28 Kurdi dkk, Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis,(Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010). Hal. 115
74
al-Quran secara terpernci, (selain dari khalifah 4). Sehingga dengan itu kita kenal denga tafsir bi al-ma’tsur.
Diskursus seputar hermeneutika memang masih aktual dan menarik untuk dibicarakan, apalagi dalam konteks interpretasi teks keagamaan, yaitu al-Qur’an. Ia datang dan mencoba menawarkan metode alternatif dalam penafsiran al-Qur’an. Namun, sebagai sebuah pendekatan baru, ia dipandang dengan penuh curiga dan keragu-raguan. Hal itu adalah sebuah kewajaran karena al-Qur’an sebagai obyek utama dalam sub disiplin ilmu ini merupakan kitab suci yang disakralkan.Seiring dengan perkembangan penafsiran tersebut hermeneutika sebagai salah satu sub disiplin ilmu, ia pun telah melahirkan beberapa pemikir dengan beragam karyanya. Adalah Nasr Hamid Abu Zayd29 tokoh yang berusaha menerapkan metode kontemporer berupa telaah terhadap teks-teks secara kritis (tekstual criticism) yang dalam hal ini pengkaji berusaha mengutarakan berbagai kemungkinan-kemungkinan yang dapat dipikirkan dalam studi al-Qur’an. Mengkontekstualkan kitab (suci) dalam setting historis.
B. Rumusan masalah
1. Siapa Nasr Hamid Abu Zayd ?
2. Apa pengertian hermeneutika?
3. Bagaimana pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid dalam memahami dan mereprentasikan Hermeneutika al-Qur’an?
C. Tujuan
1. Mengetahui sejarah panjang Nasr Hamid Abu Zayd
29Ada beberap aspek yang dilihat dari sketsa dab biografi Nasr hamid Abu Zayd, pertama, karir akademis di Unversitas Kairo. Kedua, aplikasi sosial politik dari pemikirannya, ketiga, koreksi dan tuduhan para Ulama Mesir serta serta pembelaan Abu Zayd sendiri dan yang keempat, pembacaan terhadap tradisi keagamaan.
75
2. Mengetahui secara jelas makna Hermeneutika
3. Mengetahui pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd dalam kaitan Hermenutika al-Qur’an.
76
BAB II
HERMENEUTIKA AL-QUR’AN
PEMIKIRAN NASR HAMID ABU ZAYD
A. Biografi Nasr Hamid Abu Zayd
Nasr Hamid Abu Zayd adalah tokoh kontroversial akibat kritik keagamaan yang dilontarkannya di Mesir dan kepada kalangan Muslim Sunni. Nasr lahir pada 10 Juni 1943 di desa Quhafa kota provinsi Tanta, Mesir. Nasr adalah seorang anak yang sholeh yang telah belajar al-Qur’an sejak kecil. Nasr adalah seorang qori’y dan tahfiz dan mampu menceritakan isi al-Qur’an sejak usia delapan tahun30. Keluarganya adalah termasuk keluarga yang taat beragama dan Nasrpun mendapatkan pengajaran agama dri keluarganya sejak kecil.
Nasr lulus dari sekolah teknik Tanta pada tahun 1960, pada tahun 1968 menjadi mahasiswa dijurusan Bahasa dan Saastra Arab, Fakultas sastra, Universitas Kairo. Sejak saat itu ia menunjukan bakat keintelektualannya dan menjadi mahasiswa yang kritis dan progresif. Pada tahun 1972 ia memperoleh gelar serjana setara satunya dan kemudian menjadi asisten dosen dijurusan yang sama. Nasr lalu melanjutkan pendidikan Magister pada program yang sama dan selesai pada tahun 1977, memperoleh gelar Ph.D pada tahun 1981, disamping itu Nasr juga mengajar bahsa Arab untuk orang-orang Asing dipusat diplomat dan menteri pendidikan sejak tahun 1976-1987.31 Lantaran keluarbiasanya panitia jurusan tersebut menetapkannya untuk memnjadi asisten dosen pada matakuliah pokok “Studi Islam” pada tahun 1982. Mendapatkan penghormatan “Profersor Penuh” pada tahun 1995 dibidang yang sama, selain menjalankan pendidikan formal di Kairo, dalam karirnya ia sempat
30Ibid. hal. 116
31Latief, Loc Cit, hal. 39
77
mendapatkan beberapa penghargaan dan beasiswa, pada tahun 1975-1977 mendapatkan bantuan beasiswa dari Ford Foundation Fellowship untuk studi di Universitas Amerika, Kairo. Hal uyang sama diraihnya pada 1978-1979 di Center For Middle East Studies. Universitas Pennsylvania, Philadelphia, USA. Mendapatkan Abdel Aziz al-Ahwani Prize for Humanities pada tahun 1982. Semenjak 1985 sampai 1989 menjadi profesor tamu di Osaka University of Foreign Studis, Jepang. Serta menjadi profesor Tamu di Universitas Leiden, Natherlands pada tahun 1955-1998. Pada kisah Nasr Hamid Abu Zayd, genderang perang mulai terjadi dimulai pada tahun 1992 ketika ia mengajukan karya ilmiahnya kepda panitia yang membidangi kenaikan pangkat untuk menjadi guru besar, panitia itu menolak kenaikan tingkat tersebut stelah tiga orang anggota menilai hasil karyanya, mereka adalah Prof. Abd Shabur Syahin (Guru besar fakultas Syari’ah dari Univ Darul Ulum), Prof Mahmud Makki (Guru besar fakultas Adab), dan Prof Auni Abdurra’uf (Guru besar Fakultas bahasa).32 Sehingga Abu Zayd membawa kasus ini pada tingkat kasasi pengadilan.33
32(1)Penolakan terhadap hasil karya Nasr Hamid Abu Zayd menimbulkan hiruk pikk media masa, salng tuduh, saling mengecam, saling menjatuhkan antara dua kubu yang saling berselisih pun terjadi, (2). Selain Abd Shabur Syahin dan Muhammad Imarah, ulama yang terang-terangan menantang Nard Abu Zayd adalah Muhammad Baltagi (dekan Fakultas Syari’ah Dar Ulum), a melakukan kajian terhadapa buku-buku karya Nasr dan berkesimpulan bahwa buku karaya Nssr mengandung banyak kekeliruan: pertama: pembunuhan yang ekstrem terhadap teks-teks al-Qur’an dan Hadis, anjuran penolakan keduanya (al-Qur’an dan Hadis) dan sengaja melupakan isi kandungannya, kedua: Nasr Abu Zayd tidk memahami sama sekali tema-tema kitab fiqh dan Ushul fiqh, bahkan mengaitkan keterbelakangan umat dengan “komitmen” terhadap teks-teks al-Qur’an. Sedangkan Dr Ismail Salim (asisten Guru besar bid fiqih perbaningan) menerbitkan buku Naqd al-mata’in: Nasr Abu Zayd Fi al-Qur’an wa al-As-sunah wa A’immah al-Sahabah” dari buku ini Nasr Abu Zayd dituduh telah menyebarkan dan menganjurkan kekafiran, juga dituntut agar dipecat dan diharamkan menerima ilmu agama darinya, segera dianjurkan agar segera bertobat, sebab jika tidak, maka darahnya halal dengan diterapkannya hukum Had. Hartanya diserahkan ke Bait mal Islam, dan Nasr Abu Zayd harus dipisahkan dengan istrinya karena kekufuran dan kemurtadannya.
33Keputusan Mahkamah al-Isti'naf Qahirah (Cairo) menyatakan Abu Zayd telah keluar dari Islam alias murtad. Abu Zayd mengajukan banding. Sementara itu, Front Ulama al-Azhar yang beranggotakan 2000 alim ulama, meminta Pemerintah turun tangan: Abu Zayd mesti disuruh bertaubat atau-kalau yang bersangkutan tidak mau-maka ia harus dikenakan hukuman mati. Tidak lama kemudian, 23 Juli 1995, bersama istrinya, Abu Zayd terbang melarikan diri ke Madrid, Spanyol, sebelum akhirnya menetap di Leiden, Belanda, sejak 2 Oktober 1995 sampai sekarang. Mahkamah Agung Mesir pada 5 Agustus 1996 mengeluarkan keputusan yang sama: Abu Zayd dinyatakan murtad. kesalahan-kesalahan Abu Zayd disimpulkan sebagai berikut: 1) Berpendapat dan mengatakan bahwa perkara-perkara ghaib yang disebut dalam al-Qur’an seperti ‘arasy, malaikat, syaitan, jinn, surga dan
78
Dalam putusan di pengadilan , kesalahan – kesalahan yang dilakukan oleh Abu Zayd ) disimpulkan dengan istilah “ 10 DOSA BESAR ABU ZAYD : ABU ZAYD’S TEN BIG SIN OR MISTAKES ”, sebagai berikut :
1. Berpendapat dan mengatakan bahwa perkara-perkara ghaib yang disebut dalam Al Qur’an seperti ‘Arsy , Malaikat, Syaitan, Jin, Surga dan Neraka adala ‘MITOS BELAKA’.
2. Berpendapat dan mengatakan bahwa Al Qur’an adalah ‘Prodak Budaya’ (muntaj tsaqofi) dan karenanya mengingkari status azali al Qur’an sebagai Kalamullah yang telah ada dalam Al Lawh al Mahfudz.
3. Berpendapat dan mengatakan bahwa Al Qur’an adalah ‘teks linguistik’ (nashsh lughawi ) ini sama dengan mengatakan bahwa Rasulullah SAW. Telah berdusta dalam menyampaikan wahyu dan al Qur’an adalah karangan beliau.
4. Berpendapat dan mengatakan bahwa ilmu-ilmu al Qur’an ( ‘Ulum al Qur’an ) adalah tradisi reaktioner serta berpendapat dan mengatakan bahwa Syari’ah adalah faktor penyebab kemuduran Umat Islam.
5. Berpendapat dan mengatakan bahwa Iman kepada perkara-perkara ghoib merupakan indikator akal yang larut dalam mitos.
6. Berpendapat dan mengatakan bahwa Islam adalah Agama Arab, dan karenanya mengingkari statusnya sebagai agama universal bagi seluruh umat manusia.
7. Berpendapat dan mengatakan bahwa teks al Qur’an yang ada merupakan versi ‘Quraiy’ dan itu sengaja demi mempertahankan supremasi suku Qurays.
8. Mengingkari otentisitas Rasulullah SAW.
9. Mengingkari dan mengajak orang keluar dari dari otoritas teks-teks Agama (maksudnya : al Qur’an dan Hadist)
neraka adalah mitos belaka; 2) Berpendapat dan mengatakan bahwa al-Qur’an adalah produk budaya (muntaj tsaqafi), dan karenanya mengingkari status azali al-Qur’an sebagai Kalamullah yang telah ada dalam al-Lawh al-Mahfuz; 3) Berpendapat dan mengatakan bahwa al-Qur’an adalah teks linguistik (nashsh lughawi) [Ini sama dengan mengatakan bahwa Rasulullah Saw telah berdusta dalam menyampaikan wahyu dan al-Qur’an adalah karangan beliau.
79
10. Berpendapat dan mengatakan bahwa patuh dan tunduk kepada teks-teks Agama adalah salah satu bentuk perbudakan.
B. Pengertian hermeneutika
Kajian terhadap Hermeneutik sebagai sebuah bidang keilmuan mulai marak pada abad ke-20, dimana kajian hermeneutik tidak hanya mencangkup kajian dalam bdang kitab suci (teks keagamaan) dan teks-teks klasik belaka, melainkan berkembang jauh pada ilmu-ilmu lain, ilmu-ilmu yang terkait erat dengan hermeneutik adalah ilmu sejarah, hukum, filsafat, kesusasteraan, dan lain sebagainya yang tercangkup dalam ilmu kemanusiaan (Geisteswisenhaften).34
Istilah hermeneutika sendiri berasal dari bahasa Yunai hermeneia, kata benda yang kata kerjanya hermeneuein, yang berarti menginterpretasikan atau menafsirkan. Istilah ini memiliki asosiasi etimologis dengan nama dewa dalam mitologi Yunani, Hermes,35 yang bertugas sebagai penghubung antara Sang Maha Dewa di langit denganpara manusia di bumi. Meskipun secara etimologis dan historis diambil dari mitologi Yunani, secara teologis peran Hermes sesungguhnya tak ubahnya peran para nabi utusan Tuhan yang bertugas sebagai juru penerang dan penghubung untuk menyampaikan pesan dan ajaran Tuhan kepada manusia. Problem pertama yang harus dipecahkan oleh para nabi ialah, bagaimana menyampaikan kehendak tuhan yang menggunakan “bahasa langit” kepada manusia yang menggunakan “bahasa bumi”36,
34 Sahiron Syamsudin dkk, Hermeneutika al-Qur’an Mazhab Yogya, ( Yogyakarta:Islamika, 2003), hlm. 54.
(2). Menurut Hossein Nasr, Hermes tak lain adalah Nabi Idris a.s. yang disebutkan dalam al-Quran. Sementara menurut cerita yang beredar di kalangan pesantren, pekerjaan Nabi Idris adalah sebagai tukang tenun, atau menurut riwayat yang lain lagi, sebagai tukang bangunan. Jika profesi tukang tenun dikaitkan dengan mitos Yunani tentang dewa Hermes, di sana terdapat korelasi positif. Kata kerja “menenun” atau “memintal” yang dalam bahasa latin adalah tegere, sedangkan produknya disebut textus atau text, memang merupakan isu sentral dalam kajian hermeneutika yang dinisbatkan pada Hermes. Jadi, kata hermeneutika yang diambil dari peran Hermes adalah sebuah ilmu dan seni membangun makna melalui interpretasi rasional dan imajinatif dari bahan baku berupa teks. Sumber: Subroto Al-Faris: Hermeneutika Al-Qur’an. http://www.kampusislam.com/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=549. Akses 15 Desember 2009.
36Khoiron Nahdliyin. Imam Syafi’i: Moderatisme, Eklektisme, Arabisme. (Yogyakarta: LKIS, 1997); Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, (Jakarta: Paramadina, 1997), hal: 13
80
Problem hermeneutik yang kedua ialah bagaimana menjelaskan isi sebuah teks keagamaan kepada masyarakat yang hidup dalam tempat dan kurun waktu yang jauh berbeda dari pihak penulisnya. Mengingat bahasa manusia demikian banyak ragamnya, sedangkan setiap bahasa mencerminkan pola tertentu, maka problem terjemahan dan penafsiran merupakan problem pokok dalam hermeneutika. Dengan begitu problem hermeneutik selalu berkaitan dengan proses pemahaman, penafsiran danpenerjemahan atas sebuah pesan (lisan atau tulis) untuk selanjutnya disampaikan kepada masyarakat yang hidup dalam dunia yang berbeda. Hermeneutik pada akhirnya diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi dari ketidaktahuan menjadi tahu atau mengerti, batasan ini selalu dianggap benar baik hermeneutik dalam pandangan klasik atau modern. Hermeneutik bisa juga digunakan dalam dua bentuk: pertama: pengetahuan tentang makna yang terkandung dalam suatu kata, kalimat, atau teks. Kedua: menemukan instruksi-instruksi yang terkandung dalam bentuk simbolik.37 Dengan kata lain hermeneutik mencoba menganalisis dan menjelaskan teori penafsiran teks (nazariyat ta’wil al-nusus) dengan mengajukan pendekatan-pendekatan keilmuan yang lain yang dengan sendirinya menguji proses pemahaman mekanisme penafsiran dan penjelasan teks.
Demikian secara ringkas Hermeneutik dapat diartikan sebagai mengubah dari sesuatu ketidaktahuan menjadi tahu, dari kalangan ilmuan klasik ataupun modern sepakat dengan ini, namun definisi ini terlalu umum sehingga perlu penjelasan dari beberapa pakar diantaranya menurut Ricard E. Palmer, Palmer memetakan hermeneutik diantaranya, pertama: Hermeneutik sebagai teori penafsiran kitab suci, kedua: Hermeneutik sebagi metode filologi, ketiga: Hermeneutik sebagai imu pemahaman Linguistik, keempat; Hermeneutik sebagai fondasi ilmu kemanusiaan,
37Latief, Loc Cit, hal. 72
81
kelima:Hermeneutik sebagai fenomena das sein dan pemahaman eksistensial, keenam: Hermeneutik sebagai sistem penafsiran.38
Dengan demikian dapat dipahami, bahwa dalam hermeneutika prinsip pemahaman atau penafsiran atas sebuah teks mengsumsikan tiga elemen yang terlibat, yaitu dunia pengarang, dunia teks dan dunia penafsir. Senada hal tersebut, Rahardjo dalam tulisannya menyatakan bahwa mempelajari hermeneutika dan menggali makna yang terkandung dalam al-Qur’an, perlu mempertimbangkan horizon-horizon yang melingkupi teks tersebut, yaitu teks, pengarang dan pembaca teks. Ketiga elemen ini kemudian memunculkan perbedaan jarak antara teks dan konteks. Dari sinilah pemahaman atas keterkaitan antara teks dan konteks oleh subyek penafsir menjadi penting.
Jika dirunut kebelakang, keberadaan hermeneutika ini sebenarnya sudah ditemukan sejak zaman Yunani kuno. Pada saat itu, sudah ada diskursus hermeneutika sebagaimana yang terdapat dalam tulisan Aristoteles yang berjudul Peri Hermenians. Dalam perkembangannya, hermeneutika mengalami perkembangan dan perubahan pengertian dan pendefinisan. Gambaran pendefinisian dan pemahaman ini oleh Richard E. Palmer dibagi kedalam lima golongan, yaitu hermenetika sebagai teori penafsiran kitab suci, hermenetika sebagai metode filologi, hermenetutika sebagai pemahaman linguistik, hermeneutika sebagai fenomenologi dasein dan hermeneutika sebagai sistem interpretasi.39
38Syamsuddin dkk, Loc Cit, hal. 55-56
39 Richard E. Palmer, Op. Cit, hal. 33; Dalam tradisi Barat, pada awalnya, hermeneutik merupakan bagian dari ilmu filologi, ilmu yang membahas tentang asal-usul bahasa dan teks. Mulai abad ke-16, hermeneutika mengalami perkembangan dan memperoleh perhatian yang lebih akademis dan serius keika kalangan ilmuwan gereja di Eropa terlibat diskusi dan debat mengenai autentisitas Bibel. Mereka ingin memperoleh kejelasan serta pemahaman yang benar mengenai kandungan Bibel, yang dalam berbagai hal, dianggap bertentangan. Dengan demikian, posisi hermeneutika mulai mencakup juga meode kritik histiografi. Memasuki akhir abad ke-18, hermeneutika mulai dirasakan sebagai teman dan sekaligus tantangan bagi ilmu sosial, utamanya sejarah dan sosiologi, karena hermeneutika mulai berbicara dan menggugat metode dan konsep ilmu sosial pada umumnya. Khususnya dalam ilmu sejarah, karena yang menjadi objek kajian adalah pemahaman tentang makna
82
C. Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd tentang Hermeneutika Al-Qur’an
Adalah Nasr Hamid Abu Zayd seorang pemikir dan filosof Mesir dan salah satu teoritikus besar Hermeneutik dan penafsiran al-Qur’an dalam pemikiran arab kontemporer.40 Dari pemikirannya tentang Hermeneutika al-Qur’an sesuai dengan tema makalah kali ini, Nasr Hamid Abu Zayd membagi beberapa sub tema diantaranya adalah:
1. Hermeneutik dan Problem Penafsiran Teks
Problematika mendasar dalam mengkaji Hermeneutik adalah problem penafsiran teks, baik teks historis maupun teks keagamaan.41 Oleh karena itu persoalan-persoalan yang akan coba diselesaikan adalah persoalan seputar teks dalam kaitannya dengan tradisi disatu sisi dan dengan pengarang disisi lain. Yang terpenting dari semua ini adalah agar problem tersebut tidak mengacaukan relasi antara penafsir (kritikus dalam konteks teks sastra) dengan teks. Relasi antara penafsir dan teks ini adalah masalah serius dan pijakan awal bagi para
dan pesan yang terkandung dalam sebuah teks, yang variabelnya meliputi pengarang, proses penulisan, dan karya tulis, maka hermeneutika tidak bisa ditinggalkan. Sedangkan dalam pemikiran Islam, hermeneutik pertama-tama diperkenalkan oleh Hasan Hanafi dalam karyanya yang berjudul Les Methodes d’Exegese, Essai sur La Science des Fordements de la Comprehension, Ilm Ushul al-Fiqh (1965), sekalipun tradisi hermeneutik telah dikenal luas dalam berbagai bidang ilmu-ilmu Islam tradisional, terutama tradisi Usul al-Fiqh dan Tafsir al-Qur’an. Rintisan Hasan Hanafi ini kemudian mendapat respon dan dilanjutkan oleh pemikir-pemikir Muslim kontemporer lainnya seperti Nasr Hamid Abu Zayd dengan Mafhum al-Nash nya, Sahrur dengan Qira’ah Mu’ashirah nya, Asghar Ali Engineer dengan Islam and Liberation Theology dan lain-lain. Sumber: Subroto Al-Faris: Hermeneutika Al-Qur’an. http://www.kampusislam.com/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=549. Akses 15 Desember 2009.
40Terbukti denga berbagai karyanya yang fenomenal dan menjadi polemik pada masanya dengan pemahaman kaum sunni bahwa Nasr Hamib Abu Zaid telah menawarkan dan memberikan suatu acuan dalam keilmuan yang didalaminya, diantaranya adalah Al-Ittijahat al-Aql fii al-Tafsir, Dirasah fii Qadiyah al-Majaz inda al-Mu’tazilah, dan Falsafah at-Takwil; Dirasah fi Takwil al-Qur’an inda Muhayyidin Ibn Arabi, kedua karya ini merupakan tesis dan disertasi untuk memperoleh gelar magister dan Ph.D, di Universitas Kairo, Nasr juga menulis buku yang berjudul Mafhum al-nass: Dirasah fii Ulum al-Qur’an, sebagai tawaran baru metodologi untuk memahami teks al-Qur’an, buku ini merupakan respon trhadap berbagai wacana tentang proses dialektika teks denga reaitas dan proses pergulatan wacana ke islaman. Melalui sika kritisnya terhadap wacana tersebut, Naasr berpandangan perlu adanya rekonstruksi metodologi dalam menafsirkan al-Qur’an.
41Nasr Hamid Abu Zayd, Pen, Dede Iswandi, Jajang A. Rohmana dan Ali Muryid, Al-Qur’an, Hermeneutika dakn Kekuasaan, (Bandung:RqiS, 2003), hal. 33.
83
filosof hermeneutik, hal ini merupakan aspek yang pling banyak dilupakan dalam berbagai studi sastra sejak era plato hingga masa modern. Hermeneutik Scheleirmacher42 berdasarkan pada asumsi bahawa teks merupakan sarana kebahsaan yang dapat mentansfer sipikiran seorang pengarang kepada pembaca, oleh karena itu, dari sisi kebahasaan scheleirmacher merujuk kepada bahasa secara utuh, sedangkan dari sisi psikologis, scheleirmacher43 merujuk kepada sujektif seseorang pengarang, menurutnya relasi anatara dua pendekatan teks tersebbut adalah relasi teks yang bersifat dialektis. Siring dengan berjalannya waktu, maka lambat laun sebuah teks menjadi sesuatu yang sulit dipahami, karena dan karena itu kita sering keliru memahamainya atau bahkan tidak mampu memahaminya. Karena itu dari penggambaran tentang dua pendekatan teks diatas, maka, Scheleirmacher menetpkan kaidah-kaidah tentang pemahaman, (qawaid al-Fahm). Untuk itu, dalam mencapai makna teks seorang penafsir hendaknya menggunakan dua pendekatan, yakni pendekatan linguistik dan pendekata psikologis yang memiliki kemampuan dalam memahami karakter manusia. Menurunya dimensi linguistik saja tidaklah cukup memadai, karena manusia tidak mungkin mengatakan bahawa sesuatu diluar bingkai bahasanya. Sedangkan dimensi psikologis saja tidaklah cukup, karena ia tidak ssempurn. Oleh karena itu seorang penafsir harus berpegang dalam dua dimensi terseut,meskipun tidak da kaidah-kaidah yang mapan untuk merealisasikan itu.
Menurut Scheleirmacher dua pendekatan objektivitas (linguistik) dan subjektivitas (psikologi) yang masing-masing memiliki aspek historis dan
42Scheleirmacher (1813) adalah pemikir Jerman, ia merepresentasikan hermeneutik klasik dia dikenal sebagai tokoh yang berjasa dalam merubah Hermeneutik dari bentuk penyajiannya yang teologis menjadi ilmu atau seni bagi proses peahaman dengan berbagai kriteria dalam memahami teks, dalam hal ini Scheleirmacher berusaha menghindari interpretasi final, agar hermeneutik tidak menjadi sub ordinat tertentu,dengan demikian hermeneutik dapat menjadiilmu mandiri yang mendasari proses pemaknaan sekaligus maupun proses penafsiran.Nasr Hamib Abu Zayd, Al-Qur’an, Hermeneutik dan Kekuasaan, loc Sit. Hal.42
84
ramalan (prediksi) ini merupakan gambaran kaidah-kaidah dasar bagi seni Hemeneutik. Oleh karena itu tampa dua pendekatan ini maka pemahaman yang salah tidak mungkin dapat terelakan. Tugas hermenetik adalah memahami teks sebagaimana yang dipahami pengarangnya, bahkan dapat melebihi pemahaman pengarangitu sendiri. Lingkaran hermeneutik adalah sebuah proses memahami teks yang tidak mudah, namun merupakan proses yang sulit dan pelik, sebagaimana yang ditunjukan Scheleirmacher bahwa selama fungsi dan tuuan hermenutik adalah membentuk berbagai kaidah dan standar, ia cukup memberkan standar umum yang dipandangnya penting untuk menghindari kesalahpahaman, namun ia juga berpandangan bahwa walaupun telah mengalami beberapa kemajuan masih jauh untuk disebut sebagai seni yang mapan. Dalam hal ini menekankan bahwa tidak mungkin sebuah penafsiran mampu mengeksplorasi seluruh makna yang terdapat dalam sebuah karya.
Berikutnya kita tidak sepakat dengan Heidegger44 dan Gadamer45 yan berpendapaat bahwa karya seni terlepas dari penciptaannya, sekalipun kita sepakat dengan mereka bahwa sebuah karya agung akan melampa bingkai persial, spesifik dan sejarah, dan masuk dalam bingkai global, general dan humanis. Kita juga sependapat dengan keduanya bahwa penafsir tidak dalam arti eksistensial tapi dalam arti historis, berperan aktiv dalam memahami suatu karya seni dan merupakan keharusan yang harus ada dalam memahami apappun,. Menurut Hedegger, teori hermeneuitika yang berdasarkan dialektika adalah suatu kontribusai ilmiah yang hakiki, tetapi teori ini membutuhkan agar teori ini
44Martin heigerrer (1889), ia belajar dibawah bimbingan Edmund Husserl (1859-1938) di Freiburg dan menjadi asistennya. Karya terpenting heideger adalah Being and time (ada dan waktu) kaarya ini berpengaruh besar dan luas, serta masih menjad salah satu karya filsafat yang paling banyak dibicarakan pada abad ke-20. Rsonedy25.blogspot.com2013/10/hermeneutka- filosofis-martin-heidagger.html?=1:Senin, 14 Oktober 2013.
45Gadamer (1990-1998)Hermeneutik Gadamer merupakan suatu kritik terhadap positivisme dengan menekankan pada subyek yang menafsirkan. Dalam mempertanyakan bagaimana memberi makna, Gadamer berkonfrontasi pada pendahulunya Scheleirmacher dan WiliamDilthey. Idrussabidin.blogspot.com/2012/01/hermeneutika-dalam-pandangan.html?m=1: Ra bu, 25 Januari 2012.
85
berdasarkan dialektka tau dasar mater sebagai sumbangsih atas teori sseni dalam sosialisme-dialektika relasi antara kritiikus sebagai dari relitas. Sheleirmacher menggambarkan hermeneutik sebagai sebuah ilmu atau seni yang memformulasikan kaidah dan hukum yang menghindarkan kita dari salah memahami. Sedangkan Dilthey46 membangun hermeneutika atas dasar asumsi bahwa hermeneutika adalah salah satu ilmu-ilmu humaniora yang nik lagi spesifik. Asumsinya ini dalam rangka melawan metode deskriptif dalam ilmu-ilmu alam. Tetapi para pemikir hermeneutik kontemporer seperti Betti (italia) Paul Ricoeur (prancis) dan Hirsch (Amerika serkat) berupaya mengkonstruksikan teori (objektivitas) dalam tafsir. Sebagaimana Scheeirmacher, mereka berusaha mengkonstruksikan hermeneutik sebagai sebuah ilmu untuk menginterpretasikan teks, yang berpegang pada metode obyektif yang kuat.
Disisi lain, Hirsch membedakan antara makna yang dikehendaki pengarang dengan makna yang tersimpan dalam teks, menurutnya, yang penting kita perhatikan dalam teks sastra bukanlah apa yang dikehendaki pengarang atau apa yang dimaksudkannya, atau apa yang ingin diekspreskannya tetapi yang penting kita perhatikan adalah makna yang diungkapkan (diekspresikan) oleh teks. Dalam hal ini Hirsch sependapat dengan Betti mengenai pentingnya memfokuskan hermeneutik pada bidang kajiannya tentang makna teks agar sampai kepada objektivitas dimana penafsir tidk memaksakan pendapatnya masuk kealam teks, berarti hendak mengembalikan hermeneutik pada keadaan alaminya, sebagaimana Scheleirmacher memfokuskan pada usaha memahami teks, baik Betti maupun Hirsch berpendapat bahwa filologi adalah metode yang
46Wilhem Dilthey (1833-1911), adalah merupakan pelanjut dari Scheleirmacher. Keduanya yakin bahwa seorang penafsir bisa memahami teks lebih baik dari penulisnya sendiri. Sekalipun Dilhey dipandang terpengaruh dengan Scheleirmacher, tetapi ia memiliki penekanan tersendiri dalam mendekati pemaknaan teks.jika Schelirmacher menegaskan penafsiran secara konperrhenship, dilthey menekankan aspek sejarah. . Idrussabidin.blogspot.com/2012/01/
hermeneutika-dalam-pandangan.html?m=1:Rabu,25Januari 2012
86
paling ideal untuk menafsirkan teks. Perdebatan antara Betti dan Gadamer merupakan perdebatan yang kontroversial, pasalnya dari pedebatan itu menghasilkan dua aliran dalam hermeneutika, yaitu aliran Betti47 dan Hirch48 yang memfokuskan perhatiannya terhadap teks dan pengarang, dan alirab Gadamer ang memulai dari posisi kekinian penafsir dengan asumsi bahwa penafsir ini (eksistensialis/being) adalah dasar epistimologi bagi setiap pemahaman.
2. Tekstualitas Al-Qur’an
Ketika bicara Islam paling tidak terdapat tiga bidang kajian, yaitu, pertama, teks orisinil Islam, yakni al-Qur’an dan Hadits Shahih dari Nabi, kedua, pemikiran Islam yang dianggap sebagai bentuk interpretasi atas teks orisinil yang dapat ditemukan dalam empat disiplin pokok wacana islam: Hukum, teologi Filsafat dan Tasawuf, dan ketiga: perwujudan praktek sosio-Politik Islam dalam Masyarakat muslim dengan latar belakang sosio-historis yang berbeda-beda.
Istilah teks (teks, wording, phrase) dalam bahasa arab disebut al-Nash, dalam bahasa arab klasik “nas” itu mengangkat, (to rise, to lift)49. Teks dapat dikatakan sebagai fiksasi atau pelembagaan sebuah wcana lisan.sedangkan wacana dalam hal ini adalah aktivitas sharing pendapat. Studi ilmu al-Qur’an yang dilakukan Nasr Hamid Abu Zayd terutama yang berkait dengan konsep teks cukup
47 Emilio Betti adalah seorang filsuf, teolog dan ahli hukum dari italia yang lahir pada tahun (1890-1968). Sumbangan pemikirannya untuk memajukan hermeneutika dalam tradisi pemikiran barat amat berarti, khususnya diwilayah akademis wilayah italia, dan Jerman, kisah hidup Betti cenderung tertutup untuk diakses publik, khususnya khalayak yang berbahasa Inggris. Akan tetapi, dari keterangan yang diberikan oleh Josef Bleicher dan Ricard Palmer, kita bisa melihat bahwa ada sejumlah pemikir yang mempengarhinya. Dalam hal hermeneutika ada pengaruh Dilthey dan Scheleirmacher, juga pemikiran hegel dan Husserl serta pemikir neo-Kantian seperti Nicolai Hartmann.dalam filsafat bahsa, Betti banyak dipengaruhi oleh W. Von Humboldt, Betti termasuk kategori pemikir hermeneutik yang berhalluan idealis-romantis, pendekatan ini mengarahkan Betti untuk berargumentasi tentan kemungkinan Verstehen sebagai sebuah bentuk pemahaman yang bisa ditelusuri dan dibenarkan secara metodologis. http://www.google.com/search?q=biografi+betti+ahli+hermeneutik&btnG=&client+ms-opera-miniandroid&channel=new : akses, Jum’at, 11 Mei 2012.
49 Latief, loc Sit, hal. 93.
87
luas, dan adapun yang dimaksud dengan konsep teks disini adalah pertama, untuk menelusuri relasi dan kontak sistematis (al-alaqat al-Muaqabat) antara teks dan kebudayaan yang mempengaruhi pembentukan teks tersebut, kedua, teks sebagai bentuk dan kebudayaan. Ketika berbicara historis al-Qur’an sebenarnya sudah banyak perdebatan sejak masa intelektual muslim trdahulu antara Mu’tazilah dan As-Ariyah terhadap eksistensi teks, apakah ia makhluq atau qadim, dalam hal ini apa yang dikonsepkan Mu’tazilah sebenarnya merupakan konsep historis itu sendiri.
konsep kalam tuhan dengan skema dibawah ini dapat dikategorikan sebagai bagian dari sifat perbuatan Tuhan, (al-Fa’al) ini sekaligus menunjukan juga kepada sifat kesejarahannya, sebab setiap perbuatan itu, berada dan merupakan realitas yang diciptakan (al-Makhliq) dan bersifat Baharu (al-Muhaddas). Jelasnya bersifat histooris, begitupun al-Qur’an yang menunjukan sifat Historisnya.
Zat Ketuhanan
Maha Mengetahui
Sifat-sifat Tuhan
Maha Kuasa
Maha Terdahulu
88
a). kekacauan Semantik
Dalam ilmu-ilmu al-Qur’an (al-Ulumul Qur’an) dan hukum (Ushul al-fiqh),kata nash menjadi istila semantik merujuk pada pernyataan al-Qur’an yang sangat jelas dan tidak butuh penjelasan. Berdasarkan pada teks pernyataan al-Qur’an bahwa al-Qur’an mencangkkup ayatt-ayat yang sangat jelas (ayat Muhkamat) yang merupakan tulang punggung kitab tersebut, dn ayat-ayat samar (ayat Mutasyabihat) yang harus diinterpretasikan menurut ayat yang jelas. Kedua jenis ayat samar dan jelas tersebut dibagi menjadi dua, Pertama, dan paling jelas adalah al-Nash, kedua, dan yang agak jelas adalah al-Dzahir (nyata) karena terdapat kedua kemungkinan untuk maknanya dimana makna dzahirnya lebih tepat, tingkat ketga adalah al-Mua’awal (metaforis) untuk makna tersembunyinya lebih tepat diandingkan makna yang dzahir dan keempat, adalah al-Mujmal (ambigu).
Sifat-sifat Perubahan
Kalam
Pencipta
Al-Qur’an al Karim
89
Dalam kata nash, sekarang ini mendapat makna yangn sama dalam kata inggris dengan istilah “teks”, terdapat beberapa kekacauan terlekecuali kalu terlebih dahulu diberikan sebuah devinisi, misalnya, jika setuju terhadap prinsip bahwa tidak harus ada berbagai spekulasi intelektual (ijtihad) ketika trdapat sebuah nash. Haruslah dipahami bahw kata nash disini hanya merujuk pada istilah semantik klasik. Dengan demikian terdapat mannipulasi semantik terhadap agama ketika pernyataan ini digunakan dalam wacana Islam Modern, yang secara tidaklangsung mengangap bahwa kaata nash berarti keseluruhan teks alQur’an. Kekacauan semacam itu hanya diperlukan untuk mencapai tujuan politik beberapa kelompok yang hanya mengangkat larangan Islam saja.
b). Bahasa Tuhan
Teori Mu’tazilah tentang hubungan antara manusia, bahasa dan teks suci, adalah teori yang paling rasional, mereka memfokskan pada persoalan manusia sebagai objek yang dituju oleh teks dan ajaran teks yang ditujukan padanya. Bahasa hanyalah merupakan ciptaan manusia, karena ia merefleksikan konvensi sosial dari hubungannya antar suara dan makna. Kaum Mu’tazilan karenanya menarik dari al-Qur’an suatu asumsi bahwa al-Qur’an adlah sebuah tindakan penciptaan (makhluq) bukan ucapan verbal abadi dari Tuhan. Konsep ini secara tidak langsung menyatakan bahwa relasi antara penanda dan petanda hanya ada karena konvensi manusia, tidak ada unsur ketuhanan dalam relasi ini. Kecenderungan anti Mu’tazilah jusru berpegang pada gagasan lain tentang bahasa pada umumnya dan firman Tuahan pada khususnya, menurut pendapat ini, bukanlah ciptaan manusia, ia adalah pemberian tuhan, kepada manusia, jika acuan bahasa tersebut tidak ada didunia nyata sebagaimana kita lihat, maka ia mesti ada dialam relitas yang tak terlihat, (ghaib), hal yang terpenting adalah adalah bahwa gagasan keabadian al-Qur’an sescara otomatis menggiring untuk setia terhadap makna literal teks, al-Qur’an diyakini memiliki eksistensi sebelumnya dilangit dimana ia telah, dan masih dicatat dicatatan suci yang dijaga
90
dengan sangat baik (Lauhf Mahfuzh), ia dituis disana dengan huruf arab yang baik sekali, masing-masing sebesar gunung yakni gunung Qaf yang diduga mengelilingi dan meliputi seluruh planet Bumi.
c). Gambaran Umum Teks
kenyataan bahwa struktur al-Qur’an, yakni susunan surat dan ayatnya (tuartib al-Suwwar wa al-ayat fi al-Mushaf) tidak sama dengan aturan kronologinya (tartib an-Zul) mka hal ini bisa digunakan sebaga bukti kedua adri sifat dasar tekstualitas persoalannya bukanlah saa yang menyusun kembali ke teks tetapi yang terpenitng adalah mengapa dan menurut norma dan nilai yang mana? gambaran lain dari tekstualitas in adalah teks al-Qur’an yang menyatkan bahwa ia mencangkup ayat-ayat yang jels, yang merupakan tulang punggung kitab tersebut dan ayat-ayat yang samar yang harus diintrpreasikan menurut ayat yanag jelas. Tidak terdapat konsenus diantara Ulama muslim tentan bagian manakah dar dua macam ayat-ayat tersebut, namun yang ada hanya kesepakatan bahwa teks adalah ukuran terhadap dirinya sndiri dan karenanya makna sebuah ayat harus ditetapkan dari sudut petunjuk/tanda yang didalam al-Qur’an.
d). Kekhasan tekstual: makna dan signifikansi
linguistik spesifik yang mengkodekan dinamika teks al-Qur’an selalu memungkinkan sebuah proses pengkodean yang tidak pernah berakhir, dalam proses ini, makna sosio-budaya, kontekstual tidak bisa diabaikan atau disederhanakan, karena “makna” kepada “signifikansi” lkonteks sosio-budaya saat ini. Ini juga akan memberikan kemampuan kepada seorang penafsir keakuratan danefisiensi “sejarah” dan “tempral” yang tidak membawa signifikansi dalamkonteks saat ini. Nterpretasi adalah sesuatu yang tdak bisa dipisahkan dari teks, al-Qur’an, yang dikodekan menurut konteks sejarah, budaya, dan linguistiknya, yang kemudian dikodekan kembali kedaalam kode, konteks udaya dan lingustik penafsir. Dengan kata lain struktur-struktur terdalam al-
91
Qur’an mesti direkonstruksi dari struktur permukaan (surface sture), stelah itu struktur terdalam harus dituliskan kemali dalam struktur permukaan yang lainnya yang ada pada saat sekarang.
3. Gambaran Tuhan dalam linguistik Al-Qur’an
Sebagai perkataan Tuhan, al-Qur’a diyakini telah ada sebelumnya di Surga, sebagaimana ia telah ditulis di lauhf Mahfudz, al-Quran ditulis ditempat tersebut dengan bahasa Arab yang indah, dimana disetiap suratnya sangat besar sepert gunung, yang dinamakan gunung Qa yang diduga mengelilingi dan mencangkup seluruh planet bumi, ini meberi kesan bahwa seni kaligrafi berhubungan dengan al-quranyang memiliki bebrapa macam hubungan dengan persepsi teks, imajinatif yang sangat menarik ini. Pada sisilain dekorasi buku merupakan seni yang dikembangkan oleh masyarakat muslim melaui berbagai usaha, mereka, pertama, dengan menciptkan beberapa tanda atau beberpa indikator untuk mendefesiensikan bentuk-bentuk tulisan bahsa Arab yang mirip dengannya. Kedua meletakan beberapa tanda, untuk menunjuk beberapa huruf hidup. Didalam maupun diakhir kata. Ketiga, memberi nomor ayat-ayat setiap surat dan menunjuk permulan adn akhirr setiap surat. Merekaa menggunakan unit-unit warna artistik yang berbeda dan bernilai tinggi.
Dengan keunikan ciri khas bahsanya, al-Qur’an adalah wahyu yang pada awalnya menangkap imajinasi masyarakat Arab, mereka berusaha sebaik mungkin menjelaskan pengaruhnya bagi mereka menurut tipe-tipe teks yang telah mereka ketahui. Sebagian besar teori yang diperkenalkan dlam teologi islam menjelaskan ciri khas ketidaksamaan teks, namun seluruhnya menyepakati salah satu point esensia yang sangat mendasar, yakni sifat dasar pembicara itu sendiri, yakni Tuhan, telah menjadikan Al-Qur'an tidak mungkin berbiacara tentan gberbagi persamaan, belum lagi kesesuaiannya antara al-Qur’an dan teks-teks lainnya, bahkan kritikus sastra Abdul Quhair al-Gurjani, yang memperkenalkan teori nazhm atau sintaks dalam bukunya yang sangat terkenal
92
akar-akar ketidaksesuaian (Proofs of incompatibility), memprkuat bahwa point dasar yang esensial dari teorinya berdasrkan pada asumsi bahwa teks manusia, yakni teks puitis, sepenuhnya melakukan penelitian untuk membuka hukum “Nazhm” dan menemukan supermasi al-Qur’an. Konsep pembicara ini merupakan alasan esensial dibelakang supermasi teks yang membuka jalan untuk membangun konsep lainnya tentang sifat dasar bahasa itu sendiri, menurut konsep ini bahasa itu bukanlah ciptaan manusia melainkan hadiah dari tuhan. Jadi tidak cukup sulit mendukung konsep tersebut. Fungsi transformasi ini adalah untuk menghindari realitas yang nyata menuju penegakan realitas Ilahi Tuhan yang tidak nyata, Menurut al-Qur’an, itulah sebabnya mengapa setiap suatu dalam seluruh realitas yang nyata dari atas kebawah (top to battom) tidak lain kecuali “tanda” yang merujuk kepada Tuhan, tidak hanya fenomena alam, animasi dan non animasi, yang dianggap sebagai tanda semiotik namun juga sejarah manusia yang terdapat dalam al-Qur’an untuk melukiskan pertarungan abadi antara “kebenaran” dan “kejahatan” yang juga dirujukan melalui serangkaian tanda-tanda, kata tanda dalam bahasa Arab adalah ‘ayat’ dengan bentuk pluralnya’ayat’, al-Quran itu sendiri terbagi dalam surat-surat, lalu setiap suratnya dibagi kedalam ayat-ayat. Penggunaan secara menyeluruh kata ‘ayat’ dan bentuk pluralnya ayat dalam al-Qur’an merupakan dasar yang sangat kuat dalam penjelasan ini.
93
BAB IV
TAFSIR DAN TA’WIL
A. Tafsir dan Ta’wiL
Interpretasi dan teks adalah dua sisi dari satu mata uang. Teks al-Qur`an telah ditundukkan pada interpretasi sejak masa pewahyuannya. Muhammad saw. adalah penafsir yang pertama, yang melalui dialah al-Qur`an untuk pertama kalinya berinteraksi dengan pemikiran manusia.50 Dalam studi al-Qur`an terdapat pertentangan dan perbedaan antara penggunaan istilah tafsir dan ta`wil. Sebagaimana dinyatakan oleh Hashim Kamali untuk tujuan mendeduksi hukum dari nash (al-Qur`an) maka ada dua metode yaitu tafsir dan ta`wil.
Tafsir berarti menjelaskan makna teks al-Qur`an dalam batas-batas kata dan ungkapannya, artinya penjelasan berdasarkan unsur kandungan dan komposisi linguistiknya semata. Sedangkan ta`wil adalah pencarian makna tersembunyi dengan mengabaikan makna yang tampak (zahir) menuju makna yang lain. Namun tidak semua kata perlu dita`wilkan, seperti kata yang tegas (mufassar) dan kata yang sudah jelas (muh kam), begitu juga kata yang sudah spesifik (khass) dan kata-kata yang terkualifikasi (muqayyad). Kata yang perlu dita`wilkan adalah hanya kata yang nampak dzahirnya dan kata yang jelas (nass), termasuk kata yang masih umum (‘amm).51
Abu Zayd merasa prihatin dengan sikap ulama yang mempertahankan pemahaman tafsir dengan mengabaikan ta`wil dengan alasan dianggap menyimpang
50 Shofiyullah, Membaca “Naqd al-Khitab Nasr Hamid Abu Zayd. hlm. 78
51Muhammad Hashim Kamali, Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam, Penerjemah:Noorhadi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996) hlm. 111-113
94
dari kekuasaan ulama mutaqaddimin yaitu otoritas Nabi, Sahabat dan Tabi`in. Sikap merasa cukup dengan hasil interpretasi generasi pertama teks dan membatasi peran mufassir modern hanya dengan meriwayatkan dari ulama kuno membawa konsekuensi yang lebih berbahaya dalam kehidupan sosial; mungkin masyarakat akan memegangi interpretasi tersebut secara literal dan menjadikannya aqidah, dan akibatnya merasa cukup dengan “kebenaran-kebenaran” azali (iman) sebagai kebenaran-kebenaran final, dan menjauhi metode “eksperimental” dalam mengkaji fenomena-fenomena alam dan kemanusiaan.52
Persoalan tafsir-ta`wil sebagai kajian ilmiah terhadap al-Qur`an menurut Abu Zayd, bukanlah tingkat obyektivitas atau subyektifitasnya, namun terhindarkannya dari kecenderungan ideologis. Dengan demikian ta`wil vis a vis berhadapan dengan interpretasi ideologis yang diistilakan sebagai talwīn (mewarnai atau memberi warna kepada teks). Ideologi yang dimaksud Abu zayd adalah bias interpreter, bias kepentingan, orientasi, kecenderungan ideologis, tujuan-tujuan politis, pragmatis, dan keyakinan keagamaan.53 Abu Zayd juga menggunakan istilah pembacaan (Qirā`ah) untuk membedakan antara kajian penguakan makna al-Qur`an yang ilmiah dengan kajian yang bersifat ideologis. Ta`wil merupakan pembacaan produktif (qirā`ah muntijah) yang didasarkan atas kritik epistemologis tentang obyektivitas sedangkan talwīn adalah sebuah pembacaan ideologis-subyektif-tendensius (qirā`ah mughridhah) atas teks. Dengan kata lain, ta`wil adalah pembacaan yang membuat teks berbicara sendiri tentang dirinya (reading out) sementara talwīn adalah
52Nashr Hamid Abu Zayd, Mahfum al-Nash, Dirasah fi Ulum al-Qur’an, (Kairo: al-
Hay’ah al-Mishriyyah al-Ammah li al-Kitab), h. 11, terjemah lihat Nashr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas al-Qur’an, Kritik terhadap Ulumul Qur’an, Penerjemah: Khoiron Nahdliyin, (Yogyakarta: LkiS, 2001) hlm. 222
53Moch Nur Ichwan, al-Qur`an sebagai Teks (Teori Teks dalam Hermeneutik Qur`an Nasr Hamid Abu Zayd) dalam Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsudin,ed., Studi al-Qur`an Kontemporer, Wacana Baru Berbagai Metodologi
Tafsir (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002) hlm. 150
95
pembacaan yang memaksakan agar teks berbicara tentang apa yang diinginkan pembaca (reading into). Meskipun demikian, Abu Zayd mengakui bahwa tidak ada pembacaan yang bersih (qirā`ah barī`ah) karena tidak ada pengetahuan yang berangkat dari ruang
hampa, dan pembaca selalu dibatasi oleh horizon pembacanya sendiri.54
Dengan demikian terdapat satu dimensi penting dalam proses ta`wil yaitu peran pembaca dalam menghadapi teks dan dalam menemukan maknanya. Peran pembaca atau pen-ta`wil bukanlah peran mutlak yang mengubah ta`wil menjadi teks yang tunduk pada kepentingan subjektif, tetapi ta`wil harus berdasarkan pada pengetahuan mengenai beberapa ilmu yang secara niscaya berkaitan dengan teks, dan berada dalam konteks “tafsir”. Penta`wil harus mengetahui benar tentang tafsir yang memungkinkanya memberikan ta`wil yang diterima dalam teks, yaitu ta`wil yang tidak menundukkan teks pada kepentingan subyektif dan ideologinya.55
B. Analisis Kritis Atas Teori Hermeneutika Nasr Hamid
Abu Zayd Pendekatan hermeneutika yang dikembangkan kalangan modernis semisal Nasr Hamid Abu Zaydyang merupakan upaya untuk mengembangkan pendekatan dalam memahami Alquran banyak ditentang di kalangan umat Islam. Adnin Armas misalnya.56 mengemukakan bahwa terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara hermeneutika di satu sisi, dan tafsir – ta’wil di sisi lain sehingga tidak tepat digunakan untuk mengkaji Alquran. Perbedaan tersebut terutama dalam sifat alamiahnya; otoritas dan keaslian teks; serta dari sisi kebakuan bahasa dan makna dalam memaknai kitab suci. Ketidaksesuaian ini dapat dilihat dari beberapa unsur berikut. Pertama, hermeneutika secara jelas menyamarkan kedudukan teks-teks
54Ibid, hlm. 85
55Nashr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas al-Qur’an, Kritik terhadap Ulumul Qur’an, Penerjemah: Khoiron Nahdliyin, (Yogyakarta: LKiS, 2001) hlm. 85
56Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Alquran, (jakarta: Gema Insani, 2005).hlm. 75
96
suci agama; karena memang pada awalnya hermeneutika ditujukan untuk menjembatani kewibawaan dan keaslian teks Bibel yang bermasalah. Kedua, penentuan kontekstual terhadap makna dengan mengesampingkan kemapanan bahasa dan susunan makna dalam bahasa (semantic structures), menyebabkan kosa kata dalam teks kitab suci selalu permisif untuk disusupi berbagai dugaan (guess/conjecture), pembacaan subjektif dan pemahaman yang hanya mendasarkan pada relativitas sejarah. Ketiga, memisahkan makna antara yang “normatif” dan yang “historis” di satu sisi dan menempatkan kebenaran (truth) secara kondisional menurut budaya tertentu dan suasana historis di sisi lain, akan cenderung pada paham sekuler. Oleh karena pertimbangan yang diambil pemikiran keagamaan lebih berorientasi pada Pencipta Teks (Allah), yang tidak memihak pada supremasi data empiris, maka dengan sendirinya akan ditolak oleh pendekatan kesadaran historis-ilmiah dalam memahami teks-teks keagamaan. Pendekatan kesadaran historis-ilmiah menurut Nasr Abu Zayd cenderung kepada apa yang dihasilkan oleh pembaca teks yang memiliki perangkat ilmiah kekinian untuk menjadi ‘hakim’ dalam mewarnai interpretasi teks keagamaan. Maka bagi Nasr Hamid Abu Zayd, teks bukan lagi milik pengarangnya, tapi sudah menjadi pemilik para pembacanya. Selain itu, klaim adanya dikhotomi antara yang mutlak dan yang nisbi; antara Alquran dan tafsirnya; antara agama dan pemikiran keagamaan, seperti yang dikemukakan oleh Nasr Hamid Abu Zayd akan membuka beberapa konsekwensi serius. Pertama, kebenaran al-Quran hanya dimiliki Tuhan saja. Sehingga saat kebenaran itu sampai pada manusia, ia menjadi kabur, sebab manusia tidak pernah tahu apa maksud Tuhan dalam al-Quran.
Pemikiran seperti ini berarti bahwa Tuhan tidak pernah berniat menurunkan al-Quran untuk manusia. Kedua, mengingkari tugas Nabi yang diutus untuk menyampaikan dan menjelaskan wahyu. Ketiga, menyeret pada pengertian bahwa seolah-olah semua ayat al-Quran tidak memiliki penafsiran yang tetap dan disepakati. Bahkan semua penafsiran dipengaruhi oleh kepentingan penafsir dan situasi psiko-sosialnya. Keempat, menolak otoritas keilmuan, syarat dan kaidah dalam menafsirkan
97
al-Quran, sebab setiap orang berhak menafsiri al-Quran dengan kualitas yang sama nisbinya. Kelima, membatalkan konsep dakwah dalam Islam, karena semua perintah dan larangan dalam al-Quran bersifat nisbi yang tidak harus dilaksanakan. Maka akibatnya umat Islam tidak wajib melaksanakan perintah ayat dakwah: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu” (QS. Al-Nahl: 125). Sebab ayat tersebut akan dipertanyakan lagi, jalan Tuhan yang mana? Kalau Islam, Islam yang mana? Islam Muhammadiyyah, NU, PERSIS, PKS atau Islam apa? Keenam, berlawanan dengan konsep ilmu dalam Islam. Sebab definisi ilmu dalam Islam adalah sifat yang dapat menyingkap suatu objek, sehingga tidak menyisakan ruang keraguan; dan berakhir pada keyakinan. Sementara relativisme selalu bermuara pada kebingungan. Ketujuh, membubarkan konsep amar ma’ruf nahi munkar. Sebab paham relativisme akan menisbikan batasan antara yang ma’ruf dan yang munkar, hingga akhirnya menjadi kabur dan samar. Paham relativisme akan mengatakan bahwa yang ma’ruf menurut sebagian orang, bisa jadi munkar bagi sebagian lainnya. Padahal Nabi SAW telah mengingatkan kaum muslimin untuk menjauhi hal-hal yang bersifat syubhat (samar). Karenanya menurut Hendri Sholahudin, Andaian nisbinya tafsir secaramutlak, tentu sulit diterima akal yang jernih. Adanya perbedaan dalam penafsiran al-Quran, bukan berarti penafsiran itu mutlak nisbi.57
Penggunaan hermeneutika yang menghasilkan asumsi historisitas Alquran dengan dalih bahwa perbuatan Tuhan bila telah teraktualisasi dalam sejarah, maka
harus tunduk pada peraturan sejarah, sejatinya telah menimbulkan konsekwensi yang rumit untuk diterima akal sehat. Apakah dengan demikian Tuhan tunduk mengikuti kaedah peraturan alam yang diciptakan-Nya sendiri? Apakah kemudian wahyu dapat
57Hendri Solahudin, Al-Qur’an Dan Teori Hermeneutia Nasr Hamid Abu Zaiyd, (http//www.ppmi Pakistan.or.id/?p=20,2009, hlm.10
98
“diseret” untuk mengikuti kemauan realitas sejarah yang berkembang? Karenanya menurut Adian Husaini.58
Konsep Alquran yang diuraikan Nasr Hamid Abu Zayd di atas bukan hanya bertentangan dengan pengertian Alquran yang dikenal oleh umat, namun telah membubarkan konsep wahyu dalam Islam. Sebab dengan corak pemahaman ala Abu Zayd bahwa kemutlakan Alquran dan sakralitasnya telah sirna dan menjadi teks manusia ketika masuk dalam pemahaman Nabi, diaplikasikan dalam kehidupan dan disampaikan kepada umatnya, akan membatalkan konsep wahyu yang dikenal dalam Islam. Semua umat Islam sepakat bahwa pengertian Alquran adalah Firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW secara lafzhan wa ma’nan (lafazh dan maknanya) dengan perantara Jibril AS, terjaga dalam mushaf, kemudian disampaikan kepada para Sahabat dan diwariskan dari generasi ke generasi secara mutawatir (recurrence) tanpa keraguan sedikitpun. Membacanya adalah ibadah, di dalamnya terkandung berbagai mukjizat, petunjuk dan ilmu pengetahuan. Sedangkan dalam dataran epistemologis (epistemic level), Abu Zayd dan kelompok modernis lainnya yang menerapkan metode historis (historical methodology), baik dinyatakan secara eksplisit atau tidak, sebenarnya telah menolak sumber ketuhanan (the divine source) terhadap Alquran yang mereka anggap sebagai realitas holistik (the holistic reality) yang dihasilkan dari metodologi penelitian ilmu-ilmu sains. Pernyataan Abu Zayd bahwa Alquran adalah produk budaya, fenomena sejarah dan teks linguistik membawa pengertian bahwa Alquran dihasilkan secara kolektif dari serangkaian faktor politik, ekonomi dan sosial. Atau dengan kata lain, Alquran adalah hasil pengalaman individual yang diperoleh Nabi Muhammad dalam waktu dan tempat tertentu (specific time-space context), dimana latar belakang sejarah saat itu mengambil peranan inti dalam mewarnai pemikiran beliau dan bahasa sebagai perangkat ungkapan sejarah (expressional tool of history).
58 Adian Husaini Op. Cit. hlm. 4.
99
Dengan demikian, memahami agama dengan cara menundukkannya dalam ruang sejarah, bahasa dan budaya yang terbatas adalah watak dasar hermeneutika yang dikembangkan oleh peradaban Barat yang tidak sejalan dengan Islam. Sebagai pembaca yang menjadi hakim dalam memaknai teks, Nasr Hamid Abu Zayd menganjurkan untuk mengunci firman Tuhan dalam ruang dan waktu. Kemudian membatasi makna Alquran menurut zaman tertentu dalam sejarah. Dengan cara ini, pembaca teks dapat memahami teks secara ilmiah dan tidak terpasung, baik oleh pandangan dogmatis-sektarian (madzhab minded), permasalahan ideologis (iman-kufur), mistis, tabu (desakralisasi) maupun khurafat. Sebaliknya, dalam pandangan Nasr Hamid Abu Zayd, corak pendekatan ulama klasik dalam pembacaan teks, terikat dengan pendekatan asbab al - nuzul dan naskh wa mansukh adalah terpasung dan tidak ilmiah. Sebab meskipun kedua pendekatan ini juga memperhatikan data empiris, namun pada kenyataannya data empiris yang ditampilkan tersebut masih diwarnai oleh peran Pencipta Teks. Dengandemikian, kecenderungan ulama klasik yang lebih memposisikan teks agama sebagai hakim daripada akal, dipandangnya sebagai corak pendekatan ideologis.Kecenderungan Abu Zayd yang lebih mengesampingkan Sang Pembuat Teks, kemudian menjadikan pembaca teks dengan segala kondisi sosial, politik dan budaya yang melatarbelakanginya, sebagai hakim yang menentukan arah pemaknaa teks, sebenarnya adalah bentuk pengutamaannya terhadap realitas lahiriyah (al-waqi‘ al-madi, material reality). Sebab baginya, segala aktivitas berfikir yang selalu terbayang-bayangi oleh realitas ketuhanan dan metafisika (akidah, pahala, siksa, syari’ah dan akherat) dipandang sebagai bagian dari mitos (usthurah). Maka dengan demikian Abu Zayd lebih mengutamakan realitas (al-waqi‘) daripada pikiran. Dan baginya, teks adalah hasil dari sebuah realitas. Maka setiap perubahan yang terjadi dalam realitas, menuntut perubahan dalam pembacaan teks, sampai akhirnya terjadi kesepaduan antara teks dan realitas (zaman dan tuntutannya). Sehingga menurut Hendri Sholahuddin,59 tujuan teori tafsir Nasr Hamid
59Hendri Sholahudin, Op. Cit. hlm. 12
100
Abu Zayd yang ingin menghilangkan ideologi sektarian, justru sangat rancu. Sebab unsur ideologi dalam suatu penafsiran tidak bisa dinetralisir. Ibarat dua sisi mata uang, mengesampingkan suatu ideologi hanya akan terjebak dalam ideologi lainnya. Dengan kata lain, menolak suatu ideologi adalah ideologi itu sendiri, seperti halnya menolak kemapanan adalah menetapkan ketidakmapanan atau bentuk lain dari sebuah kemapanan. Terlepas dari itu semua, sesungguhnya Nasr Hamid Abu Zayd telah melahirkan ijtihad baru dalam metode penafsiran. Sebagai sebuah teori, tentunya harus tetap terus diuji. Sehingga pada akhirnya yang diikuti oleh umat tetunya teori yang telah teruji dan dapat dipertahankan. Khatimah Hermeneutika merupakan hasil ektrapolasi otoritas manusia sebagai produk dari proses interaksi pemikran Islam dengan pemikiran Barat. Interaksi dialogis telah melibatkan sebuah proses dialektika yang intensif antara tradisi besar dan tradisi kecil dalam sejarah pemikiran Islam. Perubahan (change) terjadi ketika hermeneutika merupakan tradisi baru memiliki kekuatan dibanding tradisi lama. Akan tetapi, proses kesinambungan ( continuity ) dengan tradisi lama tetap berjalan meskipun telah muncul tradisi baru. Dengan demikian, metode penafsiran (hermeneutika) Nasr Hamid Abû Zayd merupakan artikulasi dari proses kesinambungan ( continuity ) dan perubahan ( change ), dan karena itu, hermeneutika dikukuhkan sebagai metode alternatif ketika sistem penafsiran dalam tradisi Islam tidak memadai untuk memahami teks-teks keagamaan dalam realitas kontemporer. Sebagai sebuah teori penafsiran, tentunya harus tetap dikritisi dan diuji, sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan karena akan diikuti oleh umat Islam.
101
BAB III
KESIMPULAN
Pada dasarnya prinsip-prinsip dasar hermeneutika secara operasional telah diterapkan dalam tradisi klasik Ulum al-Qur’an seperti yang diperkenalkan kepada kita tentang metode tafsir dan ta’wil. Namun, secara definitif metodologi hermeneutik baru dimunculkan pada abad modern ini seiring dengan munculnya penafsiran-penafsiran kontemporer terhadap teks al-Qur’an.
Teks al-Qur’an memang memiliki keunikan tersendiri, selain inspirasinya yang berasal dari wahyu Ilahi yang diberikan kepda Nabi Muhammad, juga karakteristik bahasa, pesan-pesan, maksud dan tujuan dari teks tersebut yang tidk dapat diraih begitu saja, ia membutuhkan proses intepretasi dan penjelasan untuk “memahami” dalam berbagai padannya. Betapapun teks al-Qur’an berasal dari wahyu Ilahi, dalam analisisnya Nasr Hamid Abu Zayd memposisikan teks al-Qur’an sebagai teks bahasa yang bersifat kemanusiaan. Karena teks yang bersfat Ilahi itu telah mensejaran dan termanusiakan menjadi teks yang bersofat manusiawi yang tercermin dalam karakteristiknya dalam bahasa tertentu. Yakni bahasa Arab. Kendati banyak disalah pahami tetapi sesungguhnya yang dimaksud “Produksi Budaya” disini adalah al-Qur’an pada level bahasa, atau ditempatkan pada teks brbahasa. Menurut Nasr dan hermeneut yang lain bahwa untuk sampai pada suatu pemahaman yang objektif, harus dilakukan suatu bentuk pemetaan status Ontologis teks al-Qur’an dan Interpretasinya.
102
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zayd, Nasr Hamid, al-Qur’an, Hermeneutika dan Kekuasaan, Pen, Dede Iswadi, Jajang A. Rahmana, Ali, Musryid,Yogyakarta: eLSAQ, 2003.
Mahfum al-Nash, Dirasah fi Ulum al-Qur’an, (Kairo: al-Hay’ah al-Mishriyyah al-Ammah li al-Kitab), terjemah lihat Nashr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas al-Qur’an, Kritik terhadap Ulumul Qur’an, Penerjemah: Khoiron Nahdliyin, (Yogyakarta: LkiS, 2001)
Tekstualitas al-Qur’an, Kritik terhadap Ulumul Qur’an, Penerjemah: Khoiron Nahdliyin, (Yogyakarta: LKiS, 2001.
Pen, Dede Iswandi, Jajang A. Rohmana dan Ali Muryid, Al-Qur’an, Hermeneutika dakn Kekuasaan, (Bandung:RqiS, 2003),
Armas Adnin, Metodologi Bibel dalam Alquran, (jakarta: Gema Insani, 2005).
Hasan Hanafi” Jakarta: TERAJU, 2002.
Emilio Betti http://www.google.comsearch? q=biografi+betti+ahli+hermeneutik &btnG= &clien t+ms- opera -miniandroid&channel=new : akses, Jum’at, 11 Mei 2012.
Faiz Fahrudin, Hermeneutika al-Qur’an tema-tema kontroversial, Yogyakarta: eLSAQ, 2005.
Gadamer(1990-1998)HermeneutikGadamer:Idrussabidin.blogspot. com/2012/01/ hermeneutika-dalam-pandangan.html?=1 : Rabu 25 Januari 2012.
Hashim Kamali, Muhammad, Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam, Penerjemah:Noorhadi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996).
Hossein Nasr, http://www. kampusislam.com/index. php?pilih=news&mod =yes&aksi= lihat&id =549. Akses 15 Desember 2009.
103
http://www.google.com/search?q=biografi+betti+ahli+hermeneutik&btnG=&client+ms-opera-miniandroid&channel=new : akses, Jum’at, 11 Mei 2012.
Nahdliyin Khoiron. Imam Syafi’i: Moderatisme, Eklektisme, Arabisme. (Yogyakarta: LKIS, 1997); Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, (Jakarta: Paramadina, 1997),
Ichwan, Moch Nur, al-Qur`an sebagai Teks (Teori Teks dalam Hermeneutik Qur`an Nasr Hamid Abu Zayd) dalam Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsudin, Studi al-Qur`an Kontemporer, Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002).
Idruss abidin.blogspot.com/2012/01/hermeneutika-dalam-pandangan.html?m=1: Ra bu, 25 Januari 2012
Kurdi dkk, Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis,Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010.
Sahiron, Syamsudin dkk, Hermeneutika Mazhab Yogya, Yogyakarta: Islamika, 2003
Rsonedy25.blogspot.com2013/10/hermeneutka-filosofis-martineidagger. html?=1: Senin, 14 Oktober 2013.
Rsonedy25.blogspot.com2013/10/hermeneutka-filosofis-martin-heidagger.tml?=: Senin, 4Oktober 2013.
Sahrur, Muhammad, al-Kitab, wa al-Qur’an” Qira’ah Mu’ashairah, Pen, Sahiron Syamsudin, Burhanudin Dzikri, Pirnsip dan Dasar Hermeneutika Kontemporer, Yogyakarta: eLSAQ, 2004.
Wilhem Dilthey (1833-1911),Idrussabidin.blogspot.com/2012/01/hermeneutika-dalam-andangan. html? m=1 :Rabu, 25 Januari 2012
Solahudin Hendri, Al-Qur’an Dan Teori Hermeneutia Nasr Hamid Abu Zaiyd, (http//www.ppmi Pakistan.or.id/?p=20,2009,
104
AL-QUR'AN MENURUT PEREMPUAN
Karya Amina Wadud
Oleh: Imraatus Salihah
NIM: 14750004
BAB I
1. PENDAHULUAN
Memasuki abad 20, dunia ramai dengan perubahan dan perkembangan di segala bidang, termasuk kemajuan ilmu- ilmu sosial. Dan di tengah kemajuan itu , pendekatan gender terhadap dehumanisai sosial mulai dilakukan, yaitu seiring dengan maraknya isu kesetaraan dan kemitrajajaran antara perempuan dan laki- laki. Pendekatan gender tesebut, melahirkan kesadaran sosial bahwa selama ini di realitas sosial telah terjadi diskriminasi dan penindasan terhadap perempuan, serta pendustaannilai- nilai kemanusiaan. Diantara hal baru yang dilakukan adalah melakukan anlisis atas beberapa atribut sosial dan keagamaan yang selama ini menjadi justifikasi ketidakadilan sosial.
Selanjutnya dalm konteks keagamaan mulai marak isu pentingnya reinterpretasi ayat- ayat gender, dalam rangka menemukan atribut- atribut sosial yang selama ini masuk dalam penafsiran Al- Qur’an serta menelaah kembali semangat keadilan dan kemanusiaan yang dibawa oleh islam. Kemajuan ini, di satu sisi memberikan perubahan terhadap paradigma berpikir, telah menyita intelektual muslim- feminis untuk melakukan pengembangan metodelogis guna melahirkan penafsiran yang berspekrif gender dan berkeadilan sosial. Yang diantarnya dilakukan oleh Amina Wadud Muhsin.
Al- Qur’an mempunyai posisi penting dalam studi keislaman, disamping berfungsi sebagai petunjuk, Al- Qur’an juga berfungsi sebagai furqan, yaitu menjadi tolak ukur dan pembeda antara yang haq dan yang bathil. Menafsirkan Al- Qur’an bararti berusaha menerangkan makna- makna Al- Qur’an dan hukum- hukumnya dan hikmah- himahnya. Oleh karena pentingnya posisi Al- Qur’an
105
tersebut, maka penafsira terhadap Al- Qur’an bukan hanya merupakan hal yang diperbolehkan, bahkan lebih dari itu, merupakan suatu keharusan bagi orang- orang yang memenuhi kualifikasi untuk melakukan itu. Kecenderungan hermeneutika dalam model penafsiaran feminis telah memunculkan hasil penafsiran yang berbeda secara diametral denagn penafsiran klasik. Dalam buku “Qur’an Menurut Perempuan” dengan metode hermeneutikanya, telah mengkaji pemikiran dan kecenderungan Amina Wadud dalam memahami ayat- ayat Al- Qur’an. Dan lebih dari itu, metode yang ia gunakan ini banyak menuai pengalaman dan suara perempuan sehingga dapat menghadirkan keadilan gender yang lebih besar dalam pemikiran Islam dan memperbesar pencapaian keadilan dalam praksis Islam. Ia adalah feminis yang berupaya menafsirkan ulang berbagai ayat Al- Qur’an yang selama ini cenderung ditafsirkan secara patriarkhis oleh para mufassir klasik.
106
BAB II
Pembahasan
A. Biografi Amina Wadud
Amina Wadud memiliki nama panjang Amina Wadud Muhsin. Ia adalah seorang tokoh feminis di abad 21, yang telah memberikan sumbangan pemikirannya yang kontroversial. Ia lahir di Bethesda, Maryland Amerika Serikat pada 25 September 1952. Ayahnya adalah seorang penganut Methodist dan ibunya keturunan hamba Berber, Arab, dan Afrika pada kurun ke- 8 Masehi. Ia memeluk Islam pada tahu 1972. Ia janda dengan lima anak, dua laki- laki dan tiga perempuan. Yang laki- laki adalah Muhammad dan Khalilullah,dan yang perempuan adalah Hasna, Sahar, dan Ala. Bahkan ia menganggap mereka lebih dari anak, yaitu saudara seiman.60 Sejak kecil, ia gemar membaca. Meskipun demikian ia tidak tertarik dengan cerita- cerita yang bertemakan “ gadis yang diselamatkan ” dan “ laki- laki pemberani “. Tetapi ia tertarik dengan kata- kata yang mampu memberikan makna dan dimensi, kata- kata yang mampu mempengaruhi tujuan tehadap kehidupan pribadinya.61
Studi perguruan tingginya dimulai di University of Pennsylvania dalam bidang pendidikan. Ia meraih gelar sarjana (B.S) pada tahun 1975. Kemudian melanjutkan studi pascasarjananya di The University of Michigan dan meraih gelar magister (M.A) pada bulan Desember 1982 di bidang Kajian- Kajian Timur Dekat (Near Eastern Studies) dan di universitas yang sama ia meraih gelar Doktor (Ph.D) pada bulan Agustus tahun 1988 di bidang Kajian- kajian Keislaman dan Bahasa Arab (Islamic Studiea and Arabic).
60 Mutrofin, Kesetaraan Gender Dalam Pandangan Amina Wadud dan Riffat Hassan, vol. 3
61Fikri Noor Al Mubarok, http://yudhistirasenangberkarya.blogspot.com/2013/07/biografi-amina-wadud.html
107
Semenjak lulus dari University of Pennsylvania selama tahun 1976-1977, ia kemudian diangkat menjadi dosen di jurusan bahasa Inggris pada College of Education Universitas Qar Yunis, Libya. Sepulang dari Libya pada tahun 1979-1980, ia mengajar di Islamic Community Center School di Philadelphia, Amerika Serikat.
Di luar aktivitas sebagai seorang feminis, Amina Wadud adalah seorang guru besar di Commonwealth University, Richmond Virginia. Pada tahun 1988, ia memperoleh gelar doktor dalam bidang bahasa Arab dan kajian Islam di Michigan University, sambil lalu ia juga belajar bahasa Arab di American University. Selain itu ia juga pernah belajar filsafat Islam di al-Azhar dan kajian tafsir al-Qur’an di Cairo University, Mesir.62
Amina Wadud banyak menguasai bahasa asing diantaranya, Inggris, Arab, Turki, Spanyol, Prancis, dan Jerman. Penguasaan banyak bahasa membuat ia banyak ditawari menjadi dosen tamu di berbagai universitas di antaranya:63
1) Universitas Commonwealth, Virginia : Asisten Profesor di Lembaga Studi
Filsafat & Agama, tahun 1992 – 1997, 1998 dan menjadi Profesor penuh
pada tahun 1999.
2) Fakultas Ketuhanan Harvard Cambridge, sebagai dosen Magister Studi
Wanita di Lembaga Penelitian Program Agama & menjadi Dosen
Terbang, 1997-1998.
3) Universitas Islam Internasional ; Asisten Profesor di Lembaga
Pengetahuan & Peninggalan Islam Wahyu, 1989-1992.
4) Universitas di Michigan ; Asisten Riset Pengembangan Bahan-Bahan
Pengajaran Bahasa Arab, 1984-1986.
5) Institut Pengajaran Bahasa Inggris ; Kairo Mesir Instruktur/pengajar
62http://ms.wikipedia.org/wiki/Amina_Wadud
63https://www.academia.edu/7146564/30_BAB_III_PENDAPAT_AMINA_WADUD_TENTANG_WANITA_SEBAGAI_IMAM_SHALAT
108
Inggris, Transkriber Program Pendidikan untuk Orang Dewasa di musim
panas 1982.
6) Sekolah Pusat Komunitas Islam : Philadelphia PA. Guru kelas 5-6.
Pengembangan Kurikulum Pelajaran Agama Islam kelas 4-7, 1979-1980.
7) Universitas di Qar Younis ; Kampus Pendidikan El-Beida Libya : Dosen
di Fakultas Inggris pada tahun 1976-1977.
Selain sebagai dosen, ia juga memberikan beberapa kursus singkat
mengenai keislaman :
1. Kajian-Kajian Keagamaan :
Islam, Pengenalan Terhadap Kajian-Kajian Keagamaan, Islam & Afrika-
Amerika, Agama di Amerika, Bahasa-Bahasa Klasik Global didalam
Spiritualitas, Perbandingan Agama, Agama-Agama Dunia.
2. Kajian-Kajian Al-Qur’an :
Tafsir, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Tema-Tema Pokok dalam Al-Qur’an, Al-
Qur’an & Wanita, Keadilan, Jender & Penafsiran Al-Qur’an.
3. Kajian-Kajian Keislaman :
Peradaban Islam, Sejarah, Islam & Orang-Orang Muslim, Mistik Islam :
Orang-Orang Sufi, Islam & TrenGlobal.
4. Kajian-Kajian Kewanitaan :
Wanita & Agama, Spiritualitas Wanita Secara Umum, Teologi Feminisme,Islam & Wanita.
5. Kajian-Kajian Internasional :
Pergerakan Islam, Islam di Asia Tenggara, Islam di Amerika, SejarahTimur Tengah.
Ia pernah menjadi Consultant Workshop dalam bidang Islam dan Gender yang diselenggarakan oleh MWM (Maldivian Women’s Ministry) dan PBB pada tahun 1999. Dalam beberapa organisasi ia pun memiliki jabatan penting, di antaranya :
109
1. Anggota Akedemi Agama Amerika (AAOR), 1989-2001
2. Anggota Dewan Konggres WCRP, 1999-2004
3. Anggota Eksekutif Komite WCRP, 1992-2004
4. Anggota inti SIS (Sister in Islam) Forum Malaysia tahun 1989
5. Editor Gender Issu pada Jurnal “The American Muslim” 1994-1995.
6. Editor Jurnal “Lintas Budaya” Virgia Commenwealth University, 1996.
7. Editorial Jurnal “Hukum dan Agama”, 1996-2001
8. Instruktur pada lembaga kursus Studi Islam untuk Dewasa di IslamicCommunity Center of Philadelphia; 1982-1984.
9. Ketua Komite Gabungan Peneliti Studi Agama dan Studi tentangAmerika-Afrika, 1996-1997.
10. Ketua Koordinator Komite Perempuan (WCC), 1999-2004
11. Pembawa Acara di sebuah stasiun televisi pada acara “Focus on al-Islam”,1993-1995.
12. Perkumpulan Studi Inggris & Arab Wanita, 1980-1987
13. Dan masih banyak lagi jabatan-jabatan penting yang ia pegang.
Selain itu Amina Wadud juga banyak memperoleh beberapa penghargaan dari penelitiannya yang cukup banyak, yaitu :
1. Universitas Commonwealth, Virginia :
a. Workshop musim panas VCU : Bertahan di Ruang Kelas Elektrik disponsori oleh Kantor Walikota & Kantor Pengembangan Pengajaran,7-17 Agustus 2000
b. Subsidi VCU : “Memulai Kritik Jender Inklusif Terhadap Teori EtikaIslam” sebuah penelitian utama mengenai Konsep Moral Menurut Al-Quran, diajukan pada tahun 1999
c. Subsisi VCU : “Konsep Alternatif Mengenai Keluarga Dalam Islam”,diajukan pada tahun 1996
110
d. Mendapat predikat Who’s Who di Organisasi-organisasi Internasional,edisi kedua tahun 1995
e. Mendapat predikat Who’s Who of Woman Dunia, edisi ke-12 tahun1993 & edisi ke-13 tahun 1995
2. Universitas Islam Internasional Malaysia :
Penganugerahan untuk sebuah penelitian tentang Kritik Metodologis Terhadap Feminisme Sekuler (Menguak Feminisme Pro-KeyakinanMenurut Pandangan Islam) pada tahun 1990-1991.
3. Universitas di Michigan :
a. Kelompok Kajian-Kajian Timur (mendapat fasilitas pengajaran &biaya hidup per tahun), di musim panas tahun 1979
b. Penghargaan kecil (mendapat fasilitas pengajaran & biaya hidup pertahun), 1980-1981, 1982-1984, 1985-1986, 1987-1988
c. Mendapat beasiswa di lingkungan bahasa asing : (mendapat fasilitaspengajaran & biaya hidup per tahun), 1984-1987
4. Universitas Amerika di Kairo :
Center for Arabic Study Abroad (CASA) (mendapat fasilitas pengajaran,biaya hidup per tahun & biaya perjalanan), 1981-1982
5. Universitas di Pennsylvania :
a. Mendapat beasiswa sekolah Universitas : tahun 1970-1975 (fasilitaspengajaran & biaya hidup per tahun)
b. Penghargaan Akademis : 1973-1975
6. Pusat Penelitian Amerika di Mesir :
“Peran Moral Dalam Al-Quran danKejelasan Mengenai Keadilan Sosial” diajukan tahun 1999.
7. Fakultas Ketuhanan Harvard :
Program Kajian Wanita dalam Agama,“Konsep Lain Tentang Keluarga dan Tata Hukum Personal Muslim”(penghargaan 1997-1998).
8. Subsidi VCU :
111
“Menitikberatkan Kritik Eksklusif Jender Terhadap TeoriEtika Islam” Penelitian utama tentang “Konsep Al-Quran Terhadap PeranMoral”, diajukan tahun 1999.
9. Subsidi VCU :
“Pendapat Lain tentang Konsep Keluarga Dalam Islam :Koleksi Data-Data Penting”, (penghargaan di musim panas tahun 1996).
10. Universitas Islam Internasional :
“Kritik Metodologis TerhadapFeminisme Sekuler : Penelitian Terhadap Feminisme Pro-KeimananMenurut Pandangan Islam” (penghargaan tahun 1990-1991).
B. Karya-karya Intelektual Amina Wadud
Amina termasuk tokoh feminis muslim yang cukup produktif, walaupun ia baru menulis dua karya ilmiah dalam bentuk buku, namun ia sudah banyak menulis puluhan bahkan ratusan dalam bentuk artikel yang dimuat dalam beberapa jurnal, seminar-seminar, dan beberapa proposalresearch (proposal penelitian) dalam bidang perempuan, gender, agama, pluralisme dan kemanusiaan. Karya-karya tersebut antara lain ;
a. Buku
1. Qur’an and Women : Rereading the Sacred Text form a Women’s
perspective, (Oxford University Press: 1999).
2. Qur’an and Women, Fajar Bakti Publication (Oxford University PressSubsidiary), Kuala Lumpur Malaysia (Original Eddition), 1992.
b. Artikel
1. “Pusaka Aisyah : Wanita dan Jender Dalam Islam” untuk NewInternasionalist isu spesial tentang Islam, Terbitan-terbitan NewInternationalist Ltd., Oxford, U.K.
112
2. “Dibalik Sebuah Penafsiran” di Forum Terbuka Islam dan Toleransi,pada Boston Review : A Political and Literary Forum, Volume 27, No 1 February/Maret 2002.
3. Responden : Diskusi Meja Bundar : Teoligi Feminisme beranekaragamsecara agamis atau Umat Kristen Ghetto? Di Jurnal Kajian-KajianFeminisme Dalam Agama, Musim gugur tahun 2000, Volume 16#2halaman 90-99.
4. “Pandangan Islam Tentang Isu-Isu Hak Sipil” Ch. 9 Religion and CivilRights Proyek Hak-Hak Sipil Universitas Harvard dan Dana Abad 21,1999.
5. “Keyakinan” di Ensiklopedi Wanita dan Agama oleh Routledge Press,akan terbit.
6. “Ibadah” di Ensiklopedia tentang Wanita dan Agama Dunia, SerenityYoung, ed. Macmillan Press, akan terbit tahun 1999.
7. “Wahyu”, Ensiklopedi tentang Dunia Islam Modern, John Esposito,ed. Universitas Oxford Press, NY 1995.
8. “Wilayah”, Ensiklopedi tentang Dunia Islam Modern, John Esposito,ed. Universitas Oxford Press, NY 1995.
9. “Dinamika Hubungan Laki-Laki & Perempuan”, The AmericanMuslim, Volume III, No. 1, Musim Dingin tahun 1995.
10. “Islam : Sebuah Respon Yang Muncul tentang Paham AktivismeSpiritual Kulit Hitam”, Forum Universitas untuk VCU Voice*, 7February 1994.
11. “Muslimah di Abad 21 : Maju atau Mundur”, The American Muslim*,Volume II, No. 11-12, Musim Panas/Rontok tahun 1994.
12. “Al-Quran, Syari’ah dan Hak-Hak Kewarganegaraan Muslimah” diSharia Law and the Modern Nation-State, (berlangsungnyasimposium) ed. Norani Othman, SIS Forum Malaysia Berhard, KualaLumpur, 1994.
113
Dari pergumulan sebagai aktivis wanita dalam upaya memperjungkankeadilan gender, ia berpendapat bahwa selama ini sistem relasi laki-laki danwanita di banyak negara sering kali mencerminkan adanya bias patriarkhisehingga mereka kurang mendapat keadilan yang proporsional.
Karya-karya Amina Wadud tersebut merupakan bukti kegelisahanintelektualnya mengenai ketidakadilan di masyarakat. Maka ia mencobamelakukan rekonstruksi metodologis tentang bagaimana menafsirkan al- Qur’an agar dapat menghasilkan sebuah penafsiran yang sensitif gender danberkeadilan.
C. Buku Qur’an Menurut Perempuan: Membaca Kembali Kitab Suci dengan Semangat Keadilan.
Riset Amina Wadud mengenai buku Qur’an Menurut perempuan muncul dalam suatu konteks historis yang erat kaitannya dengan wanita Afrika – Amerika dalam upaya memperjuangkan keadilan gender. Hal ini karena selama ini sistem relasi laki- laki dan wanita di masyarakat memang sering mencerminkan bias- bias patriarkhi, dan sebagai implikasinya maka perempuan kurang mendapat keadilan secara lebih proporsional. Amina Wadud mengakui bahwa bukunya merupakan bagian dari apa yang disebut “jihad gender” dirinya sebagai seorang muslimah dalam konteks global. Menurutnya, budaya patriarkhi telah memarjinalkan kaum wanita, menafikan wanita sebagai khilafah fil ardh, serta menyangkal ajaran keadilan yang diusung oleh Al- Qur’an.
Riset dalam topik Buku Qur’an Menurut Perempuan: Membaca Kembali Kitab Suci dengan Semangat Keadilan ini di mulai pada awal 1986. Tujuan Riset Amina Wadud adalah menentukan kriteria yang pasti untuk mengevaluasi sejauh mana posisi wanita dalam kultur muslim telah betul- betul menggambarkan maksud islam mengenai wanita dalam masyarakat. Al- Qur’an dapat digunakan sebagai kriteria untuk menguji apakah status wanita dalam masyarakat muslim yang sesungguhnya sudah dikatakan Islami. Jika yang menjadi tolak ukur pasti
114
dalam Islam adalah apa yang dilakukan oleh kaum Muslim, maka niscaya wanita dan laki- laki tidak sederajat. Menurut Amina Wadud, hanya jika Al- Qur’an sendiri memang tegas- tegas menyatakan bahwa laki- laki dan wanita tidak sederajat, maka barulah harus dipatuhi sebagai dasar keimanan Islam. Ternyata menurut Amina Wadud, hasil kajiannya menunjukkan banyak sekali ayat Al- Qur’an yang mempertegas kesamaan derajat wanita dan laki- laki. Di dalam buku ini, Amina Wadud bermaksud menggunakan Tafsir Tauhid untuk menegaskan betapa kesatuan Al- Qur’an merambah seluruh bagiannya. Salah satu tujuan dari metode tafsir tauhid adalah untuk menjelaskan dinamika antara hal- hal yang universal dan partikular menurut Al- Qur’an.
Selain itu tujuan riset ini adalah untuk menjadikan penafsiran Al- Qur’an bermakna bagi kehidupan wanita di era modern. Kemudian Amina Wadud menambahkan bahwa tujuan spesifiknya adalah menunjukkan kemampuan penyesuaian pandangan dunia Al- Qur’an terhadap peersoalan dan dunia wanita menurut konteks modern.
Buku ini bukan buku yang membahas topik umum tentang “Islam dan Wanita”, juga bukan tentang wanita muslim. Buku ini menambahkan bahasan tentang gender pada salah satu disiplin ilmu yang paling fundamental dalam pemikiran Islam yaitu tafsir.
Buku ini mempunyai sejarah internasional yang luas. Setelah Amina Wadud merampungkan riset dan disertasi Ph.Dnya di Amerika Serikat (1989), buku ini pertama kali ditebitkan di Malaysia (1992). Sejak itu, buku ini diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa diantaranya Turki (1997), dan ada tawaran yang tidak tuntas untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Arab (1996). Setelah mengunjungi Afrika Selatan (1994), buku ini meraih peringkat nomor satu dalam daftar buku best seller di Al- Qalam, sebuah koran muslim. Metodologinya disejajarkan dengan yang digunakan oleh aktifis dan cendekiawan muslimah di Republika Islam Iran. Di beberapa Universitas Barat, buku ini secara luas digunakan untuk mata kuliah yang berhubungan dengan
115
“gender dan Islam” serta “ Islam dan Modernis”. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 1992.
Dalam buku ini, Amina Wadud mengungkapkan bahwa ia menerima Al- Qur’an seutuhnya, tetapi tetap menganggap tafsirnya hanya sebagai upaya manusia untuk menjelaskan makna kandungannya dan mengarahkan pengalamannya. Fokus buku ini hanya pada soal gender dalam Al- Qur’an. Ini adalah konsep wanita yang langsung diambil dari Al- Qur’an.
2. METODE TAFSIR FEMINIS AMINA WADUD DAN PENDEKATANNYA
Amina Wadud adalah seorang pemikir kontemporer yang mencobamelakukan rekonstruksi metodologis tentang bagaimana menafsirkan Al- Qur’an agar menghasilkan sebuah penafsiran yang sensitif gender dan berkeadilan. Menurutnya, yang menyebabkan terjadinya ketidakadilan gender dalam kehidupan sosial adalah karena ideologi- doktrin penafsiran yang dianggapnya bias patriarkhi. Dalam berbagai studi gender, paling sedikit ditemukan ada empat sumber utama yang menyumbang berlangsungnya bias gender; penafsiranatas teks agama, budaya patriarkhi, pendidikan dan negara.64 Sehingga dengan gagasan yang kritis, ia berusaha mengaplikasikan metodologi yang dibangunnya tersebut. Asumsi dasar yang dijadikan kerangka pemikirannya adalah bahwa Al- Qur'an merupakan sumber tertinggi yang secara adil mendudukkan laki-laki dan wanita setara (equal).Karena itu, perintah dan petunjuk Islam yang termuat dalam Al-Qur'an mestinya diinterpretasikan dalam konteks historis yang spesifik. Khususnya dalam mengkaji bagaimana persepsi mengenai wanitaterhadap penafsiran ayat-ayat Al-Qur'an. Menurut pandangan Amina, adabeberapa hal yang harus diingat, yaitu :
1. Tidak ada Penafsiran yang Benar-benar Obyektif
64 Adnan Mahmud, dkk, Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm.94
116
Menurutnya, selama ini tidak ada satupun penafsiran yang benar- benarobyektif. Masing-masing ahli tafsir sering melakukan beberapa pilihan subyektif, karena setiap pemahaman atau penafsiran terhadap suatu teks, termasuk kitab suci Al- Qur’an sangat dipengaruhi perspektif mufassirnya dan cultural background yang melatarbelakanginya. Itulah yang disebut oleh Amina Wadud dengan prior text/pra teks. Contoh sederhana, orang yang fanatik terhadap ilmu fiqh maka ketika menafsirkan Al-Qur'an maka ia akan lebih banyak menggunakan pengalaman fiqihnya.
Selain itu tidak adanya pemahaman yang tunggal terhadap ayat- ayat Al-Qur’an tersebut muncul sejak ayat-ayat tersebut diturunkan dari waktu ke waktu.Termasuk di antara para sahabat sebagai generasi yang paling dekat dengan Rasul sekalipun sering berbeda pendapat antara satu dengan yang lainnya. Perbedaan ini juga sampai kepada ulama mufassirinpada periode-periode berikutnya. Maka tidak mengherankan bila kemudian muncul penafsiran-penafsiran yang berbeda tentang makna yang terkandung dalam Al-Qur’an. Oleh karena itu, Amina Wadud mensyaratkan perlunya seorang mufassir memahami weltanchaung atau world view.
2. Kategorisasi Penafsiran Al-Qur'an
Penafsiran mengenai wanita, menurut Amina ada tiga kategori, yaitu tradisional, reaktif dan holistik.
a. Tradisional
Model tafsir ini menggunakan pokok bahasan tertentu sesuaikemampuan mufasir-nya, seperti hukum (fiqh), nahwu, sharaf, sejarah, tasawuf dan sebagainya. Model tafsir semacam ini bersifat atomistik. Artinya penafsiran ini dilakukan atas ayat perayat dan tidak tematik sehingga pembahasannya terkesan parsial dan tidak ada upaya untuk mengenali tema-tema dan membahas hubungan Al-Qur'an dengan dirinya sendiri secara tematis. Ketiadaan penerapan hermeneutika atau metodologi yanng menghubungkan antara ide, struktur sintesis , atau tema yang serupa membuat pembacanya gagal menangkap weltanchaung Al- Qur’an. Dan yang paling ironi pada model penafsiran tradisional ini menurut Amina Wadud adalah semuanya hanya
117
ditulis oleh kaum laki- laki dan bersifat eksklusif. Hal ini berarti bahwa subyektifitas laki-laki dan pengalaman laki- lakidimasukkan ke dalam tafsir mereka dan sementara wanita danpengalaman wanita tidak dimasukkan (diabaikan), maka wajar bila kemudian tafsir yang muncul adalah menurut visi, perspektif, kehendak atau kebutuhan khas laki-laki (patrinial).
b. Reaktif
Tafsir model ini adalah sebagai reaksi para pemikir modern terhadap sejumlah hambatan yang dialami wanita yang dianggap berasal dari al-Qur'an. Tujuan yang dicapai dan metode yang dipakai berasal dari cita-cita dan dasar pemikiran kaum feminis. Namun terkadang analisis yang dipakai tidak komprehensif dan sering menyebabkan sikap egoisme wanita yang tidak sesuai dengan sikap Al- Qur'an sendiri terhadap wanita. Maka sebenarnya kelemahan ini bisa ditekan bila mereka berpegang teguh pada konsep pembebasan terhadap sumber utama dari ideologi dan teologi Islam.
c. Holistik
Merupakan penafsiran yang komperehensif dan melibatkan banyak persoalan, sosial, moral, ekonomi dan politik modern, termasuk persoalan wanita yang muncul pada era modernitas.Satu unsur khas untuk menafsirkan dan memahami setiap nash adalah nash sebelumnya yang disusun oleh penafsir yang dipengaruhi oleh suasana bahasa dan budaya saat nash dibaca, maka hal tersebut tidak dapat dielakkan dan dihindari.
Pada posisi inilah Amina Wadud menempatkan diri dalamupayanya untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Dengan memasukkan pengalaman wanita dan membebaskan diri dari stereotip yang di bangun oleh mufassir laki-laki.
Buku “Qur’an Menurut Wanita” berisi penelitian beliau tentang kedudukan perempuan dalam Al-Qur’an. Penelitian ini dimulai pada tahun 1986 dan dipublikasikan pada tahun 1992. Dalam buku ini beliau menggunakan metode Reinterpretasi dan Double Movement (metode penafsiran yang dikemukakan ole
118
Fazlur Rahman).65Maksud metode Reinterpretasi ialah penafsiran ulang/ kembali Al-Quran agar sesuai dengan konteks masyarakat. Sedangkan Double Movemen ialah melihat kondisi dan situasi ayat itu diturunkan agar mendapatkan nilai atau pesan moral yang terkandung dalam ayat-ayat tersebut.
Maka menurut Amina Wadud betapa pentingnya analisis konsep wanita dalam Al-Qur'an, bila mana diukur dengan perspektif ayat-ayat Al- Qur'an sendiri, baik itu dalam kekuatan sejarah, politik bahasa, kebudayaan, pikiran dan jiwa maupun ayat-ayat Tuhan yang dinyatakan bagi seluruh umat manusia. Melalui pengkajian ulang terhadap Al-Qur'an berdasarkan prinsip- prinsip keadilan sosial, persamaan manusia dan tujuannya sebagai pedoman hidup.Dan dalam metodologi penafsiaran Amina Wadud mencakup :
a. Dekontruktif- Rekontruktif
Amina Wadud medekontruktif dan merekontruktif model penafsiran klasik yang penuh bias patriarkhi. Asumsi dasarnya adalah bahwa Al- Qur’an merupakan sumber nilai tertinggi yang secara adil mendudukkan laki- laki dan perempuan setara (equal).
b. Argumentatif- Teologis
c. Hermeneutik- Filosofis
Ciri utamanya adalah pengakuan bahwa dalam kegiatan penafsiran, sorang mufasir selalu didahului oleh persepsinya terhadap teks yang disebut sebagai prapaham yang muncul kaarena seorang penafsir senantiasa dikondisikan oleh situasi dimana ia terlibat dan sekaligus mempengaruhi kesadarannya.
Melalui kesadaran tersebut, Amina Wadud memberikan sebuah tawaran metode yang harus dipegangi ketika akan menafsirkan ayat-ayat Al- Qur'an terutama ayat-ayat yang bias gender. Yaitu metode tafsir tauhid untuk memperkuat kesimpulannya, yang dikemasnya dalam tiga aspek penting, yaitu :
65 Drs. H. Yunahar Ilyas, Feminisme Dalam Kajian Tafsir Al- Qur’an Klasik dan Temporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm.26
119
1. Dalam konteks apa teks itu ditulis atau kaitannya dengan al-Qur'an adalah dalam konteks apa ayat tersebut diturunkan.
2. Sebagaimana komposisi tata bahasa teks (ayat) tersebut, bagaimana pengungkapannya, apa yang dikatakannya.
3. Bagaimana keseluruhan teks (ayat), weltanschauung atau pandangan hidupnya.
Sebagai langkah teknis operasionalnya, ketika akan menafsirkan,setiap ayat, yang harus dianalisis adalah :
1. dalam konteksnya;
2. dalam konteks pembahasan topik yang sama dengan al-Qur'an;
3. menyangkut bahasa yang sama dan struktur sintaksis yang digunakan dalam seluruh bagian al-Qur'an;
4. menyangkut sikap benar berpegang teguh pada prinsip-prinsip al-Qur'an;
5. dalam konteks al-Qur'an sebagai weltanschauung ataupandangan hidup.
Dengan metode tersebut, Amina ingin menangkap spirit dan ide-ide Al-Qur'an secara utuh, holistik, dan integratif, hingga tidak terjebak pada teks-teksyang bersifat parsial dan legal formal. Hal ini penting karena problempenafsiran Al-Qur'an sesungguhnya adalah bagaimana memaknai teks al-Qur'an yang terbatas dengan konteks yang tidak terbatas. Karena koteks selalumengalami perkembangan, apalagi pada waktu yang bersamaan kita inginmenjadikan Al-Qur'an selalu relavan dengan perkembangan dan tuntutanzaman.
Dan Amina menggunakan pendekatan Heurmenetik, Philology, Sosial, Moral, Ekonomi dan Politik Modern.Adapun pendekatan Heurmenetik, Philology, Sosial, Moral, Ekonomi dan Politik Modern ialah pendekatan yang mendukung kedua metode di atas karena dengan Hermenetik dan Pilology penafsir dapat mengolah teks-teks yang akan di tafsirkan. Sedangkan pendekatan-pendekatan yang lainnya membantu penafsir menghasilkan penafsiran yang sesuai dengan konteks masyarakat.Dan dalam hal pendekatan yang digunakan oleh Amina Wadud cenderung pada:
120
a. Feministik, yaitu pendekatan yang didasarkan pada pandangan hidup perempuan.
b. Sosio- Historik- Kultural, yaitu pendekatan yang mengkaitkan dengan pengalaman dan pergumulan para wanita Afrika- Amerika dalam upaya memperjuangkan keadilan gender. Jadi, ketika mufassir hendak menafsirkan Al- Qur’an maka ia harus memperhatikan situasi sosio- historis- kultural.
Seperti kata Amin Abdullah, “Kajian empiris dengan nuansa historisitas manusia akan memperlihatkan bangunan pola berpikir manusia dalam memahami Al- Qur’an pada kurun waktu tertentu”.66
3. PEMIKIRAN FEMINISME AMINA WADUD
1. Penciptaan Manusia Menurut Al-Qur’an dan Kesetaraan Laki-laki dan Perempuan.
Meskipun terdapat perbedaan antara perlakuan terhadap pria dan perlakuan terhadap wanita ketika Al-Qur`an membahas penciptaan manusia, Amina berpendapat tidak ada perbedaan nilai esensial yang disandang oleh pria dan wanita. Oleh sebab itu tidak ada indikasi bahwa wanita memiliki lebih sedikit atau lebih banyak keterbatasan dibanding pria.Semua catatan al-Qur`an mengenai penciptaan manusia dimulai dengan asal-usul ibu-bapak pertama:
﴾ يَا بَنِي ءَادَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ مِنَ الجَنَّةِ ﴿ 72
"Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga…" (QS. Al-A’raaf: 27).
Amina menjelaskan bahwa kita menganggap ibu-bapak kita yang pertama serupa dengan kita. Meskipun anggapan ini benar, tetapi tujuan utama bab ini lebih menekankan pada satu hal: proses penciptaan mereka. Semua manusia setelah
66 M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme,(Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1995), hlm.226
121
penciptaan kedua makhluk ini, diciptakan di dalam rahim ibunya. Berbagai implikasi yang serius telah diambil dari pembahasan dan ide-ide tentang penciptaan orang tua pertama yang berdampak abadi pada sikap terhadap laki-laki dan wanita. Selanjutnya Amina Wadud membahas QS. An-Nisa’ ayat 1:
﴾ يَا أَ ي هَ ا ال نَّاسُ ا تَّق و اْ رَ بَّكُ مُ ا لَّذِ يْ خَ لَق كُ مْ مِ نْ نَفْ س وَ احِ د ة وَ خَ لَقَ مِ نْهَا زَ وْ جَ هَ ا﴿ 1
Dan juga dalam QS. Ar-Ruum ayat 21, yaitu:
﴾ وَ مِ نْ ءَ ا يَا تِه أَنْ خَ لَقَ لَكُ مْ مِ نْ أَ نف سِ كُ مْ أَزْ وَ ا ج ا ل تَسْ كُ نُو اْ إِ لَ يهَ ا﴿ 71
Dalam menjelaskan firman Allah tersebut, Amina Wadud menekankan penjelasannya tentang pengertian dan maksud dari kata min, nafs dan zawj.
“Min” memiliki dua fungsi.
Pertama : digunakan sebagai preposisi dari, untuk menunjukkan makna menyarikan sesuatu dari sesuatu lainnya.
Kedua : digunakan untuk mengatakan sama macam atau jenisnya.Setiap penggunaan kata min dalam ayat tadi telah ditafsirkan dalam salah satu atau kedua makna tadi, sehingga hasilnyapun berbeda.
“Nafs” bisa digunakan secara umum dan teknis.
Al- Qur’an tidak pernah menggunakan istilah tersebut untuk menunjukkan ciptaan lain selain manusia.
Penggunaan secara teknis, kata nafs dalam Al- Qur’an menunjukkan bahwa seluruh umat manusia memiliki asal- usul yang sama. Dan secara tata bahasa, kata nafs merupakan kata feminin (muannas). Sedangkan secara konseptual, kata nafs mengandung makna netral, bukan untuk laki- laki bukan pula untuk perempuan. Dalam catatan Al-Qur`an mengenai penciptaan, Allah tidak pernah merencanakan untuk memulai penciptaan manusia dalam bentuk seorang laki-laki dan tidak pernah pula merujuk bahwa asal usul umat manusia adalah Adam. Al-Qur`an bahkan tidak pernah menyatakan bahwa Allah memulai penciptaan manusia dengan nafs Adam, seorang pria. Hal yang sering diabaikan ini sangat
122
penting karena penciptaan manusia versi Al-Qur`an tidak dinyatakan dalam istilah jenis kelamin.
“Zawj”
Sebagai istilah umum, kata zawj digunakan dalam Al- Qur’an untuk arti teman atau pasangan yang bias kita pahami Hawa. Sedangkan secara gramatikal, kata zawj adalah maskulin. Dan secaraa konseptual kebahasaan bersifat netral, tidak menunjukkan bentuk muannats (feminin) atau mudzakkar (maskulin). Baik Adam maupun Hawa diciptakan dari nafs yang sama. Yang penting bagi Amina Wadud bukan bagaimana Hawa diciptakan, tapi kenyataan bahwa Hawa adalah pasangan Adam. Pasanagan menurut Amina Wadud, dibuat dari dua bentuk yang saling melengkapi dari satu realitas tunggal, dengan sejumlah sifat, karakteistik, dan fungsi, tetapi kedua bagian yang selaras ini saling melengkapi sesuai kebutuhan satu keseluruhan. Setiap anggota pasangan mensyaratkan adanya anggota pasangan lainnya. dengan pengertian demikian, penciptaan Hawa bagi Amina Wadud merupakan bagian dari rencana penciptaan Adam. Dengan demikian keduanya sama pentingnya.
Amina Wadud juga menepis mitos yang sudah terlanju mengakar di benak masyarakat, yaitu bahwa wanita (Hawa) merupakan penyebab keterlemparan manusia dari surga. Anggapan ini jelas tidak sejalan dengan Al- Qur’an, sebab peringatan Alloh agar menjauhkan diri dari bujukan setan ditujukan kepada keduanya.
2. Pandangan Al-Qur’an Tentang Wanita di Dunia.
Amina Wadud berpendapat bahwa Al-Qur’an tidak mendukung suatu peran tertentu dan stereotip untuk laki-laki dan wanita. Patut dicatat bahwa semua referensi tentang para tokoh wanita dalam Al-Qur’an menggunakan suatu keistimewaan budaya yang penting yang memperlihatkan penghormatan terhadap wanita itu.
123
Kecuali Maryam, ibunda Isa, mereka tidak pernah dipanggil dengan namanya. Sebagian besar berstatus istri dan Al-Qur’an menyebut mereka dalam bentuk idhafah yang mengandung salah satu kata Arab untuk istri: imra’ah, nisa’ atau zawj. Bahkan wanita lajang disebutkan dengan dihubungkan dengan laki-laki tertentu: ukht Musa, ukht Harun. Prinsip umumnya, bahwa wanita harus disapa secara terhormat.
Al-Zamakhsyari menyatakan bahwa laki-laki lebih diutamakan oleh Allah dalam hal kecerdasan, kondisi fisiknya, ketetapan hati dan kekuatan fisik, walaupun ia mengatakan hal tersebut tidak dinyatakan di dalam Al-Qur’an. Penafsiran ini membenarkan berbagai pembatasan atas hak-hak wanita untuk mencapai kebahagiaan pribadi dalam konteks Islam. Yang paling menyusahkan adalah kecenderungan untuk mengaitkan penafsiran ini dengan Al-Qur’an sendiri daripada mengaitkannya pada mufassirnya. Allah tidak membedakan manusia berdasarkan kekayaan, kebangsaan, jenis kelamin atau konteks sejarah, melainkan berdasarkan takwa.
يَا أَي هَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَ ر وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوْب ا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُواْ إِنَّ أَكْرَ مَكُمْ نِِْدَ
﴾ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ لَِِيْمٌ خَبِيْرٌ ﴿ 11
“ Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13).
Menurut Amina Wadud, Al- Qur’an tidak pernah menggunakan istilah yang menyatakan bahwa posisi pemimpin tidak tepat untuk wanita. Justru sebaliknya, kisa Bilqis dalam Al- Qur’an memuji perilaku politik dan agamanya. Di luar identifikasinya sebagai wanita, tidak pernah ada disebutkan perbedaan, pelarangan, penambahan, atau pengkhususan terhadapnya sebagai wanita yang memimpin. Seorang wanita yang lebih independen dan berwawasan luas mungkin akan lebih baik
124
dalam memimpin suatu bangsa. Demikian juga, seorang suami mungkin saja lebih sabar terhadap ank- anak.
3. Balasan yang adil :Akhirat menurut Al-Qur’an.
Laki- laki dan wanita adalah dua kategori spesies manusia yang dianggap sama atau sederajat dan dianugerahi potensi yang sama atau setara. Tak satupun hal tersebut terlupakan dalam Al- Qur’an sebagai kitab petunjuk bagi umat manusia yang mengakui dan mempercayai kebenaran yang pasti. Al- qur’an menghimbau semua orang beriman, laki- laki dan perempuan, untuk mebarengi keimanan mereka dengan tindakan, dengan begitu mereka akan diganjar dengan pahala yang besar. Jadi, Al-qur’an tidak membedakan pahala yang dijanjikannya. Dalam menjelaskan Q.S. Ghafir: 40
﴾ مَنْ مَِِلَ صَالِ حا مِنْ ذَكَ ر أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأوُلَئِكَ يَدْخُلُوْنَ الجَنَّةَ ﴿ 04
Amina Wadud menekankan kata “Man” dan “Ulaika”. Kedua kata tersebut mengandung pengertian netral, tidak khusus laki- laki dan tidak pula perempuan. Sehingga masing- masing manusia akan memperoleh ganjaran bukan berdasarkan jenis kelamin, melainkan atas tindakan yang dilakukan oleh setiap individu.Berkenaan dengan akhirat, tanggung jawab dan pengalaman individu ini mendapatkan perhatian lebih besar. Kematian, yakni perpindahan dari alam duniawi ke alam akhirat, akan dialami oleh setiap individu:
﴾ كُ ل نَفْ س ذ ا ئِق ة المَ وْ تِ ﴿ 181
“Tiap-tiap nafs akan merasakan mati” (Q.S. Ali: Imran: 185). Jadi, individu (nafs)lah yang dikelompokkan dengan individu- individu lain dari tipe yang sama. Akhirnya, balasan yang diberikan adalah berbasis pada individu. Laki- laki maupun perempuan diganjar secara individual sesuai dengan amalnya, meskipun timbangan untuk mengukurnya hanya ada satu (tidak bergender).Mengenai balasan, terdapat beberapa point utama yang disebutkan Al-Qur’an yaitu balasan diperoleh bukan berdasarkan
125
jenis kelamin, melainkan berdasarkan amal yang dikerjakan oleh tiap-tiap individu sebelum mati. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. Al-Jaatsiyah: 21-22.
أَمْ حَسِبَ الَّذِينَ اجْتَرَحُوا السَّي ئَاتِ أَنْ نَجْعَلَهُمْ كَالَّذِيْنَ ءَامَنُوا وَ مَِِلُوا الصَّالِحَاتِ سَوَا ء
مَحْيَاهُمْ وَمَمَاتِهِمْ سَاءَ مَا يَحْكُمُوْنَ ﴿ 71 ﴾ وَخَلَقَ اللهُ السَّموَاتِ وَالأرَْضَ بِالحَ قِ وَلِتُجْزَى
﴾ كُ ل نَفْ س بِمَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُوْنَ ﴿ 77
4. Hak danPeranPerempuan: Beberapa Kontroversi
a) Perbedaan Fungsional di Dunia
Al-Qur’an mengakui bahwa kita berjalan dengan berbagai sistem sosial yang memiliki beberapa perbedaan fungsional. Hubungan yang ditunjukkan Al-Qur’an antara perbedaan-perbedaan yang bersifat duniawi ini dengan takwa adalah penting dalam bahasan Amina Wadud. Menurutnya, karena perbedaan utama wanita adalah kemampuannya melahirkan anak, maka kemampuan ini dianggap sebagai fungsinya yang utama. Penggunaan kata utama mempunyai konotasi negatif sehingga dari kata ini, tersirat anggapan bahwa wanita hanya bisa menjadi ibu. Al-Qur’an tidak pernah menyatakan bahwa fungsi tersebut adalah fungsi utama wanita. Fungsi itu menjadi utama bila dilihat dari kesinambungan ras manusia.
b) Darajat dan Fadhala
Amina mengutip sebuah ayat yang membedakan derajat antara pria dan wanita, yaitu QS, 2: 228 yang artinya:”Wanita-wanita yang ditalak, hendaknya menahan diri (menunggu) tiga kali quru`. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang dijadikan Allah dalam rahimnya. Dan suami-suaminya berhak rujuk padanya dalam masa iddah tersebut, jika mereka (para suami tersebut) menghendaki ishlah. Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, memiliki satu tingkat (derajat) kelebihan daripada istrinya. Ayat ini menunjukkan bahwa derajat yang dimaksud di atas adalah hak menyatakan cerai kepada istri. Sebenarnya wanita bisa saja minta cerai, tetapi hal ini dikabulkan setelah adanya campur tangan pihak yang berwenang (misalnya hakim).
126
Amina berpendapat bahwa makna derajat dalam ayat ini sama dengan kebolehan kesewenang-wenangan laki-laki terhadap wanita akan bertentangan dengan nilai kesamaan (keadilan) yang diperkenalkan dalam Al-Qur`an sendiri untuk setiap individu, bahwa setiap nafs akan memperoleh ganjaran sesuai dengan apa yang dia upayakan. Adapun, kata ma’ruf diletakkan mendahului kata darajah untuk menujukkan bahwa hal tersebut dilakukan terlebih dahulu. Dengan demikian, hak dan tanggung jawab wanita dan pria adalah sama.
Selanjutnya, Amina juga concern dalam menafsirkan kata Qawwam dan fadhdhala yang terdapat dalam QS, 4:34. Menurutnya, dua kata tersebut erat kaitannya dengan kata penghubung bi. Di dalam sebuah kalimat, maknanya adalah karakteristik atau isi sebelum kata bi adalah ditentukan berdasarkan apa-apa yang diuraikan setelah kata bi. Dalam ayat tersebut, pria-pria qawwamuuna ‘ala (pemimpin-pemimpin bagi) wanita-wanita hanya jika disertai dua keadaan yang diuraikan berikutnya. Keadaan pertama adalah mempunyai atau sanggup membuktikan kelebihannya, sedang persyaratan kedua adalah jika mereka membiayai kaum wanita dengan menggunakan harta mereka. Jika kedua kondisi ini tidak dipenuhi, maka pria bukanlah pemimpin bagi wanita.
Dalam tulisan lain, Amina menjelaskan bahwa kata bi di atas berkaitan dengan ma fadhdhlallah (apa yang telah Allah lebihkan untuk laki-laki, yakni warisan), dan nafkah yang dia berikan kepada istrinya. Meski menurutnya, kelebihan warisan antara laki-laki dan perempuan masih debatable. Dimana bagian warisan absolute pria tidak selalu berbanding dua dengan wanita. Jumlah sesungguhnya sangat tergantung pada kekayaan milik keluarga yang akan diwariskan. Lebih jauh, Amina menjelaskan bahwa nafkah sebagai seorang pemimpin hendaknya diterapkan dalam kaitannya hubungan kedua belah pihak dalam masyarakat secara keseluruhan. Salah satu pertimbangannya adalah tanggung jawab dan hak wanita untuk melahirkan anak. Tanggung jawab melahirkan seorang anak merupakan tugas yang sangat penting. Eksistensi manusia tergantung pada hal tersebut. Tanggung jawab ini mensyaratkan sejumlah hal, seperti kekuatan fisik, stamina, kecerdasan, dan
127
komitmen personal yang dalam. Sementara tanggung jawab ini begitu jelas dan penting, apa tanggung jawab seorang pria dalam keluarga itu dan masyarakat luas? Untuk menciptakan keseimbangan dan keadilan, dan untuk menghindari penindasan, Al-Qur`an menyebut tanggung jawabnya sebagai qiwamah. Amina menambahkan bahwa wanita tidak perlu dibebani dengan tanggung jawab tambahan yang akan membahayakan tuntutan penting tanggung jawab yang hanya dia sendiri yang bisa mengembannya.
c) Nusyuz: Gangguan Keharmonisan Perkawinan
Kutipan Q.S. al-Nisa (4): 34 seringkali ditafsirkan dan dijadikan legitimasi/ pengakuan menurut hukum oleh kaum laki-laki untuk melakukan tindak kekerasan (violence) terhadap istri (perempuan) yang dianggap telah nusyuz. Di dalam kitab-kitab fiqh atau tafsir klasik, kata nusyuz sering dibawa pengertiannya pada istri yang tidak taat kepada suami. Kata nusyuz dalam Al-Qur’an dapat merujuk kepada kaum laki-laki pada (Q.S. al-Nisa’ [4]: 128)
وَ إِنِ امْ رَ أَة خَ اف تْ مِ نْ بَعْ لهَ ا نُشُ و ز ا أوْ إِ رَِ ا ض ا ف لَ جُ نَاحَ لَ يهِ مَ ا أَن يُص لحَ ا بَي نَهُ مَ ا
﴾ صُ ل ح ا ﴿ 178
dan kaum perempuan pada (Q.S. al-Nisa’ [4]: 34)
﴾ وَ ال تي تَخَ اف وْ نَ نُشُ وزَ هُ نَّ ف عِ ظُ وهُ نَّ وَ اهْ جُ رُ وهُ نَّ ف ي المَ ضَ اجِ ع وَ اضرِ بُوهُ نَّ ﴿ 10
, meskipun kedua kata ini sering diartikan berbeda. Ketika merujuk pada perempuan, kata nusyuz berarti ketidakpatuhan istri kepada suami ketika merujuk kepada suami berarti suami bersikap keras kepada istrinya, tidak mau memberikan haknya. Tetapi, menurut Amina Wadud, ketika kata nusyuz disandingkan dengan perempuan (istri), ia tidak dapat diartikan dengan ketidakpatuhan kepada suami (disobidience to the husband), melainkan lebih pada pengertian adanya ganguan keharmonisan dalam keluarga.
128
Al-Quran menawarkan berbagai solusi untuk persoalan nusyuz: Pertama, solusi verbal, (fa`idhuhunna) baik antara suami istri itu sendiri, seperti dalam Q.S. al- Nisa’ [4] : 34, atau melalui bantuan arbiters atau hakam (seorang penengah) seperti dalam Q.S. al-Nisa’ [4]: 128. Kedua, boleh dipisahkan (pisah ranjang). Langkah terakhir yakni memukul (fadribuhunna atau scourge).
Solusi pertama merupakan solusi yang terbaik yang ditawarkan dan disukai oleh al-Qur’an. Ini sejalan dengan salah satu prinsip dasar al-Qur’an yaitu musyawarah (syura). Dengan ungkapan lain, tidak perlu dilakukan tindakan kekerasan (violence) tertentu untuk menghadapi percekcokan antara suami-istri. Dalam pandangan penulis, kepatuhan yang tulus sesungguhnya tidak dapat dicapai dengan kekerasan, melainkan antara lain dengan sikap pengertian, mawaddah (kasih sayang), dan lutf (kelembutan).
Kedua: jika langkah-langkah kompromi mengikuti cara yang diajarkan Al- Qur’an, belum dapat menyelesaikan masalah maka sangat mungkin harmonisasi itu akan dapat kembali, sebelum langkah terakhir dilakukan. Jika tahap ketiga terpaksa harus dilakukan, maka hakikat memukul istri tidak boleh menyebabkan terjadinya kekerasan, atau perkelahian antara keduanya, karena tindakan tersebut sama sekali tidak Islami.
Amina Wadud berpendapat mengenai penafsiran kata dharaba yaitu bahwa kata tersebut mempunyai banyak makna. Dharaba tidak harus berarti merujuk pada penggunaan paksaan atau kekerasan. Kata dharaba juga digunakan untuk pengertian meninggalkan atau menghentikan suatu perjalanan. Bahkan lebih dari itu, penulis sendiri mencatat kata dharaba ada yang bermakna berpalinglah dan pergi. Demikian pula, kata dharaba ada yang berarti at-Tasharruf bi malihi (mencegahnya untuk tidak memberikan hartanya kepadanya). Jika demikian, masih ada banyak kemungkinan penafsiran kata fadhribuhunna dalam Q.S al-Nisa’ [4]: 34. Apakah tidak lebih baik, kata fadhribuhunna ditafsirkan dengan berpalinglah dan tinggalkanlah mereka atau kita tafsirkan janganlah mereka dikasih nafkah atau biaya hidup. Tafsir semacam ini nampaknya akan lebih dapat menghindarkan kekerasan
129
dalam keluarga, ketika terjadi disharmoni atau percekcokan antar suami istri. Ketika sahabat mencoba mempraktikkan memukul istrinya yang nusyuz, lalu melapor kepada Nabi saw, beliau lalu bersabda “ pria teladan tidak akan pernah memukul istri-istri mereka”. Disamping itu juga ada hadis Nabi yang melarang memukul istri .
d) Perceraian
Perceraian merupakan pilihan hukum antara pasangan yang telah menikah, setelah mereka tidak bisa menyatukan perbedaan yang timbul antara keduanya. Tetapi keadaan yang telah dibahas tadi, yang mengizinkan pria memiliki darajah (kelebihan) atas wanita, telah dianggap sebagai indikasi adanya ketaksejajaran dalam al-Qur`an- yaitu pria memiliki hak talak. Tidak seperti wanita, kaum pria bisa saja berkata ‘saya ceraikan kamu ‘untuk memulai tata cara perceraian.Al-Qur`an memang tidak menyebutkan adanya wanita-wanita yang meminta talak dari suaminya, sehingga kenyataan ini digunakan untuk mengambil kesimpulan bahwa wanita tidak memiliki hak talak. Kesimpulan terakhir sangat bertolak belakang dengan adat istiadat zaman pra-Islam dimana wanita dapat dengan mudahnya memalingkan wajahnya untuk menunjukkan penolakannya atas hubungan perkawinan dengan seorang pria. Tidak ada satu petunjukpun dalam al-Qur`an yang mengisyaratkan bahwa seluruh kewenangan talak ini harus direnggut dari kaum wanita. Yang lebih penting lagi menurutnya, hendaknya persoalan rujuk atau cerai dilakukan dengan cara ma’ruf dan menguntungkan kedua belah pihak.
e) Poligami
Dalam hal ini Amina Wadud membahas QS 4:3 berikut:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
130
Ayat ini tentang perlakuan terhadap anak yatim. Sebagian wali laki-laki yang bertanggung jawab, untuk mengelola kekayaan anak-anak yatim perempuan tidak bisa diharapkan untuk mengelola dengan adil harta tersebut. Solusinya adalah dengan menikahi anak yatim tersebut.
Menurut Amina Wadud ada 3 pembenaran umum terhadap poligami yang tidak ada persetujuan langsung dalam Al-Qur’an, yaitu:
1) Finansial. Dalam konteks masalah ekonomi seperti pengangguran, seorang laki-laki yang mampu secara finansial hendaknya mengurus lebih dari satu istri. Lagi-lagi, pola pikir ini mengasumsikan bahwa semua wanita adalah beban finansial, pelaku reproduksi, tapi bukan produsen. 2) Dasar pemikiran lain untuk berpoligami difokuskan pada wanita yang tidak dapat mempunyai anak.
3) Jika kebutuhan seksual seorang laki-laki tidak dapat terpuaskan oleh seorang istri, dia harus mempunyai dua. Alasan ini jelas tidak Qur’ani karena berusaha menyetujui nafsu laki-laki yang tidak terkendali.
f) Pembagian Warisan dan Persaksian bagi Perempuan
Teori kesetaraan laki-laki dan perempuan dilawan dengan pendapat, yaitu bahwa laki-laki dan perempuan sesungguhnya memang tidak setara. Terbukti pembagian harta warisan antara laki-laki dan perempuan tidak sama, bahkan 2:1. Ketentuan ini dianggap sebagai hal yang qothi, karena dhahir ayat memang menyatakan semacam ini, sebagaimana yang tertuang dalam Q.S.An-Nisa’:11.Tentang pembagian harta warisan, Amina Wadud mengkritik penafsiran lama yang menganggap bahwa 2:1 (laki-laki dan perempuan) merupakan satu-satunya rumusan matematis.
Menurutnya teori tersebut tidak benar, sebab ketika diteliti ayat-ayat tentang waris satu persatu, ternyata rumusan 2:1 hanya merupakan salah satu ragam dari model pembagian harta waris laki-laki dan perempuan. Pada kenyataannya, jika hanya ada satu anak perempuan, maka bagiannya separuh dari keseluruhan harta
131
warisan. Berbicara tentang persaksian dalam muamalah, al-Qur’an menyebutkan dalam (QS al-Baqarah [2]: 282.). Ayat tersebut mesti harus dipahami dalam konteks apa ia turun, bagaimana situasi sosio historis yang melingkupi ketika ayat itu turun. Para ulama klasik umumnya memang cenderung memahami secara tekstual, dan kurang berani melakukan terobosan baru untuk menafsirkan secara lebih kontekstual.
Dalam hal ini Fazlur Rahman, nampaknya salah seorang yang berani mengartikan berbeda dengan mengatakan bahwa:Kesaksian perempuan dianggap kurang bernilai dibanding laki-laki, tergantung dari daya ingat yang dimiliki perempuan tersebut. Jika perempuan tersebut memiliki pengetahuan tentang masalah transaksi keuangan, maka ia juga membuktikan kepada masyarakat, bahwa ia mampu sejajar dengan laki-laki. Pemahaman ayat tersebut sesungguhnya sangat sosiologis, karena pada waktu itu, perempuan mudah dipaksa. Jika saksi yang dihadirkan hanya seorang perempuan, maka ia bisa dipaksa agar memberi kesaksian palsu. Berbeda jika ada dua perempuan, mereka bisa saling mendukung, saling mengingatkan satu sama lain tidak hanya menyebabkan si individu perempuan menjadi berharga, tetapi juga dapat membentuk benteng kesatuan guna menghadapi saksi yang lain.
Jadi, dengan kata lain adanya persaksian dua perempuan yang seakan disetarakan dengan satu laki-laki lebih disebabkan oleh adanya hambatan sosial pada waktu turunnya ayat, yaitu tidak adanya pengalaman bagi perempuan untuk masalah transaksi pada muamalah. Di samping itu, seringkali terjadi pemaksaan terhadap perempuan, saat yang bersamaan sesungguhnya Al-Quran tetap memandang perempuan sebagai saksi yang potensial.Implikasi teoritis dari pemikiran tersebut adalah bahwa ketika kondisi zaman sudah berubah, di mana perempuan telah mendapatkan kesempatan pengalaman yang cukup dalam persoalan transaksi atau muamalah, apalagi hal itu memang sudah menjadi profesinya, maka perempuan dapat menjadi saksi secara sebanding dengan laki-laki. Jadi, persoalannya bukan pada jenis kelaminnya apakah laki-laki atau perempuan, melainkan pada kredibilitas dan kapabilitas ketika diserahi untuk menjadi saksi .
132
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Amina Wadud memiliki nama panjang Amina Wadud Muhsin. Ia seorang perempuan keturunan Afrika dan Muallaf Amerika tepatnya pada tahun 1972 .Ia adalah seorang tokoh feminis di abad 21, yang telah memberikan sumbangan pemikirannya yang kontroversial,yang berupaya menafsirkan ulang berbagai ayat Al- Qur’an yang selama ini cenderung ditafsirkan secara patriarkhis oleh para mufassir klasik. Dengan membangun sebuah metodologi yang terpaut pada sebuah model hermeneutika, yaitu metode tafsir tauhid yang dikemasnya dalam tiga aspek penting, yaitu :
1. Dalam konteks apa teks itu ditulis atau kaitannya dengan Al-Qur'an adalah dalam konteks apa ayat tersebut diturunkan.
2. Sebagaimana komposisi tata bahasa teks (ayat) tersebut, bagaimana pengungkapannya, apa yang dikatakannya.
3. Bagaimana keseluruhan teks (ayat), weltanschauung atau pandangan hidupnya.
Dan dalam buku ini beliau mencoba mengusung metode Reinterpretasi dan Double Movement dengan pendekatan Heurmenetik, Philology, Sosial, Moral, Ekonomi dan Politik Modern. Dari hasil risetnya yang sudah dibukukan ini menuai beberapa pemikirannya mengenai kesetaraan gender, diantaranya:
1) Penciptaan manusia menurut Al- Qur’an dan kesetaraan laki- laki dan perempuan.
2) Pandangan Al- Qur’an tentang wanita di dunia.
3) Balasan yang adil: akhirat menurut Al- Qur’an.
4) Hak dan peran perempuan : beberapa kontroversi.
133
DAFTAR PUSTAKA
Al- Qur’an
Abdullah,Muhammad Amin, 1995, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme,Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Ilyas, Yunahar, 1998, Feminisme Dalam Kajian Tafsir Al- Qur’an Klasik dan Temporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mahmud, Adnan, dkk, 2005, Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mutrofin, Kesetaraan Gender Dalam Pandangan Amina Wadud dan Riffat Hassan, vol. 3
Fikri Noor Al Mubarok, http://yudhistirasenangberkarya.blogspot.com/2013/07/biografi-amina-wadud.html
http://ms.wikipedia.org/wiki/Amina_Wadud
https://www.academia.edu/7146564/30_BAB_III_PENDAPAT_AMINA_WADUD_TENTANG_WANITA_SEBAGAI_IMAM_SHALAT
134
THE TAO OF ISLAM RELASI GENDER
Sachiko Murata
Oleh: Didin Chonyta
NIM: 14750010
A. Biografi Sachiko Murata
1. Profile Sachiko Murata
Sachiko Murata adalah Profesor studi-studi agama pada departemen of Comparative Studies di State University of New York at Stony Brook, Amerika Serikat. Mendapat gelar Ph.d di Bidang Hukum Islam dari Fakultas Teologi Universitas Teheran, Iran.67
Sachiko Murata dilahirkan di Jepang, sekitar tahun 1940-an. Suaminya bernama Wiliam chittick. Perkenalannya dengan Islam dimulai semasa menjadi mahasiswi yang tengah mempelajari hukum keluarga di Universitas Chiba di pinggiran kota Tokyo.68 Rasa keingintahuan Sachiko Murata tergugah ketika mengetahui bahwa dalam hukum keluarga, Islam membolehkan seorang pria mempunyai empat istri, atau yang disebut dengan poligami.
Sachiko Murata tercatat sebagai seorang wanita non muslim pertama yang mendaftar masuk Fakultas Teologi dalam Program Yurisprudensi (fiqh), dan
67http://www.stonrybrook.edu/asianandam/murata_sachikohtml# akses internet Friday, 19 desember 2014, Informasi biografi Sachiko murata dapat diakses melalui www.sunysb.edu/complit/new/murata.html.,www.adsense-success guide.com/sachiko_murata.
68http://diandra.blogs.friendster.com/my_blog/2006/02/index.html akses internet jum’at tanggal 19 desember 2014.
135
berkesempatan secara langsung mempelajari hukum Islam dari beberapa otoritas terkemuka dibidangnya, diantaranya: Sayyid Hassan Iftikharzada Sabziwari, seorang ulama terdidik dalam bidang metodologi tradisional yang membantunya mengkaji beberapa teks tersulit dari Fiqh dan prinsip-prinsip Yurisprudensi (Ushul Fiqh). Profesor Abu al-Qasim Gurji’ serta Profesor Tashishiko Izutsu, pembimbingnya, sehingga Sachiko Murata berhasil menerjemahkan teks klasik abad ke-10 H / 16 M, tentang prinsip-prinsip Yuriprudensi, Mu’allim al-Ushul ke dalam bahasa Jepang.
2. Riwayat pendidikan Sachiko Murata
Setelah menyelesaikan studinya dan bekerja setahun di sebuah badan hukum di Tokyo, rasa keingintahuannya semakin mengebu terutama ketika seorang sahabatnya dari Iran menawarkan mengusahakan beasiswanya untuk mempelajari hukum Islam di Universitas Teheran, Iran. Segera Sachiko Murata tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. tahun 1967 Sachiko Murata berangkat ke Iran untuk belajar di Universitas Teheran. Sebelum mempelajari lebih jauh tentang hukum Islam, dia memutuskan untuk memperdalam bahasa Persia selama tiga tahun. Tahun 1971,dia berhasil menyelesaikan disertasi PhD dalam bidang sastra Persia tentang peranan kaum wanita dalam Hayft Paykar, dengan mengkaji sebuah karya puisi yang ditulis oleh Nizhami.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama, Sachiko Murata menyadari bahwa berbagai pra konsepsi dia tentang kedudukan wanita dalam Islam yang dipelajari orang-orang Jepang dari sumber-sumber Barat, sama sekali tidak berkaitan dengan realitas masyarakat Iran saat itu sebelum revolusi Iran terjadi. sebagai seorang wanita pertama dalam program tersebut, dia selalu diperlakukan dengan penuh sopan dan hormat oleh dosen dan para mahasiswa. Ada kesan mendalam selama dia mengambil studi di Teheran seperti yang diutarakannya:
“Selama bertahun-tahun bergaul dan bekerjasama dengan para sarjana seperti Gurji, Iftikharzada dan lainnya, saya tidak pernah merasakan diperlakukan secara khusus hanya karena saya seorang wanita. Mereka memperdebatkan berbagai macam persoalan dengan saya sebagaimana
136
yang mereka lakukan dengan rekan-rekan mereka sendiri. Kadang-kadang mereka berusaha meyakinkan saya bahwa merekalah yang benar, dan sesekali saya juga menyakinkan mereka bahwa sayalah yang benar. seringkali kami ngotot dan bersikukuh dengan pendapat kami masing-masing, dengan tetap menghormati satu sama lain. Pada tingkat ilmu, gender bukan masalah. Hanya saja, manakala seorang pria mengunjungi seseorang bersama istrinya, ada aturan-aturan tertentu yang perlu diperhatikan”69
Di Iran Sachiko Murata mulai mempelajari tradisi sufisme yang disebutnya sebagai tradisi kearifan (hikmah) secara serius dan sungguh-sungguh, tentang beberapa kajian yuridis. Selama beberapa tahun beliau mengikuti beberapa kuliah professor Izutzu tentang Fushus al-Hikam karya Ibn al-‘Arabi dan kuliah yang disampaikan oleh Sayyed Hosein Nasr mengenai karya besar klasik Persia yang menganut mazhab ibn al-‘Arabi, Syarhi Ghulsyani-I raz.
Salah satu kajian yang menjadi kenangan berkesan selama tahun-tahun studinya adalah ketika dia menelaah dan mengkaji ajaran cemerlang Jalal al-Din Huma’i, yang kehadirannya cukup meyakinkan Sachiko Murata bahwa Islam memiliki tardisi spiritual yang dalam dan hidup. Tahun 1975, Sachiko Murata menyelesaikan tesis M.A-nya di Fakultas Teologi dengan topik pernikahan sementara (nikah mut’ah).
Semenjak perjumpaannya dengan berbagai manifestasi peradaban Islam klasik, baik dalam bidang seni, arsitektur, puisi, ajaran-ajaran hukum, adat-kebiasaan dan pandangan dunia menyeluruh. Sachiko Murata merasa bahwa semua itu mempunyai kedekatan yang erat dengan latar belakang ketimurannya. Pada tahun 1977, wlaupun studinya di Teheran sempat terputus karena revolusi social yang terjadi di Iran, dia memutuskan untuk menulis disertasi Ph.D yang membandingkan ajaran-ajaran Islam dan Kong Hu Cu tentang keluarga, tapi revolusi Iran menyebabkan riset tersebut berhenti.
69 Sachiko Murata, The Tao of Islam: A. Source book on Gender Relationship in Islamic Thought, (New York : State University of New York, 1992), hlm. 12-16.
137
Selama masa tersebut, bersama professor Izutsu, dia mempelajari I Ching, yakni tentang ajaran-ajaran dasar filsafat Cina, dan ini membuatnya semakin akrab dengan kedalaman filosofis eksplisit dalam pemikiran Cina. Tahun 1983, Sachiko Murata bergabung dengan Fakultas Agama di stony Brook dan diminta untuk mengajar mata kuliah “spiritualitas feminine dalam agama-agama Dunia’. Tugas terberat yang harus dihadapinya adalah mengubah pandangan kuno tentang kedudukan wanita dalam Islam yang hampir tidak pernah berubah. Prasangka bahwa wanita Timur, khususnya wanita muslim, merupakan kaum yang paling tertindas dan tertekan di muka bumi tampaknya telah berakar kuat di benak para mahasiswa dan koleganya.
Walaupun Islam mungkin mempunyai sisi-sisi menarik untuk dikemukakan, namun sama sekali bukan aspek peran wanitanya dalam masyarakat. Untuk itulah, beliau menggunakan pendekatan tak langsung, menjelaskan Islam bukan dari konteks Barat, dengan segala asumsinya mengenai seksualitas dan peran gender yang tersirat tapi melalui perspektif timur jauh. Sachiko Murta mempunyai alasan kuat, ajaran-ajaran dasar filsafat cina sudah dikenal para pembaca terdidik Barat. Popularitas I Ching serta kehadiran symbol Yin dan Yang menyebabkan tak banyak orang yang mesti diberitahu bahwa pemikiran Cina sangat menekankan prinsip harmoni dan keseimbangan antara dua peran eksistensi.
Menurut Ratna Megawangi Pengantar buku the Tao of Islam, pendekatan yang digunakan sachiko murata untuk menjelaskan relasi gender adalah memakai prespektif kosmologi Islam. Sebaliknya, kosmologi Islam secara praktis tak dikenal, karena tak banyak cendikiawan Muslim yang mencurahkan perhatian pada pandangan yang lebih dalam atau makna dibalik institusi Islam. Melalui pendekatan yang dipilihnya tersebut, menjelang akhir diskusi, ketika melihat peranan ideal yang dimainkan kaum wanita dalam masyarakat yang sesuai dengan ajaran-ajaran spiritual Islam, Prof. Murata menemukan para mahasiswanya tidak lagi sulit menghargai fakta bahwa peranan gender dalam Islam bukan tidak bertujuan sama sekali dan bukan dimotivasi oleh kepentingan-kepentingan politis.
138
B. Karya Sachiko Murata
Adapun karya karya dari Sachiko Murata yang telah dihasilkan sampai kurun waktu sekarang. Beberapa diantaranya ditulis dalam bahasa Inggris, namun tidak sedikit yang ditulis dalam bahasa ibunya, bahasa Jepang. Buku-Buku Sachiko Murata yang sudah dipublikasikan, antara lain:
1. Izdiwaji muwaqqat, Teheran Hamdani, 1978
2. Isuramu hooriran Jestsu (principle of Islamic Law, translation with introduction and commentary of ma’alim al-usiul by Shaykh hasan, Tokyo: Iwanami (Islamic Classiics, general editor T. Isutzu, 1985)
3. Temporary marriage in Islamic Law, London: Muhammadi Trust, 1987. reprinted qum: Ansariyan Publications, 1991.
4. The Tao of Islam: A Sourcebook on Gender Relationship in Islamic Thought, Albany: SUNY Press, 1992. Indonesian translation by Ratna Megawangi, Bandung, Mizan, 1995.
5. Sachiko Murata and William C. Chittick, The Vision of Islam, New York: Paragon, 1994. Pakistan edition: Lahore: Suhail Academy, 1998.
6. Chinese Gleams of Sufi Light: Wang Tai-yu’s Great Learning of The Pure and Real liu Chih’s Displaying The Concealment of The Real Realm, Albany: SUNY Press, in production (2000).
Artikel-artikel yang telah ditulisnya, antara lain:
1. Shiaha isuramu no tokushoku (“characteristic of Shi’ite Islam), Isuramu Pawa no Kenkyu, vol. 2, Tokyo: Chutoo Choosakai, 1982.
2. Akund Korasani: His importance in Osul, Encylopedia Iranica, London: Routdge and Kegan Paul, Vol. 1, 1984.
3. Angels on Islmic spirituality: Foundation (vol. 19 of world Spirituality” A Encyclopedia History of the Religions Quest), New York: Crossroad, 1987.
4. Masculline / feminine Complementaryin Islamic spiritual Psychology, Islamic Quartely 33, 1989, pp. 165-187.
5. The Tao of Islamic, Sufi 5, 1990, pp. 17-21.
139
6. Myteries of Marriage: Notes on Sufi Text, the Legacy of Mrdieval Persian Sufism, edited by Leornard.
7. Kawaranu Hito, (The unchanging Personality).
8. Isuramu to Josei (Islam and women).
9. Witnessing the Rose: Ya’qub Sarfi on the vision of God in Women.
10. Ta’lim-l Islam dar Maghribzamin (Teaching Islam in the West).
C. Pemikiran Sachiko Murata Dalam buku The Tao Islam.
1. Argumen kesetaraan Gender Sachiko murata
Konsep gender dalam Islam berakar pada paradigma bahwa secara teologis, perempuan dan laki-laki diciptakan dari asal yang sama, karenanya keduanya memiliki kualitas kemanusiaan yang sederajat. Namun demikian, dalam konstalasi pemikiran Islam, ada tiga pandangan yang berkembang, pandangan konservatif yang bernuansa patriarkhis, pandangan moderat yang berbasis pada paradigma keseimbangan dan keadilan dan pandangan liberal yang mencoba mendekonstruksi konsep religiusitas yang dipandang merugikan pihak perempuan. Namun jika merujuk pada sejarah dan filosofi penciptaan, perempuan dengan kualitas femininitanya dan laki-laki dengan maskulinitasnya memang harus diakui memiliki kekhasan masing-masing. Justru karena kekhasan tersebut, keduanya komplementer karena merupakan wujud dualitas makrokosmos yang akhirnya menciptakan keseimbangan.70
Sachiko Murata mencoba menganalisis relasi gender melalui teori kosmologi dan teologi dalam Islam (mirip dengan kosmologi cina yakni yin yang) dengan mengedepankan konsep tajaliyat Ibn ‘Araby, yang mirip dengan teori emansipasi plotenus yakni: mengungkpkan makna kesatuan, makna dualitas yang berasal dari dualitas menjadi kesatuan kembali. Agar pemahaman lebih mudah difahami, kita dapat mengklasifikasikanya dalam poin-poin tersebut:
70 Nursyam, Konsep Kesetaraan Gender Dalam Pemikiran Islam (Sebuah Pendekatan Autokritik) , Jurnal Musawa, Vol. 4, No. 2, (Desember 2012), Hlm. 2. Lihat Sachiko Murata, The Tao of Islam, Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, (Mizan: Bandung, 2004), hlm. 32.
140
a. Argumen Kosmologi
Konsep dasar dalam pendekatan kosmos71 atau alam yang diejawantahkan Prof Murata, adalah dengan memunculkan statement bahwa “semua yang diciptakan Tuhan di alam semesta ini selalu berpasang-pasangan” seperti yang disebutkan dalam surat Adz-Dzariyat ayat 49:
Dalam ayat inilah prof. Murata mengaplikasikan pemikiranya pada penciptaan alam yang berpasang-pasangan, seperti diciptakanya langit dan bumi, pria dan wanita, ada siang dan malam, ada baik dan buruk dan yang lainya. Namun ada kosmos atau alam tak satupun dapat dikatakan sempurna tanpa yang lainya. Dan setiap yang diciptakan oleh tuhan memiliki kekurangan dan kelebihan. Atas dasar inilah muncul relasi untuk saling melengkapi dan saling membutuhkan satu dengan yang lainya. Misalnya langit dengan bumi, jika langit mengeluarkan Air untuk menurunkan hujan maka ia membutuhkan bumi yang menjadi tempat Air yang akan turun, lalu bumi menggelembung mengeluarkan tumbuh tumbuhan. Relasi yang saling melengkapi ini memunculkan kesejajaran tanpa ada ketimpangan yang menunjukan superior ataupun inferior di antara keduanya. Konsep inilah yang digunakan Prof. murata untuk menjelaskan gender.
Namun ia terpengaruh oleh pemikiran cina ajaran taoisme (Kosmologi Alam) dalam rangka yin dan yang yang memang menjadi latar belakang culturenya, yakni Asia Timur. Dalam kosmologi cina menjelaskan alam semesta dalam batasan batasan kerangka “yin” dan “yang” yang bisa difahami sebagai prinsip ekssetensi yang bersifat aktif dan resentatif antara pria dan wanita merangkul satu sama lain dalam keselarasan dan keterpaduan. “yin” dan “yang” sebagai gerakan perubahan karena
71 Kosmos (istilah makrokosmos sinonim dengan dunia atau kosmos) adalah sebuah pola hubungan yang senantiasa bergeser dan berubah di antara tanda tanda Allah, yang merupakan tempat bagi nama nama-NYA. Alam semesta diciptakan dan dipelihara melalui aktifitas sifat ilahi yang bertentangan, yang memperlihatkan aktifitas prinsip tunggal.
141
ituseluruh alam semesta berubah setiap saat. Yin menginterpretasikan sebagai sesuatu yang lembut, pasif dan interior, berwarna gelap, bertemperatur dingin bergerak kebawah, dimana unsur yin adalah air. Yin bisa disebutkan sebagai jamal, lutf, dan rahmah. Sedangkan yang diinterpretasikan sebagai sesutu yang bersifat kuasa, ia berwarna putih, tinggi dan meluas, yang mengacu pada unsur Api dan panas, bisa disebutkan sebagai jamal, Qahr dan Ghadab.72
Taoisme sering memperlakukan yin lebih baik dari pada yang, namun pada akhirnya semua terinterpretasi melalui lingkaran kehidupan. Dalam bagian yin ada beberapa kadar yang dan sebaliknya. Alam pemikiran cina mengakui mengakui peran suci dan kewahyuan dunia ini merupakan lokus dimana sifat Tao menunjukan realitasnya. Tao berbicara tentang harmoni antara langit dan bumi dan keseimbangangan sempurna di antara seluruh kekuatan yang menggerakan dunia supranatural dan lazimnya.
b. Argumen teologi
Alam menurut bahasa Arab adalah al-‘alam dan tanda adalah ‘alamah. Al-‘alam dan ‘alamah keduanya berasal dari akar kata yang sama. Manakala ‘ilm pula, berasal dari akar kata yang bermakna ilmu pengetahuan. Alam semesta, iaitu cermin dan tanda tuhan, tidak ada tanpa tajalli_NYA. Terdapat 288 ayat al-Qur’an yang menghimbau eksistensi kewujudan Allah secara metafora termasuk berupa seorang Nabi, risalah Nabi dan pelbagai hal yang ada di alam semesta.73
Dalam tradisi intelektual, berbicara tentang kosmos sama artinya berbicara tentang Tuhan. Belajar pemikiran tuhan didasari dari sifat sifat ilahi yang diwahyukan kepada Al-Qur’an. Keterbandingan sifat sifat Allah yang terdapat dalam asma’ul husna mencakup dalam “yin” dan “yang” .
72 Pembahasan mengenai yin dan yang lebih lanjut dapat dilihat dalam buku, Sachiko murata, kearifan Sufi dari Cina, Terj. Susilo Adi, cet.I (Yogyakarta; Kreasi wacana, 2003).
73 Mohd. Syukri Yeoh Abdullah, kosmologi dalam Welstanschaung Ulama sufi Melayu (Cosmology in Malay Sufi Scholar Welstanschauung), Jurnal Akademika, 67 (Januari: 2006: 5-23). H.8, Mohd Syukri mengambil Konsep kosmologi Prof murata yang ia tuangkan dalam jurnal.
142
Dalam teori ini dikemukakan bahwa pada mulanya “Tao” atau tuhan (zat esa yang menunjukan makna kesatuan. “Tao” menciptakan kosmos ini dengan dua kualitas atau dualitas yaitu “kualitas feminim” yang disebut (yin) dan “kualitas maskulin” yang disebut “yang” tuhan memiliki sifat maskulin dan feminim yang dipancarkan pada setiap manusia, baik laki laki maupun perempuan yang dimanefestasikan dalam 99 asma’ul husna. Pemetaan maskulin feminim pada perbedaan gender identity jika dihubungkan dengan Tuhan sebagai sumber keberadaan manusia dan alam, maka setiap manusia memiliki sifat feminim dan maskulin. Artinya laki laki memiliki sifat maskulin dan perempuan memiliki sifat feminim. Sebagaimana siang dan malam, gelap dan terang, dan seterusnya (makna dualitas).
Tetapi setelah kita memahami bahwa laki laki adalah manefestasi dari yang dan perempuan adalah manefestasi dari yin maka seolah-olah laki-laki memiliki derajat lebih tinggi atas perempuan (terbentuk antara konstruk budaya yang menjadikan laki laki lebih maskulin dan perempuan lebih feminim). Padahal kualitas kedua duanya secara potensial adalah sama sama terbentuk dari ciptaan sifat maskulin dan feminim tuhan. Oleh karena itu, harus memunculkan reaksi yang harmonis tanpa harus mendiskriminasi salah satu dari keduanya. Dengan tetap memuliakan keharmonisan antara keduanya, maka relasi derajat yang sama tersebut berdasarkan kualitas manusia. Sama dihadapan tuhan, yang membedakan hanyalah ketaqwaan dan pengakuan keesaanya.
Prof. murata menjelaskan dari esensi dari realitas tuhan. Tuhan adalah zat yang maha esa, tuhan adalah realitas tunggal. Sesuatu selain zat adalah ciptaanya yang disebut kosmos atau alam. Dalam term Islam kosmos dimaknai sebagai “segala sesuatu selain Allah” (maa siwa Allah). Pengertian yang lain menyatakan, tuhan secara tak terbatas jauh berada diluar kosmos. Di sini istilah teologisnya adalah tanzih yang bermakna “menyatakan Allah sebagai sesuatu yang tak bisa dibandingkan”. Dari sudut pandang ini Allah benar benar tak bisa di jangkau oleh makhluknya. Al Qur’an menyatakan bahwa :
143
Untuk membuktikan bahwa Allah itu ada maka tuhan menciptakan kosmos sebagai bukti atau tanda keberadaanya dan manusia sebagai subyek yang mengakui keberadaanya. Maka dari sinilah sachiko murata memberikan analogi yang dikenal tiga realitas yakni : Allah, Kosmos atau makrokosmos, Manusia atau mikrokosmos. Menggambarkan ketiganya sebagai tiga sudut dari segitiga, yang secara khusus memiliki keterkaitan. Allah yang berada dipuncak merupakan sumber yang menciptakan kedua sudut yang dibawah, karena baik makrokosmos dan mikrokosmos adalah realitas deriatif.74
Di atas, sumbu vertikal menggambarkan dibentuk oleh perbedaan antara esensi ilahi dan sifat sifat ilahi, sementara sumbu horizontal mencerminkan antara nama ilahi yang komplementer, seperti nama yang maha memuliakan dan maha menghinakan. Atau maha menghidupkan dan maha mematikan. Anggapan bahwa alam sebaga makrokosmos sedangkan manusia sebagai mikrokosmos, keduanya
74 Murata, The Tao of Islam, Hlm. 23. Lihat dalam penjelasan Cristhoper P. Atwood, customer reviews The Tao of Islam A Sourcebook on Gender Relationship in Islamic Thought. www.amazon.com. Akses tanggal 28 Desember 2014.
Mikrokosmos
ألله
Makrokosmos
144
berasal dari tuhan. Dan ini berimplikasi pada kesimpulan bahwa ada jejak tuhan di dalam diri manusia dan di dalam diri alam.
Argumen teologis sachiko murata lebih mudah dimengerti dengan menjelaskan bahwa: semula zat yang ada (realitas tuhan sebagai sang khalik) adalah satu. Sang khalik kemudian menciptakan kosmos beserta seluruh esensi yang melengkapi secara berpasang pasangan. Makhluk ciptaan tuhan memiliki tugas dan kewenangan yang berbeda yang terbentuk dalam satu tatanan kosmos. Manusia, bumi, langit, galaksi dan lainya saling melengkapi menjadi satu tatanan kosmos yang tidak dapat dipisahkan. Apalagi jika satu dari bagian tersebut timpang atau tidak melakukan pekerjaanya dengan baik, maka akan terjadi kerusakan dalam tatanan kosmos. Selama makhuk itu mempunyai etentitas yang sama dalam kosmos semua makhluk mempunyai kesetaraan dan kesejajaran yang sama dihadapan tuhan.
Dari uraian di atas kita dapat ambil benang merah yang menunjukan bahwa sachiko menguraikan pendekatan kosmologi dan teologi tersebut secara sistematis dengan menjelaskan makna kesatuan dan makna dualitas yang berasal dari kesatuan. Dengan menggunakan nama asma’ul husna. Allah membagi nama-nama keagungan yang disebut sebagai kualitas maskulin. Dan nama-nama keindahan atau yang disebut sebagai kualitas feminim. Dari kualitas korespondensi tersebut muncul pluralitas, keterpisahan yang dijelaskan dalam proses penciptaan jagad raya sebagai makrokosmos dan mikrokosmos. Kemudian dualitas akan menjadi kesatuan kembali, ketika ia mengurai makna dan tujuan dualitas yang ditampakan melalui adanya lawan kebalikan dari sesuatu. (misalnya: ada langit-bumi, atas-bawah, gelap-terang, tuhan-hamba, feminim-maskulin) dengan mengembalikan makna dualitas kepada tuhan yang satu atau tauhid.75
Pendekatan semacam ini, memiliki persamaan dengan kosmologi cina yang melukiskan alam semesta dan kerangka yin dan yang, yang bisa difahami sebagai prinsip eksistensi yang bersifat aktif dan reseptif atau pria dan wanita. Yin yang
75 Ratna megawangi, dalam sekapur sirih the tao of Islam..hlm. 9
145
merangkul satu sama lain dalam keselarasan, persatuan antara keduanya akan menciptakan banyak hal. Simbol terkenal Tai Chi, atau Tao, melukiskan yin dan yang sebagai perubahan yang konstan. Dalam fenomena tertentu, hubungan yin dan yang terus berubah. Karena itu, seluruh alam bisa berubah setiap saat. Yin dan yang adalah prinsip perubahan dan simbol bagi kehidupan di alam semesta. Eksistensi berarti perubahan harmonis dengan berpijak pada tao. Jika harmoni antara yin dan yang hilang, maka alam semesta akan berhenti mengalir dan tidak ada sesuatu yang berubah.
2. Pemikiran Sachiko murata tentang TAO
Dalam masyarakat Cina ada tiga nama besar yakni Konfusius, Tao, dan Budhisme sebagai agama monisme, sebelum mengenal ajaran marx dengan ideology sosialis dn atheisnya.76 Secara historis Agama Konfusius dikenal di Cina abad XVI SM pada masa pemerintahan Dinasti Tjaw (1625 – 225 SM) yang menggantikan dinasti Shang.
Sejarah Tao lahir sekitar abad VI SM, ketika dinasti Tjaw sedang berkuasa abad itu dikenal dengan abad kekacauan (Can Kuo), yakni adanya perang saudara.77 Sehingga agama Konfusius ada sebelum Tao ada di Cina. Abad VI SM, ketika itu merupakan abad proses perubahan fundamental, perubahan tradisi dari dinasti Shang ke dinasti Thaw dengan memberikan otonomi pada daerah-daerah di bawah kekuasaan dinasti Tjaw. Tumbuhlah penguasa ekonomi sekaligus menjadi penguasa daerah. Masyarakat Cina yang mayoritas petani, terjadi perebutan kekuasaan tanah antara kayum feodal dan rakyat jelata, termasuk penguasa otonomi daerah.
Semua berasal dan akan kembali pada Tao, The Reseval of Tao atau gerak balik Tao. Yang Chu menyebutkan sebagi aliran transformasi dan peradaban konstan.78 Arti sesungguhnya Tao adalah way, jalan, letuh (path) yang di dalam al-Quran bisa kita dapati kata sebanding: sabil, thariq, sirath, wasilah, (QS. al- Maidah:
76 Bleker, Pertemuan Agama Dunia, terj. Bahrus Siregar, (Bandung: Sumur Bandung, 1985), hlm. 35-70.
77 Nic Joo Lan, Peradaban Tiong Hoa selayang Pandang Kenpo,( Jakarta: tp, 1973), hlm. 45.
78 Lasiyo, Taoisme, (Yogjakarta: Proyek PPPT UGM, 1982/1983), hlm. 3-4.
146
57, al-Isra’: 57, al-Mulk: 15, al-Ahqat: 30, al-Jasi’at: 18, dll). Tao merupakan filsafat kehidupan yang nilai-nilainya kemudian dilembagakan dalam agama Budha dan disederhanakan dlam pemenuhan program spiritual.
Ajaran yang berisi “Yang” setelah mencapai klimaksnya mundur demi “Yin”, lalu “Yin” setelah mencapai klimaksnya mundur demi “Yang”. yang puncaknya nirvana, yang dihubungkan dengan mistisisme.79 Di lain pihak unsure transendal itu memang ada karena adanya unsure immanensi. Sehingga keduanyya haruslah dipahami sebagai polaritas dari yang tunggal. Taoisme sendiri tersusun dari tiga pokok yang menjadi inti ajarannya: yakni Tao (jalan suci, suatu petunjuk bagi manusia dalam mencapai kebahagiaan), Te (kebajikan, sebagai buah yang didapatkan apabila seseorang menjalankan Tao), dan Wu Wei (tidak campur tangan, hukum yang kekal, bersikap wajar).
Keterkaitan dari ketiganya adalah Tao sebagai asal mula dan kembali segala sesuatu, mengingatkan manusia agar selalu berhati-hati dan mengarahkan diri kepada Te (kebajikan) dengan menerapkan ajaran Wu Wei, sehingga manusia dapat hidup dengan bahagia dan sejahtera.
Kata Tao secara harfiah berarti “jalan atau jalan setapak” yang mengandung tiga makna: pertama, tao adalah jalan dari kenyataan terakhir, sifatnya transenden, maha besar, dan dipahami dengan kesadaran mistik. Kedua, jalan alam semesta, sebagai kaidah, irama, dan kekuatan pendorong dalam keseluruhan asas penata dibalik semua yang ada. Ketiga, jalan sebagaimana seharusnya manusia menata kehidupannya agar selaras dengan tata kerja alam. Tao bukan satu ajaran tetapi juga dimaksudkan sebagai tenaga kosmik yang menjadi sumber kehidupan di mana manusia menyesuaikan diri. Tao identik dengan thariqah jalan spiritual dalam dunia sufisme,80 di lain pihak Konfusius diidentikkan dengan Syariah.81 Tapi sebenaranya
79 Ajaran yang berisi “Yang” setelah mencapai klimaksnya mundur demi “Yin”, lalu “Yin” setelah mencapai klimaksnya mundur demi “Yang” . Frijjof Capra, Titik balik Peradaban: Sains, Masyarakat, dan Kebangkitan Kebudayaan, Terj. M. Thayyibi, ( Yogjakarta: bentang Budaya, 1997), hlm. 25.
80 M. Challab, Falsafah Timur, terj,. Adnan Lubis Syaiful, (Medan: Medan Press, 1950), hlm. 125.
147
Tao merupakan ungkapan untuk the way of the Universe work”,82 sebuah kesadaran kosmik yang sekarang dicari oleh New Age. Oleh karena itu para Taoist adalah orang orang yang hidupnya menyesuaikan dengan jalan, menyesuaikan diri dengan alam Taoisme memberikan kepada kita Phlosophy of Duty. Yang ini sulit dipahami dengan cara berpikir Barat. Dalam sastra Cina Kuno, Tao Te Ching, menjabarkan arti tao sebagai berikut;
“tao can be talked abaut not the eternal tao, name can be named, but not the eternal Name. As the origin of heaven and earth it is nameless: as“the mather” of all thing it is nameable. Ini bias dipahami lewat: “we make doors and windows for a room: but it is these empaty space that make the roomliveable. Look at it: but you cannot see it /Its name is formless.Listen to it, but you cannot here / It name is soundless. Grasp at it, but you cannot get it / its name is corporeal.
Kata Tao Te Ching Ini mengispirasikan bahwa bentuk yang paling mirip dengan Tao adalah air dalam dunia alamiah: ia merupakan bentuk pertama dari Wu Wei.83 Ciri lain dari Taoisme adalah konsepnya mengenai kenisbian semua nilai, dan sebagai imbalannya adalah adanya persamaan dari hal yang bertentangan, Yin Yang. Tao mengikuti asas kenisbian dalam batas yang logis, bahwa hidup dan mati ini dipandang sebagai suatu tahap relatif dari suatu keseimbangan tao yang mencakup segala-galanya dalam batasan-batasan polar, yakni berbagai hubungan yang melahirkan interpretasi holografis atas dunianya yang dicirikan oleh keseimbangan, interdependensi, keterbukaan, mutualitas, komplementaritas, dan korelatifitas yang terus menerus antara yang satu dengan yang lain secara intrinsik.
Dalam kehidupan religi Cina Tao telah melahirkan tiga aliaran Taoisme. Pertama, taoisme popular: Taoisme yang hidup di masyarakat yang diciikan penuh dengan ritus dan berbagai macam praktek magis. Kedua, taoisme Esoterik: aliran yang menjadikan taoisme sebagai tujuan pengalaman mistik sehingga mereka giat
81 Sachiko Murata, “Pengalaman Saya Mengajar Islam Di Barat”, terj. Dewi Nurjulianti dan Budhy Munawwar Rahman, dalam : Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Quran, (Jakarta: LSAF. No. 2, Vol. V, 1994), hlm. 52.
82 M. Wahyuni Nafis, Rekontruksi dan Renungan Religius Islam, (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 56.
83 Bambang Lim Tji Kay, (ed.), Tao Te Ching Kitab Suci Taoisme, (Jakarta: Sasana, 1991), hlm. 30, 78-79, dan 99.
148
menrenung (tafafakur) untuk mendapatkan pencerahan bathin. Ketiga, taoisme filosofis: dalam arti Tao adalah kekauatan yang memasuki kehidupan yang secara reflektif dan intuitif telah menyatukan dirinya dengan jalan alam. Ia lebih merupakan sudut pandang dan bukan suatu gerakan. Taoisme popular dan taoisme telah hancur, sedang Taoisme filosofis masih terus membentuk watak orang Cina ke arah ketenangan dan kesopanan hingga sekarang.
D. Pemikiran Sachiko Murata tentang Dimensi Teologi Islam dalam Relasi Gender.
Tuhan menciptakan sesuatu berpasang-pasangan untuk membedakan ke-Esaan Nya dengan kejamakan makhluk-makhlukNya. Ciptaan itu mustahil tanpa dualitas, sebab hanya Tuhanlah yang tunggal. Tanpa wanita, pria bukanlah seorang pria, sebab dia didefinisikan oleh wanita. Keberadaan kosmos membuat yang nyata menjadi Tuhan, dan keberadaan wanita mengubah pria menjadi pria. Tanpa kosmos, tidak ada Tuhan. Tanpa wanita, tidak ada pria. Maka manusia dijadikan wakil Tuhan di bumi sebab mereka diciptakan dalam bentuk Ilahi dan mewujudkan apa yang dimiliki oleh kedua tangan Tuhan dicerminkan dalam tabiat ganda dari dua ruh, sebagaimana yang diwakili oleh Ruh Terbesar (Akal Pertama) dan jiwa universal.
Melalui jaraknya dari penciptaan, ruh mencerminkan keagungan dan kekerasan. Sebaliknya, jiwa mencerminkan sifat-sifat pemelihara yaitu kelembutan dan kebaikan melalui kedekatan relatifnya dengan penciptaan, keserbaragaman, dan perbedaan. Ruh dan jiwa selanjutnya dicerminkan dalam diri pasangan manusia, Adam dan Hawa, dan dalam ruh dan jiwa setiap individu manusia. Baik pria maupun wanita mewujudkan ruh dan jiwa setiap individu manusia. Baik pria maupun wanita mewujudkan Ruh dan jiwa, namun ruh mendominasi pria sementara jiwa mendominasi wanita.
Di antara tanda kekuasaan Allah adalah penciptaan manusia (QS. 30: 20), dan penjelasan tentang penciptaan diulang dalam ayat demi ayat.84 Mengenai kisah
84 Misalnya: “Dia menciptakan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari sari pati air yang hina” (QS. 32: 7-8. QS. 36: 77, QS. 73: 37. QS. 76: 2). “Kemudian dia menyempurnakan dan menciptakan dan meniupkan ke dalam tubuhnya ruh-Nya….” (QS. 32: 9).“Allah menciptakan kita
149
penciptaan Adam, Sachiko Murata mengutip dari Najm al- Din Razi (w. 654 M/ 1256 M), pengarang salah satu karya klasik prosa besar Persi tentang sufisme, mirsâd al-‘ibâd, dia menuntutkan kembali kisah penciptaan Adam dengan benar-benar memperhatikan kualitas-kualitas yang dinisbatkan oleh tradisi kepada manusia dan makhluk lainnya. Dia menjelaskan bagaimana sifat-sifat Ilahi menjadi tampak dalam diri manusia dan melukiskan hubungan erat antara mikrokosmos dan makrokosmos.
Sebagaimana telah dibahas dalam bab III, bahwa Sachiko Murata berupaya memahami ayat al-Quran dengan mengacu pada ta’wil, yang mengambil titik awalnya pada ikatan yang jelas. Menurut Sachiko Murata, mitos Adam adalah sebuah titik referensi dalam teks-teks ini, namun aspek kesejarahannya memang tidak dikemukakan, karena yang demikian itu tidak sesuai dengan makna kisah itu, dan makna kisah itu dapat di jumpai dalam kualitas yang dinisbatkan kepada Adam dan karakter-karakter lain yang disebut dalam kisah itu.
Sachiko Murata mengemukakan hubungan timbal balik antara Tuhan dan manusia di satu pihak, dan antara pria dan wanita di pihak lain. Dalam kaitannya dengan realitas, wanita identik dengan pria, namun dalam kaitannya dengan entifikasi, masing-masing berbeda satu sama lainnya. Pada akarnya, wanita menjadi terwujud karena pria, maka dia seperti menjadi bagian darinya. Wanita menjadi terpisah dan terwujud dalam bentuk feminim.
Dengan mengutip dari Kasyâni, Sachiko Murata menjelaskan bahwa ada persesuaian dan bentuk antara pria dan wanita, sebagaimana ada persesuaian antara Tuhan dan manusia: “Bentuk adalah persesuaian yang paling besar, agung dan sempurna. Sebab ia adalah “salah satu dari pasangan” (zauj). Dengan kata lain, ia membuat zat yang nyata menjadi dua. Dengan cara yang sama, wanita membuat pria menjadi dua melalui eksistensinya. Wanita mengubahnya menjadi salah satu dari pasangannya”. Dengan kata lain, bentuk manusia membuat bentuk dari Yang Maha
semua dari satu orang dan kemudian menciptakan pasangannya” (QS. 75: 75,QS.92: 3). “Manusia diciptakan manusia dari tanah, debu bumi” (QS. 32: 7, QS. 30: 20) dan keturunannya dari air mani “Allah menciptakan manusia dari tanah dengan beragam, warna kulit dan bahasa” (QS. 30: 22).
150
Pengasih menjadi salah satu dari pasangan, sebagaimana bentuk wanita membuat bentuk pria menjadi salah satu dari pasangan. Di sini, Sachiko Murata memahami ajaran-ajaran Ibn ‘Arabi, mengenai kebutuhan Tuhan akan seorang pelayan dan kebutuhan Tuhan akan hamba Ilahi.
Sebaliknya, kaum wanita (sebagai Yin) mempunyai keunggulan dari kelemahannya yang relatif dan ketidakmampuan di bidang lahiriah. Jadi mereka tidak begitu berkecenderungan untuk membuat tuntutan-tuntutan yang tidak pada tempatnya. Mereka mempunyai keuntungan dari semacam sifat bawaannya sebagai hamba. Dengan kata lain, suami mempunyai kewajiban untuk mengumpulkan kekayaan demi isterinya, dan isteri berkewajiban untuk antara kosmos dan manusia. Ini didasarkan atas hubungan antara tiga realitas, yaitu mikrokosmos (individu manusia), makrokosmos dan metakosmos. melayaninya karena ini. Tetapi karena suami mempunyai satu tingkat lebih tinggi daripada mereka dalam keunggulan, sementara kaum wanita mendapatkan manfaat / keistimewaan (maziyyah) dari kelebihan (da’f) dan ketidakmampuan yang mendasar (‘ajz al-Basyariyyah). Sehingga menurut Sachiko Murata, dengan menyebut kelemahan wanita sebagai kelebihan,85 berarti menyinggung suatu pandangan positif dari realitas Yin. Ini adalah pandangan khas dari suatu pendekatan terhadap al-Quran dengan mencari makna batinnya.
Sachiko Murata, dengan merujuk pada Ibn ‘Arabi, menjelaskan tentang keunggulan (derajat) kaum pria di atas kaum wanita dengan mengkaitkannya pada beberapa “hubungan” yang ada, pertama, dalam hubungan yang ditimbulkan melalui penciptaan Hawa melalui Adam. Kedua, Ibn ‘Arabi mengkaitkan ayat mengenai derajat yang lebih tinggi itu dengan keunggulan dari langit atas bumi. Ketiga, Ibn ‘Arabi menganggap tingkat pria di atas kaum wanita mengingat kenyataan bahwa
85 M. Dawam Raharjo, mengupamakannya seperti bayi, di mana ia merupakan lambang manusia yang tidak berdaya (Yin). Dia tidak bisa apa-apa, biasanya hanya menangis. Tapi justru dalam hubungan pria-wanita. Kaum wanita, sebagai Yin, dengan kelemahannya, pada akhirnya menuntut perhatian dari kaum pria (Yang). Nurul Agustina, Nurullah Ali Fauzi (ed), “Perempuan dalam Perbincangan”, Jurnal Ulumul Quran, NO. V dan VI, Vol. V, 1994, hlm. 50.
151
kosmis tidak akan pernah mencapai kedudukan Tuhan dikarenakan hubungan khusus yang terjalin di antara mereka : penerimaan kosmik dan aktivitas Ilahi (QS. 112: 4).
1. Penciptaan Hawa Melalui Adam
Pembahasannya mengenai penciptaan Hawa melalui Adam dimulai dengan menjelaskan hadis mengenai “tulang rusuk’. Dalam hubungan yang ditimbulkan melalui penciptaan Hawa melalui Adam, Ketika tubuh Adam terwujud, sebagaimana yang dikemukakan, dia tidak mempunyai nafsu untuk melakukan perkawinan, Maka Dia mengeluarkan Hawa dari tulang rusuk Adam yang pendek. Dengan demikian Hawa tidak mempunyai tingkat yang sama dengan Adam, sebagaimana difirmankan oleh Tuhan, “kaum pria mempunyai satu tingkat lebih tinggi daripada kaum wanita’. Karena itu kaum wanita tidak akan pernah mencapai tingkat kaum pria”. Hawa berasal dari tulang rusuk, tulang rusuk itu bengkok.86
Menurut Sachiko Murata, Ibn ‘Arabi mengemukakan adanya suatu sisi maskulin pada realitas Hawa yang tidak sering ditemui. Dia menemukan pertalian antara Hawa dan Yesus, yang keduanya diciptakan melalui perantaraan satu orang manusia. Bukan berarti keduanya identik bahkan dalam kenyataannya real maupun konseptual keduanya berbeda- tapi ditujukan untuk mempermudah memahami perbedaan penciptaan yang lainnya. Perempuan dan laki-laki dianggap sama kesetaraanya dihadapan tuhan.87
Tubuh manusia pertama yang terwujud adalah Adam. Dia adalah ayah pertama jenis makhluk ini, lalu Tuhan memisahkan darinya seorang ayah kedua
86 Sejalan dengan pemaparan Barbara F. Stowasser, dalam kutipannya, menjelaskan hadis, “wanita dari tulang rusuk”, ini dengan konteks yang baru, “kebengkokan” dalam hadis itu tidak menunjukkan kekurangan atau ketidaksempurnaan sifat wanita. Kebengkokan itu memungkinkan wanita untuk melakukan tugasnya, berhubungan dengan anak-anak yang membutuhkan kasih sayang dan simpati yang kuat. Kata-kata “bagian tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atas” menandakan kasih sayang wanita terhadap wanita terhadap anak dan perasaannya yang melampui rasionalitas. Atas dasar ini “kebengokaannya” menjadi keistimewaan wanita. Barbara Freyer Stowasser, Reinterpretasi Gender Wanita dalam al-Quran, Hadis dan Tafsir,terj. HM. Mochtar Zoerni, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), hlm. 91. Hal inilah, yang menurut penulis, sejalan dengan konsep Sachiko Murata, mengenai suatu pandangan positif dari realitas Yin, yang memandang kelemahan wanita sebagai kelebihan.
87 Asyhari, Kesetaraan gender menurut Nasharudin Umar dan Ratna megawangi (studi Komperasi dua tokoh), Skripsi UIN Sunan Kalijaga, 2009, H.2
152
bagi kita, yang disebut-Nya ibu, sebab ayah adalah akarnya (ibu) Tuhan memunculkan Yesus dari Maryam. Maka Maryam menempati kedudukan sebagaimana Adam, sementara Yesus menempati kedudukan sebagaimana Hawa. Sebab seperti juga seorang wanita. Jadi Tuhan menyelesaikan dengan cara yang sama seperti ketika Dia memulainya, dengan jalan memunculkan seorang putra tanpa ayah, sebagaimana Hawa muncul tanpa seorang ibu. Maka Yesus dan Hawa adalah dua saudara kandung, sementara Adam dan Maryam adalah kedua orang tua mereka (QS. 3: 59).
inilah, yang menurut penulis, sejalan dengan konsep Sachiko Murata, mengenai suatu pandangan positif dari realitas Yin, yang memandang kelemahan wanita sebagai kelebihan. Penciptaan Hawa dan Isa berbeda dengan masyarakat pada umumnya, keduanya diciptakan dengan perantaraan seorang manusia. Bedanya Hawa dari seorang pria dan Isa dari seorang wanita. Jadi proses penciptaan Hawa dan Isa merupakan salah satu kreativitas Tuhan sebagai sang Perancang. Di sini Ibn ‘Arabi melihat pada hubungan antara Hawa dan Yesus, bahwa Hawa dan Yesus merupakan pihak (lokus) yang menerima aktivitas, Hawa menerima aktivitas Adam, dan Yesus menerima aktivitas Maryam, sebab Yesus ruh dan firman Tuhan dan salah seorang manusia terbesar tercipta dari Maryam, tanpa ada perantaraan manusia sama sekali.
2. Keunggulan Langit atas Bumi.
Langit dam bumi bukan hanya mencakup berbagai planet, matahari, dan galaksi, melainkan juga “langit dan bumi” dalam diri kita sendiri. Bumi melambangkan wujud material kita tubuh fisik berikut berbagai kebutuhannya, langit melambangkan aspek-aspek wujud kita lebih tinggi, lebih luas, lebih rumit, tingkat jiwa kita yang paling spiritual. Kita membawa langit dan bumi dalam diri kita. Ibn ‘Arabi mengkaitkan ayat mengenai derajat yang lebih tinggi itu dengan keunggulan dari langit atas bumi. Di sini dia mengemukakan pembenaran logis bagi keunggulan kaum pria, bukan semata-mata berdasarkan pada teks al-Quran, meskipun al-Quran juga dibawa-bawa (QS. 40: 57). Namun telah ditetapkan
153
bahwa “kaum pria mempunyai satu tingkat lebih tinggi” daripada wanita, sebagaimana telah ditetapkan bahwa “penciptaan langit dan bumi itu lebih hebat daripada penciptaan manusia” (QS. 40: 57), Tuhan berfirman, “Apakah kamu yang lebih hebat dalam penciptaan ataukah langit yang Ia bangun ?”, (QS. 79:27)
Semua ini dimaksudkan untuk menunjukkan keunggulan keduanya atas manusi. Ketinggian derajat langit dan bumi atas manusia persis sama seperti ketinggian derajat kaum pria atas kaum wanita.88 Itu karena manusia menerima aktivitas langit dan bumi dan berada di antara keduanya, dan berasal dari mereka. Pihak yang menerima aktivitas tidak mempunyai kekuatan dari pihak yang bertindak terhadapnya. Demikian pula, Hawa menerima aktivitas dari Adam dan dikeluarkan serta dimunculkan dari tulang rusuk yang paling pendek. Karena itu Hawa tidak dapat mencapai tingkatan Adam yang bertindak kepadanya. Maka, dia mengetahui tingkat pria sejauh jangkauan asal penciptaannya, yaitu, tulang rusuk. Jadi persepsinya tidak dapat mencapai realitas pria. Wanita sama dengan alam dalam hal menjadi lokus yang menerima aktivitas. Itulah sebabnya kaum wanita tidak mempunyai kecerdasan kaum pria: mereka memahami hanya sampai pada tingkat bahwa wanita mengambil penciptaan dari pada akar konfigurasi”.
Padanan mikrokosmik bagi pemisahan langit dan bumi adalah penciptaan Adam dan Hawa dari satu jiwa. Kedua jiwa berasal dari satu jiwa tunggal primordial yang kemudian menjadi “pasangan” (zaujan) manusia pertama. Pasangan (zauj) dalam tulisan berikut ini secara harfiah berarti salah satu dari dua anggota pasangan. “Dialah yang menciptakanmu dari satu jiwa dan darinya dijadikan- Nya jodohnya, supaya dia dapat menikmati ketentraman hati dengan isterinya itu (QS. 7: 189). “Dia menciptakanmu dari satu jiwa, lalu darinya dijadikan-Nya jodohnya (QS. 39: 6).
Gender gramatikal dari kata-kata itu dalam sebagian dari bagian-bagian tulisan ini menjalin suatu hubungan yang menarik: “jiwa” itu secara Kalangan sufi
88 Muhammad Nur hashiruddin, Peran domestic perempuan menurut KH. Muchith Muzadi, (Ringkasan desertasi progam doctor IAIN sunan Ampel A-Aly, 2012)
154
mengupamakan langit dengan suami yang menyimpan air, dan langit diumpamakan isteri yang menerima limpahan air yang nantinya melahirkan janin atau berbagai tumbuh-tumbuhan. Dan kedudukan makrokosmos merupakan Yang, dalam kaitannya dengan mikrokosmos.
gramatikal feminin, sementara “pasangan” itu maskulin. Dalam ayat 7 : 189, konteksnya tampak secara jelas dan para ahli tafsir sepakat bahwa Adam diacu sebagai “jiwa tunggal”. Namun kata ganti yang mengacu pada jiwa ini adalah feminin. Selanjutnya kata ganti itu berubah, sehingga Adam menjadi maskulin dan “pasangannya” menjadi feminin. Jika kita mau mengamati gender gramatika, kita dapat menerjemahkan ayat itu sebagai berikut: “Dialah yang menciptakanmu dari satu jiwa (yaitu Adam) dan menciptakan dirinya (jiwa) pasangannya (Hawa), ayat ini bagaimana-pun juga mengacu pada cara di mana Yin muncul dari Adam, dan androgini primordial yang mencakup sekaligus pria dan wanita. Permainan kata ganti itu dapat dipahami, dalam gaya sufi, sebagai suatu “kiasan” (isyarat) Ilahi bagi kehadiran Yin dalam Yang dan Yang dalam Yin.
3. Kosmis tidak akan pernah mencapai kedudukan Tuhan
Mengenai hal ini Sachiko Murata, dengan mengutip Ibn ‘Arabi, menganggap tingkat pria di atas kaum wanita mengingat kenyataan bahwa kosmis tidak akan pernah mencapai kedudukan Tuhan dikarenakan hubungan khusus yang terjalin di antara mereka: penerimaan kosmik dan aktivitas Ilahi (QS. 112: 4). Dengan mengutip dua ayat al-Quran yang menunjukkan adanya kesamaan yang menarik. Tuhan “berdiri di atas” (qâ’im) (QS. 13: 33) atau menjaga setiap jiwa sebagaimana kaum pria “berdiri di atas” kaum wanita (qawwâm) (QS. 4: 34). Jika kiat menyebut-nyebut kosmos dalam nada yang sama dengan Tuhan, maka kita mesti mempertimbangkan sejumlah hubungan yang terjalin antara Tuhan dan kosmos. Hubungan-hubungan ini diungkap secara verbal oleh nama-nama Ilahi. Dalam hal ini, kita bisa mengatakan bahwa Tuhan sama sekali berbeda dari segenap makhluk-Nya (Tanzih) yang dengan demikian, sekali lagi, menegaskan ketakterbandingan-Nya. atau, kita bisa juga mengatakan bahwa ada keserupaan
155
tertentu yang bisa diamati (Tasyih). Atau, kita bisa mengambil kedua posisi ini sekaligus.
Tanzîh dan tasybîh seringkali disandingkan dengan nama Allah albâtin (batin, atau non-manifest) dan al-zâhir (lahir, atau manifest). Lantaran Yang Nyata (the Real) adalah sisi batin, sedang segala sisi luar merupakan ketidaknyataan, dan keesaan Tuhan hanya terdapat pada “Yang Nyata” (real) saja. Namun lantaran Allah adalah al-Zahîr (yang Luar), maka segala bentuk lahir adalah nyata (real). Oleh karena itu alam secara otomatis adalah nyata dan esa melalui kenyataan dan keesaan Allah. Ketidakterbandingan Allah dan keserupaan-Nya, keduanya, memerlukan pemahaman secara lebih mendalam dalam pikiran kita. Jika Allah adalah Jauh. Ia sekaligus dekat. Di tengah tengah kejauhan-Nya ia adalah Maha Dekat, dan di tengah-tengah persamaan-NYA ia tidak dapat diperbandingkan. Lalu diulas tentang ayat al-Quran, “tiada sesuatu pun yang ada menyerupai-Nya”, (QS. 112: 4).
Di sini yang dimaksudkan adalah pasangan yang “setara” (shâhibah), dikarenakan adanya orang-orang yang mengatakan bahwa al-Masih itu adalah putra Tuhan dan Ezra adalah putra Tuhan. Persamaan itu adalah suatu kemiripan. Tetapi wanita tidak pernah akan seperti pria, sebab Tuhan berfirman QS. 2: 228. Karena itu wanita tidak setara dengan pria. Sebab lokus yang menerima aktivitas tidak sama dengan lokus yang bertindak atasnya. Kosmos adalah lokus yang menerima aktivitas Tuhan. Maka ia tidak setara dengan Tuhan. Hawa adalah lokus yang menerima aktivitas Adam, maka Adam mempunyai tingkat aktivitas atas diri Hawa. Maka Hawa tidak setara dengannya dalam hal ini. Pada ayat , “Laysa ka misli syay”, menurut Ibn ‘Arabi terkandung pengertian tanzîh dan Tasybîh. Mengikari adanya misl- Tuhan, itu adalah tanzîh, dalam tanzîh. Misl-Tuhan adalah sesuatu (alam) yang setara atau semartabat dengan Tuhan, ini harus diingkari. Sedangkan mengakui adanya misl-Nya adalah tasybîh. Misl-Tuhan yang diakui di sini adalah alam, terutama alam imateri, yang menyerupai-Nya, tapi tidak setara
156
dengan-Nya. Maka wujud alam, tidak dapat dipahami sebagai wujud yang setara dengan Tuhan dan tidak pula dapat dinamakan Tuhan.
Prof. Murata juga menyambung penjelasannya, dengan mengutip dari Ibn ‘Arabi, tentang hakikat dari “derajat” yang dimiliki kaum pria di atas kaum wanita. Secara khas, Ibn ‘Arabi tidak memberi perhatian besar pada penerapan-penerapan sosial dari derajat itu, melainkan pada makna kosmologis dan metafikanya. Sehingga, menurutnya dikemukakannya, “derajat itu bersifat ontologis (wujud) sehingga ia tidak hilang”, bahkan meskipun “kaum wanita adalah padanan kaum pria”.
E. Kesimpulan
1. Berdasarkan paparan di atas, Prof. Murata mengambil satu kesimpulan bahwa setiap kali Ibn ‘Arabi mengambil sudut pandang mengenai suatu sifat dalam diri kaum pria (maskulin) atau kaum wanita (feminine), dia mencapai satu kesimpulan yang layak bagi sifat itu. Prof. Murata juga menggunakan pendekatan secara tidak langsung (de sapieted tradition) yang disebut kearifan local dan spritualitas (rotibiyah). Prof. Murata dalam analisis terakhirnya menggunakan analisis De Tao, yakni Dualitas yang menjadi kesatuan exsistensi (tawhid).
2. Seperti yang dikutip dalam buku Prof. murata, dalam kajian ini ia menganggap bahwa feminine dan maskulin adalah pedang bermata dua, masing-masing mempunyai nilai negative dan positif. Jika tekanan “parthiarkhal” yang keras dari beberapa kaum muslim dilunakan, maka ini akan bisa terjadi jika tekanan itu diperbarui atas kefeminiman sebagai suatu yang positif dan maskulin sebagai sesuatu yang negative.
3. Tujuan prof Murata mengulas buku ini adalah “agenda feminis” adalah membantu kaum muslim yang berkecenderungan kuat untuk menegakan kembali pandangan feminism ilahi yakni esensi tuhan. Yang melahirkan dua kutub yang berbeda yakni yin dan yang.
157
4. Prof. Murata juga menjelaskan tentang Konsep kosmologi antara Tuhan, Makrokosmos dan Mikrokosmos (Antropologi) yang mempelajari Psikologi ruhani.
158
DAFTAR PUSTAKA
Bambang Lim Tji Kay, Tao Te Ching Kitab Suci Taoisme, Jakarta: Sasana, 1991
Barbara Freyer Stowasser, Reinterpretasi Gender Wanita dalam al-Quran, Hadis dan Tafsir, terj. HM. Mochtar Zoerni, Bandung: Pustaka Hidayah, 2001
Bleker, Pertemuan Agama Dunia, terj. Bahrus Siregar, Bandung: Sumur Bandung, 1985.
Frijjof Capra, Titik balik Peradaban: Sains, Masyarakat, dan Kebangkitan Kebudayaan, Terj. M. Thayyibi, Yogjakarta: bentang Budaya, 1997.
Lasiyo, Taoisme, Yogjakarta: Proyek PPT UGM, 1982/1983
M. Challab, Falsafah Timur, terj,. Adnan Lubis Syaiful, Medan: Medan Press, 1950
M. Wahyuni Nafis, Rekontruksi dan Renungan Religius Islam, Jakarta: Paramadina, 1996
Nic Joo Lan, Peradaban Tiong Hoa selayang Pandang Kenpo, Jakarta: tp, 1973
Sachiko Murata, The Tao of Islam: A. Source book on Gender Relationship in Islamic Thought, New York : State University of New York, 1992.
Sachiko murata, kearifan Sufi dari Cina, Terj. Susilo Adi, cet.I Yogyakarta; Kreasi wacana, 2003
Asyhari, Kesetaraan gender menurut Nasharudin Umar dan Ratna megawangi (studi Komperasi dua tokoh), Skripsi UIN Sunan Kalijaga, 2009
Dewi Nurjulianti dan Budhy Munawwar Rahman, dalam : Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Quran, Jakarta: LSAF. No. 2, Vol. V, 1994.
159
Mohd. Syukri Yeoh Abdullah, kosmologi dalam Welstanschaung Ulama sufi Melayu (Cosmology in Malay Sufi Scholar Welstanschauung), Jurnal Akademika, 67, Januari: 2006: 5-23
Muhammad Nur hashiruddin, Peran domestic perempuan menurut KH. Muchith Muzadi, Ringkasan desertasi progam doctor IAIN sunan Ampel A-Aly, 2012
Nursyam, Konsep Kesetaraan Gender Dalam Pemikiran Islam (Sebuah Pendekatan Autokritik) , Jurnal Musawa, Vol. 4, No. 2, Desember 2012.
Nurul Agustina, Nurullah Ali Fauzi (ed), “Perempuan dalam Perbincangan”, Jurnal Ulumul Quran, NO. V dan VI, Vol. V, 1994
http://www.stonrybrook.edu/asianandam/murata_sachikohtml#
www.sunysb.edu/complit/new/murata.html.,www.adsense-success guide.com/sachiko_murata.
http://diandra.blogs.friendster.com/my_blog/2006/02/index.html
160
KIRI ISLAM HASSAN HANAFI
Oleh:Rizky Maulida
(NIM.14750001)
Abstract: Right was wrong, Left is right. Demikian bunyi salah satu credo dari gerakan yang banyak dicap sebagai radikalis. “Kiri dan Kanan” pun menjelma sebagai jargon-jargon perjuangan yang saling berhadapan. Sebutan “Kiri”, menitahkan gerakan perlawanan untuk menumbangkan yang mapan (established), yakni yang ‘kanan’. Setting dialektika ideologis seperti itu juga digunakan Hassan Hanafi dalam mengembangkan kajian teologi Islam, yang kemudian dikenal sebagai ‘’Kiri Islam’’. Dengan mengambil sketsa sosial masyarakat Arab sebagai latar argumentasi, Hanafi mengabstraksikan pandangannya tentang kondisi umat Islam secara keseluruhan. Menurutnya, sejak zaman Al-Afghani hingga kini, umat Islam secara struktural terpilah menjadi dua kelompok yang saling berhadapan: yakni antara yang mapan vis a vis yang tereksploitasi; yang menguasai vs yang dikuasai, pemimpin vs rakyat, kaum elit vs kaum jelata. Kelompok yang pertama minoritas tetapi lebih dominan dan mengeksploitasi kelompok yang kedua. Dalam kondisi seperti ini, menurut Hanafi, visi ideologis “Kiri Islam” lahir dan berkembang. Ritme gerakannya menyuarakan kepentingan dan hak-hak umat mayoritas; aspek teologisnya mewujud pada perjuangan untuk membebaskan manusia mayoritas yang tertindas dari belenggu eksploitasi kaum minoritas, hingga keduanya bisa hidup sederajat dan setara. Kandungan Kiri Islam, menurut Hanafi, memang pekat dengan atmosfir teologi pembebasan, yang membumi dan humanistis, dari Tuhan untuk semua penghuni bumi. Hanafi hadir dengan mencoba menawarkan pemikiran-pemikiran pembaharuannya dengan cara merevitalisasi khazanah Islam klasik, menantang peradaban barat (salah satunya dengan konsep “oksidentalisme”nya), dan melakukan analisis terhadap realitas dunia Islam.
Kata kunci: Kiri Islam, Oksidentalisme, Khazanah Islam klasik, Teologi Pembebasan
161
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Ketika mendengar kata kiri, di dalam benak kita akan segera muncul lawan dari kata itu, yakni kanan. Kiri dan kanan di berbagai lapangan kehidupan merupakan kenyataan yang tidak bisa dinafikan. Di arena politik misalnya, dua kata itu selalu mengemuka menjadi dua kutub yang berseberangan. Di bidang ilmu sosial maupun kehidupan keseharian, dua kata itu sering tampil sebagai dua kekuatan yang berlawanan. Tidak terlalu sulit menemukan kiri dan kanan di kehidupan kita, yakni kiri dan kanan dalam pengertian dua haluan atau front kekuataan yang saling bergumul atau berhubungan secara dialektis.
Dalam dunia barat, istilah Kiri sebagaimana banyak diketahui bahwa sejak revolusi Prancis, kelompok radikal, kelompok Jakobin, mengambil sisi kiri dari kursi Ketua Kongres Nasional. Sejak itu, istilah Kanan dan Kiri sering digunakan dalam terminologi politik.
Ketika kata kiri digandengkan dengan kata Islam, muncul sejumlah pertanyaan. Apakah yang dimaksud dengan pengertian Kiri Islam itu? Makna apa yang ditonjolkan dalam kata kiri di istilah tersebut? Dan, Islam apa yang dimaksud di dalamnya. Islam sebagai ajaran kemanusiaan-universal ataukah pemikiran Islam? Sebelum mencoba menjawab pertanyaan itu, terlebih dahulu perlu ditegaskan bahwa ajaran Islam, sejak ajaran Islam yang dibawa Adam hingga Islam pamungkas yang dibawa Muhammad adalah “ajaran kiri”. Dalam arti, Islam adalah ajaran praksis yang selalu memberontak terhadap tatanan-tatanan sosial yang menindas dan diskriminatif. Para nabi pembawa Islam adalah hamba-hamba kebenaran yang berjuang dengan sepenuh jiwa demi membela kesetaraan sosial. Inti Islam yang diserukan Musa, Isa dan Muhammad adalah sama, meskipun masyarakat lingkungan hidup mereka berbeda-beda.
162
Jika demikian halnya, dapatlah kita katakan bahwa Islam sejak Islam Adam hingga Islam Muhammad adalah “kiri” yang artinya melawan penindasan serta menjunjung tinggi penegakan kesetaraan dan keadilan. Mengapa harus muncul istilah “Kiri Islam”? adakah sisi kanan dalam Islam? Jawabnya, tidak ada. Sebab Islam tidak pernah membiarkan kezaliman. Bila kekuatan kezaliman berkuasa, Islam selalu tampil melawan dan menumbangkannya.
Dengan demikian, maka kiri dan kanan selalu ada dalam lingkungan pemikiran Islam dan terjadi pada perilaku orang atau kelompok yang mengusung nama Islam. Jadi, yang dimaksud dengan Kiri Islam adalah kiri dalam pemikiran Islam berikut produk-produknya, termasuk produk pemikiran klasik yang biasa disebut turats, dan dalam perilaku umat Islam – penguasa, rakyat, dan kaum intelektualnya sepanjang sejarah mereka.
Kanan dan kiri dalam pemikiran Islam pada dasarnya adalah cerminan dari dua kondisi sosial yang menunjukkan adanya dua kelas sosial. Masing-masing kelas berupaya untuk mempertahankan haknya dengan membangun kerangka teoritis yang diambil dari tradisi-tradisi yang ada di dalam masyarakat dengan wujud ajaran-ajaran keagamaan. Salah satu kelas, yaitu kelas elite yang menguasai sarana produksi dan perangkat kekuasaan politik, berupaya mengeksploitasi kelas lain yang mayoritas. Salah satu cara eksploitasi itu adalah lewat pemikiran keagamaan yaitu dengan menafsirkan agama sejalan dengan kepentingan kelas elit-minoritas. Di pihak lain, kelas mayoritas yang dieksploitasi juga berupaya melakukan reinterpretasi terhadap agama demi kepentingan mereka, yaitu mengalahkan kelas miniritas yang berkuasa dengan senjata yang sama, yakni penafsiran agama. Agama ibarat pisau bermata dua, masing-masing kelompok dapat menggunakannya (menafsirkannya) sesuai keinginannya.
Dalam makalah ini, penulis mencoba menguraikan pemikiran Hassan Hanafi dalam term “Kiri Islam” nya.
163
BAB II
PEMBAHASAN
A. BIOGRAFI HASSAN HANAFI
Hassan Hanafi lahir di Kairo, ibu kota Republik Arab Mesir, pada tanggal 13 Februari 1935. Keluarganya berasal dari propinsi Banu Swaif, salah satu propinsi di Mesir bagian selatan. Namun kemudian mereka pindah ke Kairo. Kakek Hassan hanafi berasal dari al-Maghrib (Maroko), sedangkan neneknya berasal dari kabilah Bani Mur. Gamal Abdel Nasser, presiden Mesir sebelum Anwar Sadat, berasal dari kabilah itu.89
Pada usia sekitar lima tahun, Hanafi mulai menghafal Al-qur’an di bawah bimbingan Syaikh Sayyid. Gelar kesarjanaannya ia raih pada tanggal 11 Oktober 1956 dari Kulliyat al-Adab (Fakultas Sastra) Jurusan Filsafat Universitas Kairo. Setelah itu, Hanafi pergi ke Perancis untuk memperdalam filsafat di Universitas Sorbone, dengan spesialisasi Filsafat Barat Modern dan Pra-Modern. Selama kurang lebih sepuluh tahun Hanafi tinggal di Perancis, salah satu negara tempat para orientalis berada. Dalam rentang waktu tersebut, tradisi, pemikiran, dan keilmuan Barat dikuasainya. Ia sempat mengajar Bahasa Arab di Ecole des Langues Orientales di Paris.
Hanafi menyusun disertasi yang berjudul Essai sur la methode d’Exegese (Esei Tentang Metode Penafsiran). Disertasi setebal 900 halaman tersebut memperoleh penghargaan untuk penulisan karya ilmiah terbaik di Mesir pada tahun 1961. Karya yang tebal dan monumental tersebut merupakan upaya Hanafi dalam
89 Abad Badruzaman, Kiri Islam Hassan Hanafi: Menggugat Kemapanan Agama dan Politik, (Yogyakarta:Tiara Wacana Yogya, 2005), hlm. 41
164
menghadapkan Ilmu Ushul Fiqh (teori Hukum Islam) kepada suatu madzhab filsafat modern, yaitu fenomenologi yang dirintis Edmund Husserl.90
Setelah meraih gelar doktor, Hanafi kembali ke almamaternya, Universitas Kairo, Mesir, dan mengajar di Fakultas Sastra, Jurusan Filsafat. Ia mengajar mata kuliah Pemikiran Kristen Abad Pertengahan dan Filsafat Islam.
Reputasi internasionalnya sebagai pemikir ternama mangantarkan Hanfi untuk merengkuh bebrapa jabatan guru besar luar biasa di berbagai perguruan tinggi di luar Mesir. Pada tahun 1969, Hanafi menjadi profesor tamu di Perancis, Hanafi pernah mengajar di Belgia (1970), Amerika Serikat (1971-1975), Kuwait (1979), Maroko (1982-1984), Jepang (1984-1985) dan Uni Emirat Arab (1985).91
Hanafi juga melakukan kunjungan-kunjungan ke berbagai negara. Kunjungan-kunjungan itu digunakan Hanafi untuk mengamati secara langsung berbagai kontradiksi dan penderitaan kaum lemah yang terjadi di berbagai belahan dunia. Hanafi sempat menyaksikan agama revolusioner di Amerika Serikat. Di Amerika Latin, ia menyaksikan berkembangnya gerakan teologi pembebasan, yang kemudian membuka pikiran Hanafi bahwa Islam sudah saatnya dikembalikan kepada hakikat yang sebenarnya, yaitu sebagai agama pembebasan, agama yang sangat peduli pada persoalan-persoalan kemanusiaan. Teologi Islam harus segera direkonstruksi dari bentuk lamanya yang bersifat teosentris menjadi suatu kerangka ilmu yang dapat memajukan umat Islam, membela kaum lemah, dan berdiri tegak melawan kekuatan apapun yang mempertahankan rezim tiran dan status quo yang merampas hak hidup dan kebebasan hakiki karunia Tuhan. Teologi Islam harus berbicara tentang manusia dengan sejumlah persoalan sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan.
Kepergiannya ke Amerika untuk mengajar di Universitas Temple (1971-1975) sebenarnya merupakan pilihan Hanafi ketika pemerintah Mesir memberikan pilihan
90 Abdurrahman Wahid, “Hassan Hanafi dan Eksprementasinya”, pengantar dalam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam Antara Modernisme dan Postmodernisme, Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi, Cet. IX, (Yogyakarta: LKiS, 2012), hlm. ix
91 Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-Qur’an Menurut Hassan Hanafi, Cet. I, (Jakarta: Teraju, 2002), hlm. 69
165
kepadanya antara tetap tinggal di Mesir dengan syarat menghentikan aktivitas intelektual dan gerak-geriknya yang membuat gerah dan merah kuping pemerintah, atau pergi ke luar negeri. Pada tahun 1975 Hanafi kembali ke Mesir dengan membawa obsesi lamanya, yaitu membangun kesadaran diri (al-wa’y) lewat penelusuran dan pengkajian serta penafsiran ulang atas tradisi klasik (turats) di satu sisi, dan menjadikan Barat sebagai objek kajian sekaligus mitra sejajar dalam hubungan Timur (Islam)- Barat. Ia pun mulai menulis buku Al-Turats wa al-Tajdid. Namun, naskah buku tersebut belum sempat selesai ditulis, karena ia kemudian ikut aktif dalam gerakan anti-pemerintahan Presiden Anwar Sadat yang dinilainya pro Barat dan bersedia untuk berdamai dengan Israel, musuh bebuyutan bangsa Arab.
Bagi Hanafi, di Mesir tidak ada gerakan-gerakan politik yang revolusioner dan mempunyai koordinasi organisasi yang baik dan murni. Umumnya organisasi-organisasi itu dihuni oleh orang-orang munafik dan oportunis belaka. Satu-satunya organisasi yang masih ia nilai baik dan bersih adalah Al-Ikhwan al- Muslimun (Ikhwan). Selain Ikhwan, di Mesir saat itu ada partai Hay’ah al-Tharir (Gerakan Pembebasan), Partai Wafd dan partai yang berhaluan Sosialis-Marxis.
Pada periode yang terakhir (tahun 80-an sampai 90-an), karya-karya Hanafi memiliki latar belakang politik yang relatif lebih stabil dibanding masa-masa sebelumnya. Pada periode tersebut Hanafi menulis Al-Turats wa al-Tajdid, yang memuat landasan teoritis bagi dasar-dasar pembaharuan dan langkah-langkahnya. Kemudaian ia menulis Al-Yassar al-Islami, semacam manifesto politik dan seruan ideologis. Al-Yassar al-Islami bisa jadi juga merupakan refleksi atas karya-karya yang telah diselesaikannya. Kecuali itu semua, Al-Yassar al-Islami merupakan manifesto Hanafi yang paling utuh, karena embrio gagasannya telah ia semaikan sejak pergumulan Hanafi dengan suasana sosial-politik yang penuh gejolak selama hampir 35 tahun, yaitu sejak tahun 1946 hingga tahun 1981.92
B. POSISI PEMIKIRAN HASSAN HANAFI
92 Abad Badruzaman, Kiri Islam..., hlm. 56
166
Hassan hanafi adalah seorang pemikir Islam yang mengkonsentrasikan diri pada kajian pemikiran Barat pra-modern dan modern. Meskipun ia menolak dan mengkritik Barat, tak pelak lagi, ide-ide liberalisme Barat, demokrasi, rasionalisme, dan pencerahan telah mempengaruhi pemikirannya.93 Oleh karena itu, Hassan hanafi tergolong seorang modernis-liberal, seperti Luthfi as-Sayyid, Taha Husain, dan al-Aqqad. Salah satu keprihatinan Hassan hanafi adalah bagaimana melanjutkan proyek yang didesain untuk membuat dunia Islam bergerak menuju pencerahan yang menyeluruh. Kita dapat menengarai tiga wajah dalam rangka memantapkan posisi pemikirannya dalam dunia Islam, terutama dalam kaitannya dengan kiri Islam yang akan kita bahas pada kesempatan kali ini, yaitu:
a. Wajah pertama adalah peranannya sebagai seorang pemikir revolusioner.
Hal ini dipengaruhi setelah revolusi Iran yang menang. Hassan hanafi meluncurkan Kiri Islam. Menurut dia, salah satu tugasnya adalah untuk mencapai revolusi Tauhid (keesaan, pengesaan: konsep inti Islam pandangan dunia Islam).94 Dalam hal ini Hassan hanafi, dapat dikategorikan sebagai pemikir Islam revolusioner, seperti Ali Syari’ati, pemikir yang menjadi tulang punggung revolusi Islam Iran, dan Imam Khomeini yang memimpin revolusi dengan sukses.
b. Wajah kedua adalah sebagai reformis (pembaharu) tradisi intelektual Islam klasik.
Dalam hal ini, Hassan hanafi mirip posisi Muhammad Abduh (seorang pemikir Mesir terkemuka, 1849-1905), yang pemikirannya digolongkan sebagai seorang nasionalis.
93 Kazuo Shimogaki, Kiri Islam Antara Modernisme dan Postmodernisme, Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi, Cet. IX, (Yogyakarta: LKiS, 2012), hlm: 3
94 Hassan Hanafi, Al-Yamîn wa-l-Yasâr fi-l-Fikr Ad-Dînî, (Damaskus: Dar-Alâudin, 1996), hlm. 27
167
c. Wajah ketiga adalah penerus gerakan al-Afghani (1838-1896)
Dalam hal ini, Hassan hanafi adalah sebagai penerus gerakan al- Afghani (1838-1896), yang mana al-Afghani adalah pendiri gerakan Islam modern, yang disebut sebagai suatu perjuangan melawan imperialisme Barat dan untuk mempersatukan dunia Islam.95 Hassan hanafi, di dalam Islam kiri juga menyebut hal yang sama: perjuangan melawan imperialisme kultural Barat dan penyatuan dunia Islam.
C. PERKEMBANGAN PEMIKIRAN HASSAN HANAFI DILIHAT DARI KARYA-KARYANYA
Analisis tentang perkembangan pemikiran Hanafi akan di dasarkan perkembangan periode dari karya karyanya. Yaitu dibagi menjadi tiga periode, sebagai berikut :
a. Periode pertama tahun 60-an
Pada awal dasawarsa 1960-an pemikiran Hanafi dipengaruhi oleh faham-faham dominan yang berkembang di Mesir, yaitu nasionalistik-sosialistik populistik yang juga dirumuskan sebagai ideologi Pan Arabisme,96 dan oleh situasi nasional yang kurang menguntungkan setelah kekalahan Mesir dalam perang melawan Israel pada tahun 1967. Usahanya untuk melakukan rekonstruksi pemikiran Islam, ketika ia berada di Perancis ia mengadakan penelitian tentang, metode interpretasi sebagai upaya pembaharuan bidang ushul, dan tentang fenomenologi sebagai metode untuk memahami agama dalam konteks realitas kontemporer. Ketiga, usaha untuk menginterprestasikan realitas umat islam dalam kerangka baru. Penelitian itu sekaligus merupakan upayanya untuk meraih gelar doktor pada Universitas Sorbonne, dan ia berhasil menulis disertasi tentang Metode Penafsiran yang
95 Hassan Hanafi, Al-Yamîn wa-l-Yasâr..., hlm. 31
96 E. Kusnadiningrat, Teologi dan Pembebasan, Gagasan Islam Kiri Hassan Hanafi, Cet. I, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 52
168
mendapat penghargaan sebagai karya ilmiah terbaik di Mesir pada tahun 1961.
b. Periode kedua tahun 70-an
Awal periode 1970-an, sebagai seseorang yang mempunyai ideologi cemerlang. Hanafi juga memberikan perhatian utamanya untuk mencari penyebab kekalahan umat Islam dalam perang melawan Israel tahun 1967. Oleh karena itu, tulisan-tulisannya lebih bersifat populis. Di awal periode 1970-an, ia banyak menulis artikel di berbagai media massa, seperti Al-Katib, Al-Adab, Al-Fikr al-Mu’ashir, dan Mimbar Al-Islam. Pada tahun 1976, tulisan-tulisan itu diterbitkan sebagai sebuah buku dengan judul Qadhaya Mu’ashirat fi Fikrina al-Mu’ashir. Buku itu merupakan refleksi Hanafi atas realitas dunia Arab dengan segala problematikanya, dengan penekanan pada pentingnya pembaharuan pemikiran Islam dalam kerangka revitalisasi khazanah klasik Islam dalam kancah kehidupan modern.
Kemudian, pada tahun 1977, kembali ia menerbitkan Qadhaya Mu `ashirat fi al Fikr al-Gharbî al-Mu’âshir. Buku kedua ini mendiskusikan pemikiran para sarjana Barat untuk melihat bagaimana mereka memahami persoalan masyarakatnya dan kemudian mengadakan pembaharuan.
Sementara itu Dirasat Islamiyyah, yang ditulis sejak tahun 1978 dan terbit tahun 1981, memuat deskripsi dan analisis pembaruan terhadap ilmu-ilmu keislaman klasik, seperti ushul fikih, ilmu-ilmu ushuluddin, dan filsafat.97 Dimulai dengan pendekatan historis untuk melihat perkembangannya, Hanafi berbicara tentang upaya rekonstruksi atas ilmu-ilmu tersebut untuk disesuaikan dengan realitas kontemporer.
c. Periode ketiga tahun 80-an sampai 90-an
97 E. Kusnadiningrat, Teologi..., hlm. 58
169
Periode selanjutnya, yaitu dasawarsa 1980-an sampai dengan awal 1990-an, dilatarbelakangi oleh kondisi politik yang relatif lebih stabil ketimbang masa-masa sebelumnya. Hassan Hanafi berposisi sebagai seorang pemikir yang tegar.
Dalam periode ini, Hanafi mulai menulis Al-Turats wa al-Tajdid yang terbit pertama kali tahun 1980. Buku ini merupakan landasan teoretis yang memuat dasar-dasar ide pembaharuan dan langkah-langkahnya. Kemudian, ia menulis al-Yasar al-lslamiy (Kiri Islam), sebuah tulisan yang lebih merupakan sebuah "manifesto politik" yang berbau ideologis. Buku Min al-Aqidah ila al-Tsaurah (5 jilid), yang ditulisnya selama hampir sepuluh tahun dan baru terbit pada tahun 1988. Buku ini memuat uraian terperinci tentang pokok-pokok pembaruan yang ia canangkan dan termuat dalam kedua karyanya yang terdahulu. Oleh karena itu, bukan tanpa alasan jika buku ini dikatakan sebagai karya Hassan Hanafi yang monumental.
Selanjutnya, pada tahun-tahun 1985-1987, Hanafi menulis banyak artikel yang ia presentasikan dalam berbagai seminar di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Perancis, Belanda, Timor Tengah, Jepang, termasuk Indonesia. Kumpulan tulisan itu kemudian disusun menjadi sebuah.buku yang berjudul Religion, Ideology, and Development yang terbit pada tahun 1993. Beberapa artikel lainnya juga tersusun menjadi buku dan diberi judul Islam in the Modern World (2 jilid).
D. PEMIKIRAN–PEMIKIRAN HASSAN HANAFI DALAM KIRI ISLAM-NYA
1) Pengertian “Kiri Islam”
Sebelum kita masuk ke pembahasan tentang arti terminologi Kiri Islam, terlebih dahulu kita harus mengetahui makna epistemologi kiri itu sendiri, pengambilan istilah ‘Kiri’ bermakna pengambilan bentuk perlawanan terhadap pihak yang bersinggungan yaitu kanan. Dalam arti lain kata kiri disini adalah oposisi dari kanan. Kata kiri selalu lekat dengan identitas sosialisme, marxisme, dan komunisme. Identitas tersebut lebih
170
condong kepada pemikiran dan gerakan sosial yang timbul karena pemikiran Karl Marx, yang kemudian dibakukan oleh Fredrich Engels menjadi Marxisme.98 Sebuah ideologi perlawanan yang mengambil bentuk Revolusi. Akan tetapi makna kata ‘Kiri’ yang identik dengan istilah marxisme itu tidak sepenuhnya benar. Kata kiri bisa berarti lebih dari satu tafsiran. Bisa juga berarti penyeimbang dengan kanan, dimana kiri selalu memberikan perbedaan yang mendasar dari segi pemikiran dan gerakan. Kata Kiri juga bisa berarti penolakan terhadap mainstream yang ada dan mendominasi, bisa juga berarti minoritas dari mayoritas. Namun pada intinya kata ‘Kiri’ adalah sebuah nama yang tercipta karena situasi sosial, politik, dan kebudayaan.
Wacana pemikian ‘Kiri’ adalah pemikiran dan gerakan sosial yang senantiasa melawan, mengkritik, dan memang terkadang amat ‘nakal’ untuk menghancurkan segala hal yang berbau establishment, terutama status quo, kekuasaan otoriter dan juga kapitalisme modern. Bisa jadi kemapanan (termasuk kemapanan ilmu pengetahuan) memuat seperangkat prinsip yang manipulatif untuk sekedar mempertahankan kemapanan tersebut. Pembongkaran atas situasi ‘mapan’ dari sebuah kekuasaan inilah yang menjadi spirit ilmiah gerakan ‘kiri’, terutama pembongkaran atas berbagai kekuasaan yang berlindung dibalik jubah ideologi-ideologi.
Dalam perspektif epistemologi, pemikiran dan gerakan ‘kiri’ sesungguhnya lebih diletakkan pada pembacaan ulang secara kritis atas berbagai bentuk pengetahuan yang dominan, yang kemudian diberlakukan sebagai kebenaran satu-satunya. Ketika sebuah pengetahuan ditampilkan sebagai sebuah kebenaran utama, maka ia cenderung dinomorsatukan sebagai kemapanan formal. Pada saat yang bersamaan, ia
98 Para pengagum Karl Marx menyebut diri mereka sebagai kaum Marxis Sosialis, yaitu gerakan perlawanan kaum proletar seperti buruh dan petani terhadap para tuan tanah, kaum feodalis, dan kapitalis.
171
akan meminggirkan realitas kebenaran yang lain. Setiap yang berebeda dengan pemahaman konstruksi pemikirannya merupakan sebuah kesalahan.
Pengambilan kata Kiri Islam oleh Hanafi dimaksudkan sebagai media perlawanan dan kritik atas tekanan dari Barat. Tekanan dari Barat, seperti kita ketahui telah mengambil bentuk penjajahan dan perampasan hak-hak umat Islam. Penjajahan yang dilakukan Barat terhadap Islam membuat tekanan psikologis yang sangat dalam, literatur sejarah mencatat ketika bangsa barat masih terjebak dalam masa kegelapan, Islam telah berjaya dengan kemajuan dibidang ilmu pengetahuan. Bahkan Islam turut memberikan andil penting terhadap kemajuan dunia barat dengan menghidupkan kembali filsafat yunani yang pada saat itu di barat, merupakan hal yang bertentangan dengan dogmatisme Gereja, sehingga banyak ilmuwan Barat yang belajar dengan ilmuwan muslim. Namun realitas saat ini berbalik tiga ratus enam puluh derajat, bangsa barat mendominasi ilmu pengetahuan bahkan turut menjajah umat Islam, hal inilah yang membuat hanafi berpikir untuk merevivalisasi kembali semangat umat islam dengan pemikiran Kiri Islamnya karena bagi Hanafi penjajahan barat terhadap dunia Timur (Islam) merupakan sebuah kejahatan yang sangat besar.
Penamaan kiri Islam selain itu menurut hassan Hanafi dimunculkan secara spontan. Nama itu menggambarkan arus yang berkembang dalam esai-esai ini. Ia adalah nama ilmiah, sebuah istilah ilmu politik yang berarti resisitensi dan kritisisme dan menjelaskan jarak antara realitas dan kritisme dan menjelaskan jarak antara realitas dan idealitas. Ia juga terminologi ilmu-ilmu kemanusiaan secara umum. Misalnya terdapat kiri Freud dalam psikologi, kiri hegel dalam filsafat, dan kiri keagamaan dalam ilmu sejarah agama-agama. Jelas ia adalah istilah akademik tanpa pretensi politik dalam arti ideologi partai atau mobilisasi massa. Penamaan itu pun setelah melihat realitas umat Islam yang kehidupannya terpilah antara penguasa dan yang dikuasai, pemimpin dan rakyat, kaya dan miskin. Kiri Islam berada dalam barisan orang-orang yang dikuasai, yang tertindas, kaum miskin. Dengan demikian ia
172
merefleksikan Kiri dalam kondisi akademik.99 Tidak adanya pretensi politik disini menegaskan bahwa Kiri Islam tidak ada hubungannya dengan faham marxisme, namun dalam tujuannya ada satu kesamaan yaitu sama-sama berusaha untuk melawan penindasan.
Hassan Hanafi sadar bahwa akan bermunculan reaksi menolak dan mengkritik pemikiran yang terkandung di dalam nama Kiri Islam yang ia berikan itu. Satu kelompok akan dengan lantang menyatakan bahwa dalam Islam tidak dikenal istilah “Kiri” atau “Kanan”. Yang ada hanyalah Islam yang satu, umat yang satu dan Tuhan yang satu. Penentangan seperti itu sebenarnya dialamatkan kepada prinsip dasar, bukan kepada realitas. Artinya, secara ideologis Islam memang tidak mengenal pemilihan “Kiri-Kanan”. Akan tetapi, dalam tataran realitas, umat Islam terpencar di berbagai komunitas dan negara serta terpilah ke dalam beberapa kelas dan kepemilikan. Kiri Islam tidak berbicara soal Islam dalam tataran ideologis, tetapi berbicara tentang kaum Muslimin dalam suatu realitas historis dan struktur-struktur sosial. Selama kita berada dalam lingkup sejarah dan kerangka waktu, selama itu pula kita berada dalam pergumulan, pergerakan, perbenturan kepentingan dan konflik antara berbagai kekuatan. Dalam konteks itulah “Kiri” dan “Kanan” mengemuka dan mengkristal menjadi dua kubu yang saling berseberangan.100
Pemilahan “Kiri” dan “Kanan” juga terdapat dalam persepsi dan pemahaman orang tentang ajaran akidah, yang kemudian persepsi dan pemahaman ini mewujud menjadi madzhab-madzhab (aliran) teologis. Dalam hal ini, aliran Muktazilah adalah “Kiri” sedangkan Asy’ariyah adalah “Kanan”. Dalam filsafat juga ada “Kiri” dan “Kanan”. Filsafat rasionalisme-naturalisme Ibn Rusyd berada pada kubu “Kiri”, sedangkan filsafat Isyraqiya-faydiyah (iluminasi-emanasi) oleh Ibnu Sina dan al-Farabi berada pada posisi “Kanan”.
2) Latar Belakang “Kiri Islam”
99 Hassan Hanafi, Kiri Islam..., hlm. 112-113
100 Hassan Hanafi, Madza Ya’ni al-Yassar al-Islami, Kitabat fi al-Nahdhah al-Islamiyah, (Kairo: al-Markaz al-Arabi li-al-Bahts wa al-Nasyr, 1981), hlm. 7
173
Latar belakang terlahirnya Kiri Islam adalah munculnya Revolusi Islam di Iran yang berhasil menggulingkan Syah dan mengganti sistem pemerintahan dari sistem monarki menjadi teokrasi pada tahun 1979.101 Bagi Hanafi, revolusi ini bisa disejajarkan dengan dua revolusi lain, yaitu Revolusi Perancis dan Revolusi Bolshevik, Rusia. Jurnal Kiri Islam pun muncul beberapa saat setelah keberhasilan Revolusi Islam tersebut, tampaknya Hanafi ingin memanfaatkan situasi politik yang ada pada saat itu dan mengambil momentum untuk menyebarkan gagasannya.
Selain latar belakang tersebut, ada beberapa hal yang memicu lahirnya Kiri Islam yang jika dirangkum merupakan respon Hanafi atas berbagai kegagalan dalam metode pembaruan masyarakat Islam untuk mengentaskan keterbelakangan dan kemiskinan.
− Pertama, seperti yang disebutkan di atas, latar belakang lahirnya Kiri Islam adalah kooptasi kekuasaan terhadap agama yang menjadikannya ritual semata, sedangkan di sisi lain keagamaan yang tidak terkooptasi kekuasaan terjebak dalam fanatisme primordial, kejumudan, dan berorientasi pada kekuasaan.
− Kedua, praktik-praktik liberalisme dan pahamnya yang pernah berkuasa sebelum masa revolusi berakhir, hanya menghasilkan eksploitasi ekonomi golongan lemah, sementara penguasa hanya menjadi kepanjangan tangan kelas elit yang menguasai aset negara.
− Ketiga, kecenderungan Marxisme yang juga melawan kolonialisme namun belum mampu mengembangkan khazanah ilmu dalam Islam sehingga belum mampu untuk mewujudkan tujuan kemerdekaan.
− Dan Keempat, kecenderungan nasionalisme revolusioner yang membawa perubahan fundamental dalam kebudayaan Arab-Islam dan sistem politik-
101 Revolusi Islam Iran dipimpin oleh Ayatullah Khomeini yang menggulingkan Rezim Syah Pahlevi. Syah Pahlevi dianggap gagal dalam menjalankan roda pemerintahan. Inefisiensi, korupsi, hingga kedekatan dengan Barat dan proyek westernisasi yang dilakukan membuat Pahlevi dicap sebagai boneka barat dan sangat bertolak belakang dengan mayoritas Islam Syi’ah di Iran. Secara resmi Republik Islam Iran yang menggantikan sistem monarki ini berdiri pada 1 April 1979 setelah sebelumnya diadakan referendum nasional
174
ekonomi ternyata tidak berumur lama, dan tidak mempengaruhi kesadaran masyarakat muslim.
Dari latar belakang ini, Kiri Islam muncul untuk merevitalisasi khazanah intelektual klasik yang berdimensi revolusioner dan berpijak pada kesadaran rakyat.102 Pada intinya latar belakang pemikiran Kiri Islam secara umum adalah realitas umat Islam yang berada dalam keterbelakangan dan ketertinggalan diberbagai aspek terhadap Barat. Kiri Islam hadir sebagai solusi yang kritis dalam menyikapi realitas tersebut. Jurnal kiri Islam hadir untuk memberikan pencerahan dan penyadaran kepada umat Islam diseluruh dunia.
Di dalam esainya, Madza Ya’ni al-Yassar al-Islami, Hanafi menyatakan bahwa Kiri Islam tidak tumbuh dan berangkat dari nol. Dalam pergerakan Islam, Kiri Islam bukanlah suatu bid’ah, walaupun untuk pertama mungkin tampak asing setelah agenda dan gagasan-gagasan revolusioner yang pernah dikumandangkan oleh al-Afghani di dalam Al-Urwah al-Wutsqa tidak lagi terdengar. Bahkan penerus Al-Urwah al-Wutsqa, yaitu al-Manar, cenderung menjadi jurnal dakwah yang berisi nasihat dan bimbingan mental. Kiri Islam dikatakan Hanafi, adalah penerus gagasan dan ide yang tertuang di dalam majalah Al-Urwah al-Wutsqa yang isinya antara lain seruan untuk melawan penjajahan, keterbelakangan, dan seruan untuk menegakkan kebebasan, keadilan sosial, serta mempersatukan umat Islam dalam suatu kesatuan yang dinamai dengan Al-Jami’ah al-Islamiyah (Pan Islamisme) atau Al-Jami’ah al-syarqiyah (kesatuan Bangsa-bangsa Timur). Dengan demikian, menurut Hanafi, Kiri Islam merupakan penyempurnaan atas agenda pembaharuan yang muncul kali pertama di dalam sejarah Islam modern. Agenda tersebut sebelumnya pernah didengungkan oleh al-Afghani, yang berupaya menyingkap realita umat Islam serta masalah-masalah sosial dan politik yang mereka hadapi.
Hanafi menegaskan bahwa sejak zaman al-Afghani hingga kini, umat Islam terdiri dari dua kelompok yaitu, para penguasa dan yang dikuasai, pemimpin dan
102 Kazuo Shimogaki, Kiri Islam....., hlm.10
175
rakyat, elit dan jelata. Lalu dalam kenyataannya, kelompok pertamalah yang dominan dan diperhitungkan keberadaannya, sementara kelompok kedua seakan tidak. Selain itu pihak pertama bersikap dan bertindak eksploitatif terhadap kelompok kedua. Kiri Islam muncul untuk memfokuskan perhatiannya kepada kelompok kedua. Kiri Islam lahir untuk menyuarakan jeritan dan kepentingan serta hak-hak mereka yang secara kuantitas adalah mayoritas umat. Kiri Islam tampil untuk membela kepentingan umat yang mayoritas itu, untuk mengambil hak-hak kaum miskin dari kaum kaya, membela kaum lemah dalam menghadapi kaum kuat, serta menjadikan umat manusia seluruhnya sejajar seumpama sisir. Kemunculan Kiri Islam bukan untuk menjadikan orang Arab lebih unggul dari bangsa ‘Ajam (non-Arab), maupun sebaliknya. Keutamaan dan keunggulan semata-mata diukur berdasarkan ketakwaan dan amal saleh.
Kiri Islam bertumpu pada tiga dataran metodologis. Pertama, tradisi atau Turats. Kedua, fenomenologi. Ketiga, analisis sosial Marxian. Hanafi optimis, Kiri Islam dapat berhasil setelah realitas masyarakat, politik, ekonomi, khazanah Islam dan tantangan Barat dianalisis. Untuk menganalisis hal tersebut Hanafi menggunakan metode fenomenologi. Analisnya mengungkapkan dua fakta pokok: Islam telah dimanfaatkan kepentingan politik dan Islam telah menghujam dalam kehidupan bangsa Arab. Analisis sosial perspektif Marxiannya menampilkan kontras dua realitas secara diametral: kaya-miskin, penindas-tertindas, penguasa-dikuasai, tuan tanah-buruh, majikan-karyawan.103
Sebelum menjadi pemikiran yang seolah menjadi trade mark nya Hanafi, Kiri Islam adalah nama sebuah jurnal berkala yang diluncurkan oleh Hanafi pada tahun 1981. Nama lengkap jurnal itu adalah Al-Yasar al-Islami: Kitabat fi al-Nahdhah al-Islamiyah yang berisi sejumlah esai tentang kebangkitan Islam. Di dalam esai pertama jurnal itu, yang berjudul “Apa Arti Kiri Islam?”, Hanafi mendiskusikan beberapa isu penting berkaitan dengan kebangkitan Islam.
103 Muhidin M Dahlan, Sosialisme Religius Suatu Jalan Keempat, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2001), hlm. 175
176
Kiri Islam secara singkat bertopang pada tiga pilar dalam rangka mewujudkan kebangkitan Islam, revolusi Islam (revolusi tauhid), dan kesatuan umat.104 Ketiga pilar itu adalah :
a. Revitalisasi Khazanah Intelektual Islam Klasik
Kiri Islam berakar pula pada dimensi revolusioner dari khazanah intelektual lama. Oleh karena itu, rekonstruksi, pengembangan dan pemurnian khazanah lama itu sangat penting dilakukan. Tujuannya adalah untuk membangun kembali paradigma ilmu pengetahuan Islam setelah sekian waktu luput dari agenda kehidupan umat Islam. Upaya ke arah itu dinamai Tadjid at-Turats (Reaktualisasi Khazanah Keilmuan Islam). Salah satu dengan upaya “logika tafsir” (Mantiq al-Tafsir). Metode tersebut dapat juga dinamai dengan metode Hermeunetik. Hermeunetics has its origin in breaches in intersubjectivity. Its field of aplplication is comprised of all those situations in which we encounter meanings that are not immediately understandable but require interpretive effort.105
Menurut Kiri Islam khazanah lama atau klasik itu terdiri dari tiga macam ilmu pengetahuan, yaitu pertama ilmu-ilmu normatif rasional (al-‘ulum an-naqliyah al-‘aqliyah), yang semisal adalah Ilmu Ushuluddin, Ilmu Tasawuf, Ilmu Filsafat. Kedua, adalah ilmu-ilmu rasional semata (al-‘aqliyah) semisal matematika, astronomi, fisika kimia, dan farmasi. Ketiga adalah ilmu-ilmu normatif-tradisional (an-naqliyah) semisal yaitu Ilmu Hadist, Ilmu Tafsir, Ilmu Fiqih.
Hassan Hanafi meletakkan landasan teoritis revitalisasi Turats pada kerangka segitiga piramida peradaban; bahwa manusia tidak bisa dipisahkan dari tiga akar pijakan berpikir: Yang telah Lalu (al Madli) personifikasi dari Turats Qadim
104 Kazuo Shimogaki, Kiri Islam..., hlm. 8
105 Hans Georg Gadamer, Philosopical Hermeunetics, (London: University of California Press, 1977), hlm. XII
177
(Khazanah Klasik), Esok ( al Mustaqbal) personifikasi dari Turats Gharbi (Khazanah Barat), Sekarang (al Hali) personifikasi dari al Waqi’ (Realitas Kekinian).106
Tiga akar pijakan pemikiran ini oleh Hassan Hanafi disebut sebagai Trifrontasi (al Jabhah al Tsalatsah). Bagi Hanafi, umat Islam kita berada dalam segitiga piramida pemikiran itu. Dalam Turath Qadim kita meletakkan khazanah klasik sebagai acuan berpikir yang mempunyai bentangan sejarah perdaban sangat luas dan dalam serta memiliki akar yang kokoh. Dalam Turats Gharbi kita meletakkan khazanah barat sebagai tamu peradaban yang mempunyai bentangan sejarah selama sekitar dua abad (masa saat umat Islam mulai mengakui adanya signifikansi budaya barat sehingga dia harus datang dengan posisi sebagai murid). Sedangkan dalam al Waqi’ kita meletakkan realitas kontemporer sebagai ladang untuk bertanam, bercangkok dan berinteraksi antar khazanah klasik dan khazanah barat. Korelasi di antara ketiganya (khazanah klasik, khazanah barat dan realitas kekinian) sangat kuat sehingga antara satu sama lainnya tidak mungkin dipisahkan. Di sinilah proses terjadinya akulturasi (Al Tathaqquf/Al Tahaddlur) tidak mungkin terelakkan. Secara skematis bisa dilihat format proyek Al Turath Wa Al Tajdid Hassan Hanafi sebagai berikut :
106 Hassan Hanafi, Islam In The Modern World: Religion, Ideology and Development. Vol 1, (Kairo: Dar Kebaa Bookshop, 2000), hlm. 58
KITA
178
Sementara Turats menurut Hassan Hanafi bukanlah sekedar barang mati yang telah ditinggalkan oleh orang-orang terdahulu di perpustakaan atau museum baik dalam bidang agama, sastra, seni, ataupun ilmu pengetahuan. Tetapi, lebih dari itu, Turats adalah elemen-elemen budaya, kesadaran berpikir serta potensi yang hidup dan masih terpendam dalam tanggungjawab generasi berikutnya. Dia adalah sebagai dasar argumentatif dan sebagai pembentuk “Pandangan Dunia” (World View) serta pembimbing perilaku bagi setiap generasi mendatang. 107
Akan tetapi, kenyataan membuktikan bahwa Turats kita telah banyak dicemari oleh hegemoni feodalisme akibat ulah tangan-tangan penguasa= kanan yang menindas. Sementara umat yang tertindas = kiri yang ditindas selalu menjadi kaum lemah dan terjajah. Hanafi menggambarkan adanya kecenderungan kooptasi agama oleh kelompok elit penguasa dan praktek keagamaan semata diubah menjadi ritus dan rutinitas. kecenderungan seperti itu hanya “kedok” yang menyembunyikan sikap feodalisme dan kapitalisme rakus kelompok elite penguasa. Berangkat dari realitas di atas, Hassan Hanafi memandang perlunya langkah-langkah eksploratif terhadap Turats yang berorientasi pada kepentingan umat Islam yang tertindas. Turats harus di revitalisasi dan bukan hanya sekedar di pajang, dikutip dan disyarah. Turats hendaknya mampu menjadi basis dan titik tolak bagi kekuatan revolusioner umat Islam.
Reaktualisasi tradisi keilmuan Islam berarti mengaktualkan (menghidupkan) kembali tradisi keilmuan Islam. Dengan mengaktualkannya, berarti kita selama ini tidak aktual atau tidak sejalan dengan kenyataan yang ada sehingga diperlukan upaya untuk menjadikannya real melalui modifikasi atau reformasi. Selain itu, ia dapat pula dipahami bahwa ajarannya yang riil, atau hakikat, tidak lagi berjalan dalam masyarakat, dan dengan demikian, ia perlu disingkapkan kembali untuk kebutuhan hidup sekarang. Usaha mengaktualkan tersebut barangkali dilakukan dengan
107 Lukman Hakim, Revolusi Sistemik: Solusi Stagnasi Reformasi Dalam Bingkai Sosialisme Religius, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003), hlm. 21
179
pemahaman dan penghayatan tradisi keilmuan Islam melalui reinterpretasi. Oleh karena itu, Hassan Hanafi menekankan perlu rasionalisme untuk revitalisasi khazanah Islam, karena Rasionalisme merupakan keniscayaan untuk kemajuan dan kesejahteraan muslim serta untuk memecahkan situasi kekinian di dalam dunia Islam.
b. Menantang peradaban Barat
“Islam and the west” is a connection between a religion and a geographic region. Any comparison is between two entities from the same kind. Islam is seen as a religion not as a culture while the West is seen as a culture not as a religion.”108
Kiri Islam hadir untuk menantang dan menggantikan kedudukan peradaban Barat. Jika al-Afghani memperingatkan tentang imperialisme militer, maka Kiri Islam pada awal abad ini telah menghadapi ancaman imperialisme ekonomi berupa korporasi multi nasional, sekaligus mengingatkan akan ancaman imperialisme kebudayaan. Imperialisme kebudayaan dilakukan dengan cara menyerang kebudayaan dari dalam, dan melepas afiliasi umat atas kebudayaannya sendiri, sehingga umat tercabut dari akarnya. Kiri Islam memperkuat umat Islam dari dalam, dan tradisinya sendiri berdiri melawan pembaratan yang pada dasarnya bertujuan melenyapkan kebudayaan nasional dan memperkokoh hegemoni kebudayaan Barat.109 Meskipun dilihat dari standar Barat, rakyat kita terbelakang, namun sebenarnya masih menyimpan unsur-unsur kekuatan dengan standar budaya khas milik sendiri.
Seruan untuk menantang dan menggantikan peradaban Barat, kemudian ditindaklanjuti Hanafi dengan mengemukakan bahwa kita harus mengembangkan Oksidentalisme (al-Istighrab) yang merupakan tandingan
108 Hassan Hanafi, Cultures and Civilizations ‘conflict or dialogue’, (Cairo: t.p, 2006), hlm.61
109 Hassan Hanafi, Kiri Islam, dalam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam Antara Modernisme dan Postmodernisme, Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi, Cet. IX, (Yogyakarta: LKiS, 2012), hlm. 135-136
180
lawan bagi Orientalisme (al-Istisyraq). Untuk itu ia menerbitkan sebuah buku yang cukup tebal yaitu Muqaddimah fi ‘ilm al-Istighrab (Pengantar Ilmu Oksidentalisme).
Ajakan Hanafi untuk mempelajari dan mengembangkan ilmu Oksidentalisme seperti itu merupakan ajakan untuk menyikapi Barat sebagai objek studi, ajakan untuk mengubah sikap dan kedudukan dari objek pasif menjadi subjek aktif, ajakan untuk menghilangkan mental penakut dan “pantas dijajah” untuk diganti dengan mental pemberani, percaya diri dan selanjutnya perasaan punya harga diri, ajakan untuk memperkecil dan mempersempit lahan dominasi Barat, untuk selanjutnya menghilangkannya sama sekali. Ajakan-ajakan tersebut merupakan ajakan pembebasan dari hegemoni kultural dan superioritas Barat.
Oksidentalisme Hanafi adalah penyadaran dan penegasan bahwasannya Barat termasuk sejarah dan peradabannya bukanlah peradaban dunia. Tidak ada alasan untuk menyatakan hal itu, apalagi memaksakan nilai-nilai peradaban Barat. Oksidentalisme merupakan penyadaran bahwa Barat tidak lain hanyalah fenomena khusus, dalam kondisi khusus dan cakupan wilayah yang khusus pula. Peradaban Barat adalah regional Eropa yang secara gencar dan pongah menyatakan diri sebagai peradaban mondial.110
Tugas kiri Islam adalah mendorong peradaban Barat kembali ke Barat, menjadikan Barat sebagai tema studi khusus bagi peradaban non-Barat. Lebih jauh, Kiri Islam akan melahirkan suatu disiplin ilmu baru, yakni “Oksidentalisme”,111 sebagai tandingan terhadap “Orientalisme”. Orientalism as a field of research
110 Hassan Hanafi, Muqaddimah fi ‘Ilm al-Istighrab, cet.I, (Kairo: Al-Dar al-Faniyah, 1991), hlm 9
111 Sebagai istilah yang independen, memang Oksidentalisme amat jarang dijumpai di dalam literature keislaman modern, bahkan juga dalam wacana dunia berkembang dengan cakupan yang lebih besar. Oksidentalisme sebagai satu ilmu yang khusus mengkaji Barat dan kebaratan dari sudut pandang non-Barat, merupakan gejala baru yang muncul pada dekade akhir abad ini. Namun, itu hanya suatu gaungan ide yang belum diaplikasikan dalam suatu bentuk ilmu yang mapan, memang benar studi tentang kebaratan sudah dimulai sejak awal era kebangkitan Islam atau dunia ketiga lainnya. Tapi studi-studi tersebut masih sarat dengan analisis deskriptif yang sumber utamanya adalah Barat sendiri. Alhasil, kajian-kajian Barat itu tidak lebih dari sekedar promosi atau propaganda buat seperioritas Barat. (A. Luthfi Syaukani, “Oksidentalisme: Kajian Barat setelah Kritik Orientalisme”, Jurnal ULUMUL QUR’AN, Edisi Khusus. No. 5 & 6, Vol. V, th. 1994, hlm. 118
181
emerged in the west in modern times, since the renaissance. Orientalisme sendiri lebih menghadirkan alam pikiran, pandangan dunia dan kepentingan Barat yang terselubung ketimbang studi objektif tentang dunia non-Barat.112 Karena pengaruh para orientalis, maka kita telah mengabaikan keaslian diri kita sendiri. Barat berperan sebagai subjek pengetahuan sekaligus sebagai pengkaji, sementara non-Barat (Timur) sebagai objek pengetahuan dan diperlakukan sebagai museum antropologis. Peran tersebut sangat mungkin dipertukarkan dengan menciptakan Oksidentalisme untuk mengkaji fenomena yang disebut “Barat” dan sumber-sumber peradabannya.
Kiri Islam ingin memulai hidup baru yang berintikan wacana reformasi, vitalisasi, pencerahan, kebangkitan, transformasi sosial, dan revolusi. Dan secara praktis, Kiri Islam akan selalu memperjuangkan kemerdekaan tanah air (Arab) dan kedaulatan bangsa-bangsa. Kiri Islam akan mengemas ideologi-ideologi pembebasan untuk penguatan tiga perempat warga umat manusia. Jika kesadaran Eropa telah mendominasi selama lima abad terakhir ini, maka Islam sesungguhnya telah mendominasi lima abad sebelumnya. Dan sebagaimana peradaban pada masa lalu yang dimulai dari Timur, yakni Cina, India, Persia, dan Mesir, dan kemudian berpindah ke Yunani, Romawi dan Eropa, maka pada era kita sekarang ini peradaban kembali berpindah ke Timur. Peradaban Islam pun membuka risalahnya menuju Timur, sebagaimana Islam dahulu menyebar ke Timur di pantai-pantai utara sampai ke tengah gurun-gurun Asia.
Dengan demikian, Kiri Islam tidaklah semata-mata berupa perspektif politik terhadap realitas, juga bukan perspektif kultural terhadap masa lampau, tetapi merupakan pandangan kebudayaan terhadap sejarah bangsa-bangsa. Dia tidak bertumpu pada retorika belaka tetapi bertumpu pada analisis ilmiah akademis yang canggih, dan mendiagnosa kultul Barat dalam rangka membebaskan umat, sebagaimana yang telah dilakukan oleh para ulama salaf dahulu terhadap kebudayaan-kebudayaan destruktif.
112 A. Luthfi Syaukani, “Oksidentalisme..., hlm. 119
182
c. Analisis terhadap realitas dunia Islam
Untuk analisis realitas dunia Islam tersebut, Hanafi mengkritik metode tradisional yang bertumpu pada teks (nash), dan mengusulkan suatu metode tertentu, agar realitas dunia Islam dapat berbicara bagi dirinya sendiri. Hassan hanafi melihat bahwa dunia Islam kini sedang menghadapi tiga ancaman, yaitu: imperialisme, zionisme dan kapitalisme dari luar; kemiskinan; ketertindasan dan keterbelakangan dari dalam.113
Sejak era Al-Afghani, terlebih selam masa perang salib, sampai saat ini, imperialisme tetap merupakan isu terpenting yang dihadapi oleh dunia Islam. Di bidang ekonomi, imperialisme saat ini muncul dalam bentuk korporasi multinasional. Sementara di sektor budaya, munculnya dalam bentuk pem-barat-an yang merupakan upaya pembunuhan terhadap semangat kreatifitas bangsa dan mencabut mereka dari akar-akar kesejarahan. Secara militer, imperialisme mewujudkan diri dalam bentuk pangkalan militer asing yang hadir di seluruh dunia Arab, dari Maroko sampai tanah Arab bagian timur. Tugas Kiri Islam adalah memberikan peringatan secara terus menerus dan membongkar model-model imperialisme baru, rasisme Barat, dan salibisme historis yang terselubung.
Zionisme juga masih banyak menjadi ancaman laten bagi Islam dan kaum Muslimin. Akar-akarnya ada pada skuisme Ibrani kuno sampai zionisme politik di abad kita ini. Ambisinya bukan saja penaklukan bumi Palestina, tetapi telah merambah ke negeri-negeri sekitarnya, Libanon, Mesir dan bahkan lebih luas lagi sehingga hampir-hampir menguasai seluruh bumi. Lebih dari itu, zionisme juga berupaya menyebarkan pemikiran-pemikirannya kepada intelektual Arab-Islam hingga terlena. Kaum zionis mempunyai kemampuan rasio dan kesadaran, sedangkan pada kita hanya ada buruh yang murah melimpah. Zionisme tidak hanya menguasai sumber-sumber kekayaan kita sebagaimana ulah imperialisme konvensional, tetapi juga menguasai spiiritualitas kita, hingga akhirna zionisasi dunia Arab sebagai
113 Kazuo Shimogaki, Kiri Islam..., hlm. 9
183
jantung dan pusat dunia Islam. Zionisme kemudian menggantikan nasionalisme dan persatuan Arab, dengan kebudayaan Yahudi sebagai induk, dan kebudayaan Arab-Islam menjadi derivasinya. Zionisme menjadi pancang kebudayaan Semit, baik klasik maupun modern. Ancaman terhadap dunia Islam lainnya adalah kapitalisme yang dibangun di atas landasan perilaku ekonomi bebas, dan diikuti dengan persaingan bebas. Bentuk kongkritnya adalah laba, rente dan riba. Kapitalisme, selain mendatangkan dampak penindasan juga turut andil dalam menumbuhkan nilai-nilai destruktif dan hedonisme utilitarian. Hal itu berujung pada penciptaan kelas-kelas sosial dan kesenjangan kesempatan, yang pada gilirannya mengakibatkan pemusatan otoritas di tangan pemilik modal.
Kiri Islam menuntut hak-hak kaum miskin di dalam harta orang-orang kaya, lalu melakukan pengembagan masyarkat berdasarkan nilai-nilai persamaan dan keadilan sosial. Bagi Hanafi, sosialisme merupakan prinsip universal dan abadi, bukan sebagai sistem sosial yang mudah berubah oleh perubahan rezim.
Kiri Islam memperjuangkan kebebasan dengan segala dimensinya, menegakkan pemerintahan demokratis, dan mengajarkan bahwa semua manusia mempunyai hak untuk berperan dalam menentukan corak negerinya, tidak perlu ada tuduhan subvensi, tidak ada tuduhan pengkhianat. Semua adalah anak negeri yang mendambakan kebaikan. Kiri Islam mengupayakan al-amru bi-l-ma’ruf wa nahy munkar demi menjadikan kita umat terbaik yang dilahirkan untuk umat manusia.
Adapun misi Kiri Islam pada awal-awal abad ke 15 H ini adalah sebagai berikut :
a) Mewujudkan keadilan sosial di kalangan umat Islam, dan menciptakan masyarakat tanpa kelas agar jurang yang menganga di antara kaum miskin dengan orang kaya dapat terhapus, sejalan dengan petunjuk Al-Qur’an.
b) Menegakkan masyarakat yang bebas dan demokratis, di mana seriap individu berhak mengungkapkan pendapat, menyuarakan kritik dan melakukan amar ma’ruf nahy munkar.
184
c) Membebaskan tanah-tanah kaum Muslim dari kolonialisme di Palestina, menghapus pakta-pakta militer di dunia Islam dan mengembalikan kekayaan kaum muslimin setelah sekian lama sumber daya alam yang dimilikinya dihisap oleh imperialisme.
d) Membangun kesatuan Islam yang menyeluruh, yang dimulai dari kesatuan umat di Mesir, kemudian lembah Nil, Mesir dan Suriah, Mesir-Maroko, kemudian kesatuan dunia Arab dan akhirnya dunia Islam
e) Merumuskan sistem politik nasional yang bebas dari pengaruh super power, yaitu kebijakan bukan Barat dan bukan Timur, sealur dengan nas Al-Qur’an, serta mempererat jalinan persahabatan dengan bangsa-bangsa Asia-Afrika yang merupakan bangsa-bangsa Islam dan Dunia Ketiga.
f) Mendukung gerakan revolusioner kaum terjajah dan tertindas karena sesungguhnya Islam hadir untuk mereka. Revolusi mereka adalah revolusi Islam. Bukan salah mereka kalau mereka tak terjangkau oleh risalah Islam, tapi salah kita yang tidak beerusaha untuk menyampaikan kepada mereka.114
3) Tauhid
Sewaktu Islam dipancangkan sebagai agama yang mengatur aspek spiritual, sebagaimana agama-agama lain, Tauhid sering dipahami sebagai “Keesaan Tuhan”. Oleh karena itu jalan terbaik untuk memahami Tauhid adalah dengan mengartikannya sebagai ”penyatuan”.115 Ketika gagasan ini dikembalikan pada bidang ketuhanan maka akan berarti ”mengesakan hanya pada satu Tuhan”. Sebagaimana diketahui bersama, Islam mencakup bidang-bidang keduniawian, mental sekaligus ketuhanan. Dengan demikian bagaimana tauhid berfungsi dalam pemikiran muslim dalam lembaga-lembaga sosial politik Islam dan dalam peradaban.
Dalam tauhid secara logis dapat ditarik pengertian bahwa penciptaan Tuhan adalah Esa. Ia menolak segala bentuk diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit,
114 Hassan Hanafi, Kiri Islam..., hlm. 163-164
115 Tauhid adalah kata benda verbal dari kata wahhada (menyatukan, membuat jadi satu). Oleh karena itu penyatuan (unifikasi) secara harfiah benar.
185
kelas, garis keturunan, kekayaan dan kekuasaan. Menempatkan manusia dalam kesamaan. Jadi jelaslah bahwa seluruh aspek kehidupan sosial Islam harus diintegrasikan kedalam jaringan relasional Islam. Jaringan ini pandangan dunia tauhid yang mencakup aspek-aspek keagamaan dan keduniawian, spiritual, material, sosial dan individual. Dalam hal ini Hasan Hanafi menguji jaringan relasional Islam melalui ibadah (rukun Islam).
1) Syahadat adalah persaksian seorang muslim. Mereka bersaksi “Tidak ada Tuhan melainkan Allah, Tuhan Yang Esa dan Muhammad adalah utusan Allah”. Pada penggalan pertama politeisme diingkari. Muslim menyatakan tauhid merupakan jaringan relasional Islam. Penggalan kedua, muslim mengakui Al-quran diturunkan kepada manusia melalui perantara Muhammad. Ini merupakan bentuk jaringan relasional Islam.
2) Shalat. Adalah dialog spiritual langsung seorang muslim kepada Tuhan, hal ini tidak hanya aspek spiritual saja tapi ada gerakan yang menuju olah fisik, menghadap kiblat dan tepat waktu berarti melatih solidaritas, wudhu dan ghusl menyangkut kebersihan badan dan konstruksi masjid yang mencakup aspek sosial.
3) Puasa. Tidak hanya aspek mentalitas saja, tapi cara puasa merupakan pelatihan solidaritas sosial (merasakan penderitaan orang yang kelaparan). Puasa dikerjakan pada bulan Rhamadhan secara serentak oleh umat Islam menunjukkan gerakan sosial dan wujud persatuan bagi umat Islam.
4) Zakat, dilihat secara vertikal merupakan aspek spiritual dan zakat yang merupakan shadaqah untuk kaum fakir, miskin, gharim, sabilillah merupakan aspek sosial dan ketika sudah eksis di masyarakat berkembang menjadi aspek ekonomi.
5) Haji. Ibadah haji merupakan suatu ibadah yang dilaksanakan dalam aksi-aksi nyata baik secara individu maupun sosial, oleh karena itu disebut sebuah peristiwa konferensi.
186
Menurut Hasan Hanafi, dalam lima kewajiban itu terlihat bahwa masalah yang bersifat spiritual juga bersifat material, aksi yang duniawi juga agamawi, yang individual sekaligus sosial. Dapat dikatakan bahwa jaringan relasional Islam yang tampak adalah didasarkan pada pandangan dunia Tauhid. Kehidupan muslim adalah kehidupan yang pasti dan dalam kehidupan itu dibutuhkan lembaga ekonomi, politik, sosial dan kultural.116
Sepanjang semangat Islam atau pandangan dunia Tauhid menegaskan universalitasnya, maka cita-cita Islam akan sempurna.
5. Teologi Pembebasan
Kedatangan Islam membawa suatu gerakan revolusioner di dalam panggung sejarah kehidupan manusia, baik dalam tatanan teologi maupun dalam tatanan sosial atau ekonomi. Namun demikian menurut Hasan Hanafi setelah Nabi Muhammad meninggal, Islam seperti kehilangan daya revolusioner. Perebutan kekuasaan dengan orientasi pada kepentingan pribadi, berlangsung silih berganti sehingga muncullah orang-orang yang menginginkan status quo.
Hasan Hanafi mengembangkan pemikiran teologi pembebasan dalam kerangka pemikiran Kiri Islam. Dasar pemikirannya muncul dari reaksi terhadap program modernisasi di negara-negara Islam. Berikut penilaian Hasan Hanafi, modernisasi cenderung terkait dengan kekuasaan, kecenderungan liberal berkembang sebelum berlangsungnya revolusi Arab, adanya gejala-gejala revolusoi nasional yang menimbulkan perubahan mendasar didalam struktur sosial budaya.
Sekarang ini agama apapun, dihadapkan pada tantangan-tantangan berupa relevansi sosial. Jika suatu agama kehilangan relevansi sosial, maka agama tersebut pelan-pelan akan pudar. Untuk itu dicarikan jalan keluar atas krisis kemanusiaan. Menurut Amin Rais ada lima macam krisis kemanusiaan:
− Tatanan etika dan moral manusia modern mengalami penjungkirbalikan yang luar biasa.
116 Kazuo Shimogaki, Kiri Islam..., hlm. 24-26
187
− Adanya kesenjangan sosial antara golongan kaya dengan kelompok miskin.
− Adanya ketimpangan pendidikan.
− Suasana kehidupan global dan nasional yang bersifat Hobessian (yang kuat memeras yang lemah).
− Adanya kerusakan ekologi akibat ulah manusia.
Bagi Hanafi untuk memfungsikan teologi menjadi ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi masa kini, yaitu dengan melakukan rekonstruksi dan revisi, serta memangun kembali epistimologi baru yang shahih dan signifikan. Tujuan rekonstruksi teologi Hanafi adalah menjadikan teologi tidak skedar menjadi dogma-dogma keagamaan yang kososng melainkan menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan sosial. Ilmu yang menjadikan keimanan-keimanan tradisional berfungsi secara aktual sekaligus sebagai landasan etik dan motivasi tindakan manusia.
Rekonstruksi teologi bagi Hanafi adalah salah satu cara yang mesti ditempuh jika teologi diharapkan dapat mmberikan sumbangan yang kongkrit bagi sejarah kemanusiaan. Kepentingan rekonstruksi itu pada tahap awal adalah untuk mentransformasi teologi menuju antropologi, menjadikan teologi sebagai wacana tentang kemanusiaan, baik secara eksistensi, kognitif maupun kesejarahan.
Teologi Islam adalah teologi yang membumi dalam makna bahwa, ia mesti sanggup menjawab tantangan, dinamika dan problematika seluruh kehidupan manusia. Problematika yang muncul ketika realitas umat masih diliputi penjajahan, ketakutan, kemiskinan, ketimpangan, intimidasi, konservativisme, pembaratan, kebodohan, kehilangan rasa percaya diri dan kreatifitas, perpecahan dan sederet predikat tidak sedap lainnya. Ketika realitas umat seperti itu, maka kita dituntut untuk menjadikan predikat-predikat tidak sedap itu sebagai tema-tema utama ilmu Ushuluddin. Hal itu berarti mengharuskan adanya rekonstruksi ilmu Tauhid, dari pola lama menjadi tauhid modern yang dihadapkan langsung dengan realitas umat.
Langkah-langkah rekonstruktif itu dapat dilakukan sebagai berikut:
188
Pertama, membngun suatu kerangka ideologi yang mempunyai karakteristik yang jelas ditengah pergumulan bebagai ideologi yang ada di muka bumi ini. Langkah itu dilakukan dengan mengadakan transformasi sosial(al-Taghyir al-Ijtima’i) sambil tetap menjaga kesinambungan masa kini dengan masa lalu. Dengan cara itu berarti ilmu Tauhid telah membangun kerangka teoritis bagi upaya orientasi dan transformasi sosial. Selain itu berarti pula bahwa ilmu tauhid telah menjembatani kesenjangan antara “kehampaan teoritis” dengan ”kebekuan amali” dalam kehidupan umat masa kini. Namun langkah itupun menuntut pembentukan kaidah-kaidah praktis yang diambil dari muatan-muatan realitas, baik yang bersifat materi maupun maknawi. Hal itu dengan sendirinya akan memunculkan tema-tema teologis baru, seperti: Teologi Revolusi, Teologi Pembebasan, Teologi Pembangunan, Teologi Transformasi sosial. Itu semua merupakan risalah (misi) tauhid.
Kedua, penegasan bahwa ilmu tauhid corak baru ini tidak hanya mempunyai fungsi teoritis tetapi juga mempunyai fungsi praktis. Tujuannya untuk mewujudkan suatu ideologi secara nyata sebagai suatu gerakan dalam bentang sejarah, setelah dilakukan pemberdayaan umat lewat reorientasi pemahaman tauhid umat. Fungsi-fungsi amaliahnya adalah berupa penghapusan penjajahan secara langsung atau tidak atas negara-negara muslim. Penghapusan segala bentuk penindasan yang tercermin malalui banyaknya jumlah napol. Mempersatukan umat yang terpecah-belah, menghilangkan batas-batas palsu buata colonial.
Ketiga, setelah penegasan dan integrasi fungsi tauhid diatas, perlu langkah praktis berikutnya yaitu tawhid (mempersatukan) dan integarsi seluruh dunia Islam (al-Alam al- Islami) hingga melampaui batas-batas teritorial dan geografis mereka. Hal itu dimaksudkan untuk menegaskan kesatuan dunia Islam dalam segala aspek (pemikiran, pergerrakan, hukum, ideologi dan sebagainya) terlepas dari keragaman bahasa bahasa, etnis dan bangsa. Kesamaan, budaya, sejarah peradaban dan tantangan dunia Islam adalah lebih besar ketimbang batas-batas Negara dan editorial mereka. Kesamaan itu dapat menjadi perekat diantara mereka dalam menyatukan langkah
189
untuk membangun kembali peradaban dan megembalikan kembali dunia ke tangan mereka.
E. REFLEKSI
Hasan Hanafi dikategorikan sebagai pemikir Islam revolusioner yang menjadi tulang punggung revolusi Islam Iran dan sebagai reformis tradisi intelektual Islam klasik yang mirip Muhammad Abduh dan penerus gerakan al-Afghani. Sebagai seorang pemikir, Hasan Hanafi hanya membahas revolusi dunia Islam di Iran serta arah pemikirannya pada negara arab dan sekitarnya, tidak sampai pada negara- negara Islam lainnya atau seluruh dunia. Hal ini diantaranya yang menyebabkan Kiri Islam tidak banyak mendapat perhatian dari para intelektual muslim.
Dalam hal ini tugas Kiri Islam adalah memperjuangkan kebebasan dengan segala dimensinya, menegakkan pemerintahan demokrasi dan mengajarkan bahwa semua manusia mempunyai hak untuk berperan didalam menentukan corak negerinya, tidak perlu ada tuduhan subversi (menggulingkan pemerintahan) serta tidak ada tuduhan penghianat.
Sebagai seorang pemikir Hasan Hanafi mendapat beberapa kritikan dari orang lain, diantaranya yang disampaikan oleh Kazuo Shimogaki.
Pemikiran Hassan hanafi telah memberi kesan lebih kurang modernis, namun sebagai layaknya sebuah definisi ia tidak seluruhnya benar, terutama karena Hassan hanafi menggunakan pisau analisis fenomenologi yang muncul di barat untuk melawan modernisme. Kendatipun ia menyerap modernitas dan praposmodernitas, ia belum merambah pada gerakan pemikiran paling baru di barat, yaitu posmodernisme secara tuntas dan menyeluruh. Sehingga pemikiran Hanafi masih pada permukaan.
190
Mengenai istilah Kiri Islam yang digunakam Hasan Hanafi, bukanlah hasil ciptaannya karena pada tahun 1972 A.G Salih sudah menggunakan istilah Kiri Islam dalam karya tulisnya.
Pembahasan mengenai imperialisme kultur. Bahwa sejak dulu hubungan antara dunia barat dengan dunia Islam sudah bergesek bahkan sebelum perang Salib, oleh karena itu di barat citra Islam terkesan negatif, bahkan tidak hanya masalah citra, tetapi sudah merambah pada dunia akademik barat yang akhirnya melahirkan istilah ”orientalisme”.
Penilaian terhadap Kiri Islam; Pada kenyataanya Hasan Hanafi mengemukakan beberapa permasalahan yang sangat penting dan argumennya tajam. Akan tetapi Kiri Islam tidak mampu mempengaruhi kaum intelektual dan massa di dunia Arab-Islam.
Kritik yang disampaikan oleh Nurcholish Madjid.
Menyayangkan sikap Hasan Hanafi yang tidak memberikan apresiasi kepada tasawuf. Padahal, kata Cak Nur, masalah hubungan antara kepentingan dan pengetahuan sebetulnya di bahas di dalam tasawuf. Dalam jargon tasawuf, ikhlas adalah hal syang paling sulit. Sehingga, dalam kitab Al-Hikam, kitab tasawuf yang paling sederhana diungkapkan bahwa keikhlasan merupakan rahasia antara Tuhan dan manusia. Keikhlasan memang sulit. Dalam Al-Hikam dilukiskan, bahwa seorang sufi besar sekalipun sulit sekali mengikis kecenderungan pamrih atau riya’. Masalah tersebut oleh cak Nur ditransformasikan kedalam ilmu sosial modern, dengan mengatakan bahwa pengetahuan merupakan hasil dari konstruksi secara sosial. Jadi sebetulnya apa yang dikatakan dalam ilmu tasawuf sebagai hawa al-nafs (keinginan diri sendiri) adalah wujud dari konstruksi sosial. Karena itu Hasan Hanafi ingin melihat Islam tidak dari teks tapi dari kenyataan.
Meskipun banyak keterbatasan (yang sesungguhnya fundamental) yang ditunjukkan oleh Shimogaki dari pemikiran Hassan Hanafi tersebut, namun apa yang dilakukannya tentu harus mendapat apresiasi sebagai usaha revitalisasi pemikiran
191
Islam, terutama perlawanannya terhadap kooptasi kekuasaan atas agama, yang menjadikan agama sebatas ritus yang melanggengkan status quo.
192
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari berbagai uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa menurut Hassan Hanafi, saat ini umat Islam mengalami tiga masalah yang sangat krusial yang harus segera ditindak lanjuti sebagai upaya membangkitkan kembali semangat kemajuan Islam tanpa harus dipengaruhi oleh Barat. Masalah-masalah yang dihadapi umat Islam sekarang adalah keterbelakangan, kemiskinan dan kebodohan. Posisi pemikiran Hassan Hanafi dalam dunia Islam, terutama dalam kaitannya dengan kiri Islam adalah seorang pemikir revolusioner, reformis (pembaharu) tradisi intelektual Islam klasik dan sebagai penerus gerakan al-Afghani.
Pada awal dasawarsa 1960-an pemikiran Hanafi dipengaruhi oleh faham-faham dominan yang berkembang di Mesir, yaitu nasionalistik-sosialistik populistik. Awal periode 1970-an, sebagai seseorang yang mempunyai ideologi cemerlang, Periode selanjutnya, yaitu dasawarsa 1980-an sampai dengan awal 1990-an, dilatarbelakangi oleh kondisi politik yang relatif lebih stabil ketimbang masa-masa sebelumnya.
Hassan hanafi hadir dengan pemikiran-pemikiran pembaharuannya dengan cara merevitalisasi khazanah Islam klasik, menantang peradaban barat (salah satunya dengan konsep “oksidentalisme”nya), dan melakukan analisis terhadap realitas dunia Islam.
Demikianlah uraian makalah tentang Kiri Islam yang dimunculkan oleh Hasan Hanafi, seorang intelektual muslim dan revolusioner yang menyumbangkan hasil fikirannya untuk mengangkat kaum lemah, tertindas, termarjinalkan dalam dunia Islam agar bisa sejajar dengan yang lainnya.
193
DAFTAR PUSTAKA
Badruzaman, Abad. Kiri Islam Hassan Hanafi: Menggugat Kemapanan Agama dan Politik. Yogyakarta:Tiara Wacana Yogya, 2005.
Dahlan, Muhidin M. Sosialisme Religius Suatu Jalan Keempat. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2001.
Gadamer, Hans George. Philosopical Hermeunetics. London: University of California Press, 1977.
Hakim, Lukman. Revolusi Sistemik: Solusi Stagnasi Reformasi Dalam Bingkai Sosialisme Religius. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003.
Hanafi, Hassan. Al-Yamîn wa-l-Yasâr fi-l-Fikr Ad-Dînî. Damaskus: Dar-Alâudin, 1996.
Hanafi, Hassan. Madza Ya’ni al-Yassar al-Islami, Kitabat fi al-Nahdhah al-Islamiyah. Kairo: al-Markaz al-Arabi li-al-Bahts wa al-Nasyr. 1981
Hanafi, Hassan. Islam In The Modern World : Religion, Ideology and Development. Vol 1. Kairo: Dar Kebaa Bookshop, 2000.
Hanafi, Hassan. Cultures and Civilizations ‘conflict or dialogue’. Cairo: t.p, 2006.
Hanafi, Hassan. Muqaddimah fi ‘Ilm al-Istighrab. Cet.I. Kairo: Al-Dar al-Faniyah, 1991.
Kusnadiningrat, E. Teologi dan Pembebasan, Gagasan Islam Kiri Hassan Hanafi. Cet. I. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999.
Saenong, Ilham B. Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-Qur’an Menurut Hassan Hanafi. Cet. I. Jakarta: Teraju, 2002.
Shimogaki, Kazuo. Between Modernity and Posmodernity, the Islamic Left and Hassan Hanafi’s Thought: A Critical Reading (terj. Kiri Islam Antara Modernisme dan Postmodernisme, Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi oleh M. Imam Aziz & M. Jadul Maula). Cet. IX. Yogyakarta: LKiS, 2012.
Syaukani, A. Luthfi. “Oksidentalisme: Kajian Barat setelah Kritik Orientalisme”, Jurnal ULUMUL QUR’AN, Edisi Khusus. No. 5 & 6, Vol. V, th. 1994.
194
Wahid, Abdurrahman. “Hassan Hanafi dan Eksprementasinya”. pengantar dalam Kazuo Shimogaki. Kiri Islam Antara Modernisme dan Postmodernisme, Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi . Cet. IX. Yogyakarta: LKiS, 2012
195
WACANA ISLAM LIBERAL
Wacana Islam Liberal ; Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-Isu Global
Oleh: Miftahul Jannah
NIM: 14750007
A. Pendahuluan
Ajaran Islam dibawa oleh Nabi Muhammad yang bersumber pada al-Qur’an dan hadis. Namun sepeninggal Nabi Muhammad, Islam terpolarisasi dalam berbagai kelompok. Kemunculan berbagai perbedaan pemikiran dalam Islam sebenarnya tidak lepas dari adanya perbedaan interpretasi diantara umat Islam sendiri. Munculnya beragam varian pemikiran, aliran dan ideologi dalam Islam seiring dengan berkembangnya zaman, salah satunya juga diakibatkan oleh proses modernisasi yang terjadi. Beberapa yang muncul dan berkembang di antaranya yaitu Islam modernis, Islam neo-modernis, Islam fundamentalis, Islam radikal, bahkan Islam liberal.
Pada hakikatnya ada titik-titik berlebihan dan kelemahan pada pemikiran kaum Islam liberal itu. Titik kelebihan yang menonjol, bahwa mereka telah merangsang kebangkitan kaum tradisionalis untuk bangkit berijtihad dan melakukan berbagai perubahan. Tetapi titik-titik kelemahannya cukup banyak. Paling tidak sikap reaktif mereka terhadap kenyataan tidak dibarengi denganimplementasi riil yang dapat dirasakan oleh umat secara luas sehingga menyadarkan mereka bahwa karya mereka bermanfaat bagi umat. Juga tidak jarang lebih banyak bersifat teoritik dan mencibir serta apologetik dan berbangga diri sehingga melahirkan arogansi intelektual.117
Islam liberal berasumsi bahwa manusia memiliki intelektual rasional, memiliki kemampuan untuk mengetahui berbagai permasalahan serta menyelesaikannya sehingga diperoleh perbaikan umat Islam yang sistematis. Selain itu, Islam liberal dalam menafsirkan nash-nash keagamaan (Al-Qur’an dan Al-Hadits) untuk memecahkan masalah yang dihadapi oleh umat berlandaskan pada ; pertama
117Leonard Binder, Islam Liberal:Kritik terhadap Ideologi-Ideologi Pembangunan (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001) hlm. 19
196
membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam; kedua, mengutamakan semangat religioetik, bukan makna literal teks, memisahkan mana unsur peradaban dan unsur fundamental; ketiga, mempercayai kebenaran yang relative (plural); keempat, memihak pada kelompok minoritas dan tertindas, kelima, meyakini kebebasan beragama, keenam, memisahkan otoritas duniawi dan ukhrowi, otoritas agama dan politik.118
B. Biografi dan Karya Charles Khurzman
Charlez Khurzman adalah seorang professor sosiologi di Universitas North Carolina di Chapel Hill dan asisten direktur di Carolina Pusat Studi Timur Tengah dan Peradaban Islam. Buku-buku yang pernah ditulisnya adalah The Missing Martyrs (2011), Democracy Denied 1905-1915 : Intellectuals and The Fate of Democracy (2008), The Unthinkable Revolution in Iran (2004), Liberal Islam: A Sourcebook (1998) dan Modernist Islam, 1840-1940 : A Sourcebook(2002).
C. Pengertian Islam Liberal
Kata ‘liberal’ adalah salah satu istilah asing yang diambil dari kata ‘liberalism’, ‘liberty’ dalam bahasa inggris dan ‘liberte’ dari bahasa perancis yang berarti kebebasan. Lebih lanjut Menurut Owen Chadwik kata “liberal” secara harfiah artinya bebas (free) dan terbuka, artinya “bebas dari berbagai batasan” (free from restraint).119
Islam itu sendiri, secara lughawibermakna “pasrah”, tunduk kepada Tuhan (Allah) dan terikat dengan hukum-hukum yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Dalam hal ini, Islam tidak bebas, tetpai di samping Islam tunduk kepada Allah SWT, Islam
118Tim Peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Paham-Paham Keagamaan Liberal Pada Masyarakat Perkotaan,(Jakarta: Depag.,2007), hlm. 3
119Adian Hussain, http://icmikendal.blogspot.com/2012/02/mengapa-barat-sekuler-liberal.html
197
sebenarnya membebaskan manusia dari belenggu peribadatan kepada manusia atau makhluk lainnya. Sehingga jika disimpulkan, Islam itu ‘bebas’ dan ‘tidak bebas’.120
Liberalisme diartikan sebagai paham yang berusaha memperbesar wilayah kebebasan individu dan mendorong kemajuan sosial. Liberalisme merupakan paham kebebasan, artinya manusia memiliki kebebasan atau jikadilihat dari perspektif filosofi, merupakan tata pemikiran yang landasan pemikirannya adalah manusia yang bebas. Bebas, karena manusia mampu berpikir dan bertindak sesuai dengan apa yang di inginkan.121
Di dalam bukunya, Kurzman mengutip tulisan seorang sarjana hukum dari India yang bernama Asaf ‘Ali Asghar Fyzee (1899-1981) mengenai definisi Islam liberal, yaitu : “kita tidak perlu menghiraukan nomenklatur, tetapi jika sebuah nama harus diberikan kepadanya, marilah kita sebut itu ‘Islam Liberal’.122Fyzee ini pula yang pertama kali menggunakan istilah ‘Islam Liberal’, bahkan ia menggunakan istilah lain yaitu ‘Islam Protestan’ untuk menunjuk Islam yang non ortodoks, Islam yang kompatibel terhadap zaman, dan Islam yang berorientasi masa depan, bukan masa silam.Kemudian istilah ini dipopulerkan di Indonesia melalui karya Greg barton, Leonard Binder dan Charles Kurzman. Untuk di Indonesia wacana Islam Liberal ini dipertajam dengan munculnya jaringan Islam Liberal yang dikomandani oleh Ulil Abshar Abdalla.
Istilah “liberal” merujuk kepada keadaan atau sikap orang atau gerakan tertentu yang bersedia menghargai gagasan atau perasaan orang lain, yang juga mendukung perubahan-perubahan sosial, politik dan keagamaan melalui “pembebasan”
120Adian Husain dan Nu’im Hidayat, Islam Liberal; Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya, (Jakarta: Gema Insani, 2002) hlm. 2
121Budhy Munawar, Argumen Islam Liberalisme Untuk Islam Progresif dan Perkembangan Diskursusnya (Jakarta : Grasindo, 2010), hlm. 3
122 Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal : Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global (Jakarta : Paramadina, 2003) hlm. xiii
198
pemikiran dari pandangan dunia dan sikap literal, dogmatis, reaksioner atau pro status quo.123
Pemikiran Islam liberal memiliki landasan metodologis yang berpuncak pada keinginan besar untuk memberikan tafsiran Islam yang sesuai dengan moderniti dan pemikiran post-modernism. Pemikiran Islam liberal mencoba melakukan deconstruction terhadap segala pemikiran yang sudah baku.124
Bagi kalangan tertentu, penyebutan Islam liberal dipandang sebagai wacana yang cenderung disifatkan dengan dunia Barat.125 Oleh karena itu, Islam liberal dipandang dengan penuh kecurigaan bahkan sebenarnya mengandung konotasi negatif bagi sebagian dunia Islam, karena sering diasosiasikan dengan, dominasi asing, kapitalisme tanpa batas dan permusuhan kepada Islam. Seperti dikemukakan Charles Kurzman, membicarakan Islamliberal seringkali dibandingkan dengan Liberalisme Barat yang intinya sikap kritis, meskipun terdapat perbedaaan diantara keduanya, karena dalam Islam masih berpijak kepada al-Quran dan Hadis serta sejarah Islam.
Azyumardi Azra mengatakakan bahwa, pandangan negatif ini wajar muncul karena istilah liberal dalam kaitannya dengan konteks kehidupan agama terlanjur dipahami pejoratif yakni digunakan untuk menyatakan atau menyebut “lawan,” bukan untuk menyebut diri sendiri, misalnya ada yang memahami istilah liberal sebagai cara pandang agnostik yang ragu terhadap kebenaran agama.126
Kaum fundamentalis dan ortodoks biasanya menolak paham liberal ini dengan mengatakan bahwa liberalism adalah paham yang menganut asas kebebasan tanpa batas, dengan tidak menghiraukan nilai moral dan orang lain. Padahal kaum liberal itu berpikir bahwa agama itu harus ditransformasikan menjadi penalaran moral (moral reasoning). Kaum liberal justru membatasi kebebasan, sepanjang tidak melanggar hukum dan hak orang lain. Dengan kata lain, kaum liberal berorientasi
123Azyumardi Azra, Konflik Baru Antar peradaban: Globalisasi, Radikalisme danPluralitas. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002).hlm. 113.
124 Lukman Hakim, Mengenal Pemikiran Islam Liberal (Banda Aceh : Jurnal Substantia, vol.14, No.1, April 2014)
125 Ibid
126Azyumardi Azra, op.cit., hlm. 113
199
pada kebebasan dalam kerangka hak-hak sipil dan hak-hak asasi manusia sebagai ukuran dan orientasi. Dengan demikian, jika ada penafsiran wahyu yang bertentangan dengan asas itu maka akan ditolak oleh kaum liberal.127
Di Indonesia wacana Islam liberal di tanah air pasca Orde Baru mencuat kembali seiring berdirinya Jaringan Islam Liberal (JIL) tahun 2001. Kelompok ini mencoba menawarkan pemahaman Islam yang lebih substantif dan progresif sebagai wacana tandingan kelompok Islam radikal. Mereka menolak negara agama tetapi menganjurkan sekularisasi atau pemisahan agama dan politik, demokrasi, pluralisme, multikulturalisme dan kebebasan berpikir (ijtihad). JIL lebih melihat Islam sebagai sebuah organisme yang hidup yang dapat berkembang sesuai dengan konteks perkembangan jaman yaitu melalui penafsiran yang non literal, substansial dan kontekstual.128
D. Pemikiran Islam Liberal Menurut Charles Kurzman
Menurut Charles Kurzman ada tiga tradisi interpretasi sosial religius dalam Islam yang selalu mengalami pergumulan pemikiran dan senantiasa menghiasi dunia Islam, yaitu Islam adat (customary Islam), Islam revivalis atau fundamentalist (revivalist Islam), dan Islam Liberal (Liberal Islam).
Tradisi pertama atau Islam adat ialah kelompok yang berupaya mengkombinasikan kebiasaan-kebiasaan lokal dan ritual Islam. Tradisi kedua atau Islam revivalis lebih pada upaya melakukan “purifikasi” terhadap Islam adat yang dianggap bertentangan dengan “Islam murni”, misal gerakan Wahabiyah pada abad 18 di Arab. Sedang tradisi ketiga atau Islam Liberal menurut Kurzman ialah tradisi yang berupaya menghadirkan kembali masa lalu Islam untuk kepentingan modernitas.
127Dawan Raharjo, Merayakan Kemajemukan Kebebasan dan Kebangsaan (Jakarta : Kencana, 2010) hlm. 277
128GATRA dalam Adib Fathoni, Dinamika Gerakan Islaam Liberal Di Indonesia (Jurnal At‐ Taqaddum, Volume 4, Nomor 2, 2012)
200
Kemunculan berbagai perbedaan pemikiran dalam Islam, termasuk hadirnya istilah faham Islam Liberal, sebenarnya tidak lepas dari adanya perbedaan interpretasi diantara umat Islam sendiri. Islam sebagai agama memang diakui dan dipercayai kaum muslim sebagai agama yang komprehensif. Namun al-Quran dan Hadist Nabi yang merupakan dua referensi utama kaum muslim hanyalah mengatur pokok-pokok doktrin Islam mengenai kehidupan sosial manusia, dantidak mendeskripsikan secara terperinci. Sementara disatu sisi dinamika sosial senantiasa berkembang dan semakin kompleks seiring perubahan zaman terutama adalah akibat proses modernisasi.129
Ideologi modernisasi yangberkembang pesat di Barat telah membawa perubahan fundamental dalam kehidupan masyarakat dunia termasuk di dunia Islam, tidak hanya menyangkut material (yaitu teknologi, sarana-prasarana) tetapi juga immaterial (pola pikir). Dalam konteks inilah pergumulan pemikiran munculdalam rangka merespon konteks sosial yang ada, yaitu untuk menjawab berbagai permasalahan yang muncul di masyarakat seiring dengan arus modernisasi. Ada kelompok yang ingin mempertahankan “otensitas Islam” dan dipihak lain adapulakelompok yang berupaya mengkontekstualisasikannya dengan berkompromi pada kondisi kekinian. Hal ini kemudian membawa implikasi terpolarisasinya gerakan Islam dalam meresponmodernitas yang memunculkan kelompok yang menolak (Islamtradisional) dan sekaligus mendorong munculnya Islam revivalis (Islam modernis).130
Chales Kurzman selanjutnya mengidentifikasikan tiga bentuk utama Islam Liberal. Hal ini melibatkan interaksi yang intensif antara liberalisme dengan sumber-sumber primer di dalam khasanah tradisi Islam baik Al-Qur'an maupun Sunnah Rasul (praktek-praktek yang berasal dari Rasulullah). Pada bentuk yang pertama, menggunakan posisi atau sikap liberal sebagai sesuatu yang secara eksplisit didukung oleh syari’ah. Bentuk kedua menyatakan bahwa kaum muslim bebas mengadopsi sikap liberal dalam hal-hal yang oleh syari’ah dibiarkan terbuka untuk dipahami oleh
129Adib Fathoni, Dinamika Gerakan Islaam Liberal Di Indonesia (Jurnal At‐ Taqaddum, Volume 4, Nomor 2, 2012)hlm.102-103
130Ibid
201
akal budi dan kecerdasan manusia. Bentuk ketiga, memberikan kesan bahwa syari’ah, yang bersifat ilahiah ditujukan bagi berbagai penafsiran manusia yang beragam. Masing-masing ketiga bentuk tersebut dikenal dengan Syari’ah Liberal (Liberal Shari’a), Syari’ah yang Diam (Silent Shari’a), dan Syari’ah yang Ditafsirkan(Interpreted Shari’a).131
1) Syari’ah Liberal (Liberal Shari’a)
Bentuk pertama ini menyatakan bahwa syari’ah itu bersifat liberal pada dirinya sendiri jika dipahami secara cepat. Sebagai contoh, Ali Bullac, salah seorang Islamis liberal terkemuka di Turki yang dalam artikel-artikel yang belum diterjemahkan sebelumnya berpendapat bahwa piagam Madinah (Medina Document) – dimana Rasulullah menjamin hak-hak non-muslim untuk hidup di bawah pemerintahan muslim, menghadirkan sebauh contoh bagaimana Syari’ah memecahkan masalah-masalah kontemporer secara liberal. Abdurrahman I. Doi (India-Nigeria, lahir 1933) berpendapat bahwa Al-Qur’an merupakan konstitusi yang pertama di dunia, sedangkan orang-orang Kristen Eropa baru menemukan konstitusionalismenya satu abad kemudian. Maurice Bucaille (Perancis, lahir 1920) berpendapat bahwa Al-Qur’an memberikan metode-metode penalaran ilmiah, sedangkan kalangan ilmiah sekular satu abad lebih lama memahaminya. Syafique ‘Ali Khan (Pakistan, lahir 1936) dan Adbelkebir Alaoui M’Daghri (maroko, lahir 1942) berpendapat bahwa Syari’ah membangun kebebasan berfikir.
“Liberal Shari’a, merupakan bentuk Islam liberal yang paling berpengaruh. Khurzman mengajukan tiga penjelasan, pertama“liberal shari’a” menghindari tuduhan-tuduhan ketidakotentikan otentitas dengan mendasarkan posisi-posisi liberal secara kuat dalam sumber-sumber Islam ortodoks.Kedua,“liberal shari’a” menyatakan posisi-posisi liberal bukan sekedar pilihan-pilihan manusia, melainkan merupakan perintah Tuhan (yang membawa pada posisi yang menyimpang, yang juga membuat liberalisme Barat menderita, yang melakukan pembenaran atas
131Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal : Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global (Jakarta : Paramadina, 2003) hlm xxxiii
202
liberalisme dengan merujuk pada referensi liberalism, seperti tentang hak-hak yang “diberikan Tuhan”. Ketiga, liberal shari’a itu memberikan rasa bangga akan penemuan yang dihasilkan; berpendapat bahwa Islam liberal lebih tua dari liberalisme Barat merupakan sebuah strategi retorika yang kuat dikalangan orang-orang yang terlalu sering menginternalisasi citra-citra orang Barat tentang inferioritas dan keterbelakangan.
Namun demikian, bentuk wacana Islam Liberal masih sangat rentan terhadap serangan baik teroris mengenai dasar-dasar teologi ortodoks. Sementara yang lainnya telah memililiki kesiapan yang lebih baik, Bullac dan Bazargan, sebaliknya, secara otodidak berspekulasi untuk memahami analisa tekstual. Khurzman tidak bermaksud untuk menilai karya mereka, tetapi hanya ingin mengemukakan bahwa ini merupakan spekulasi intelektual yang sulit dilakukan. Berbeda dengan yang pertama ini, dua model atau bentuk Islam yang lainnya secara strategis mengubah lapangan perdebatan jatuh dari kubu ortodok ini.
2) Syari’ah yang diam (Silent Syari’ah)
Bentuk argumentasi Islam liberal yang kedua berpendapat bahwa syari’ah tidak memberi jawaban jelas mengenai topik-topik tertentu. Muhammad Salim Al-Awwa (Mesir, kontemporer), seorang sarjana hukum, meringkaskan pendapat ini sebagai berikut:
Jika Islam tidak “menyebutkan” sesuatu, hal ini menunjukkan satu dari dua hal : apakah ini tidak disebut dalam sumber-sumber tradisional maupun atau kaum muslim yang tidak pernah mempraktikannya sepanjang sejarah mereka. Dalam kasus yang pertama, tidak menyebutkan sesuatu berarti sesuatu itu dibolehkan. Pengecualian terhadap peraturan ini yang berlaku dalam masalah ibadah. Dalam kasus kedua merupakan hal yang alamiah bahwa kaum muslim seharusnya tanggap terhadap perubahan dan perkembangan setiap waktu dan tempat.
‘Abd Al-Raziq sarjana Mesir yang kontroversional, ikut serta mempelopori penggunaan kata ini secara figuratif pada tahun 1920-an dengan berpendapat bahwa syari’ah tidak menyebutkan bentuk khusus dari Negara yang harus diikuti oleh kaum muslim, karenanya memperbolehkan pembentukan demokrasi-demokrasi liberal.
203
Sebagaimana dicatat oleh Muhammad Sa’id Al-‘Asmawi (Mesir, lahir 1932) ” dari sekitar 6000 ayat alQur’an, hanya 200 ayat yang memuat aspek hukum, yaitu sepertigapuluh dari al-Qur’an termasuk ayat-ayat yang dinasakh oleh ayat-ayat sesudahnya.” Oleh karena itu, ‘Asmawi dan yang lainnya menyimpulkan bahwa al-Qur’an tidak memerintahkan untuk memberlakukan bentuk pemerintah tertentu.
“Silent shari’a” bersandar kepada tafsir al-Qur’an untuk membentuk pikiran utamanya. Namun, beban pembuktiannya sedikit lebih ringan dibandingkan dengan “liberal shari’a” yang hanya perlu menunjukkan perintah-perintah positif bagi kemampuan pembentukan-keputusan manusia secara abstrak, ketimbang praktik-praktik liberal secara khusus. Maka, ia memindahkan seluruh wilayah tindakan manusia dari wilayah kesarjanaan al-Qur’an, dimana pendidikan-pendidikan ortodoks memiliki keuntungan yang berbeda, dan menempatkanya dalam wilayah perdebatan publik.
“Silent shari’a” bersandar kepada tafsir al-Qur’an untuk membentuk pikiran utamanya. Namun, beban pembuktiannya sedikit lebih ringan dibandingkan dengan “liberal shari’ah” yang hanya perlu menunjukkan perintah-perintah positif bagi kemampuan pembentukan-keputusan manusia secara abstrak, ketimbang praktik-praktik liberal secara khusus. Maka, ia memindahkan seluruh wilayah tindakan manusia dari wilayah kesarjanaan al-Qur’an, dimana pendidikan-pendidikan ortodoks memiliki keuntungan yang berbeda, dan menempatkanya dalam wilayah perdebatan publik.
Kelemahan lainnya dari “silent shari’a” tersebut adalah karena bentuk ini menyisakan sedikit ruang untuk menentang elemen-elemen illiberal yang tidak diam dalam syari’ah. Sebagai contoh, dalam beberapa tempat, al-Qur’an berbicara tentang etika dalam pemilihan budak, penebus tawanan perang dan memotong bagian tubuh tertentu bagi para pelaku kriminal, jika praktik praktik ini secara eksplisit dibenarkan oleh wahyu Tuhan, kaum liberal dari kelompok ini (“silent shari’a”) hanya dapat mengajukan keberatan bahwa pesan al-Qur’an terbatas pada aplikasinya.
204
Syekh Waliyullah, misalnya, berpendapat bahwa Islam, yang universal dan abadi, mengambil bentuk menurut masyarakat dan masa tertentu dimana Islam diwahyukan untuk pertama sekali. Implikasinya, aturan-aturan dan perintah-perintah tertentu yang terdapat dalam syari’ah mungkin sesuai dengan kondisi Arabia abad ke-7 dan tidak bersifat mengikat terhadap setiap masyarakat dan zaman.Mahmud Muhammed Taha, lebih jauh lagi, membuat argumen ini dengan lebih berani, dan berpendapat bahwa bagian-bagian Al-Qur'an yang lebih luas hanya bersifat temporer dalam penggunaannya Menurut Taha, perintah-perintah yang permanent diturunkan pertama sekali pada saat nabi Muhammad SAW. Tinggal di Makkah, sebelum ia mengambil kekuasaan sementara; perintah-perintah yang bersifat sementara diturunkan kemudian, pada saat nabi Muhammad SAW. Di Madinah, dan menerapkannya untuk kepentingan dan kebutuhan zaman tersebut. Taha berpendapat bahwa wahyu yang lebih awal menaskh (membatalkan) wahyu yang datang kemudian (bertentangan dengan apa yang diungkapkan oleh para penulis “Liberal Shari’a”, seperti Bullac, yang berpendapat bahwa pengalaman belakangan di Madinah menghapuskan pengalaman yang lebih awal).
Posisi teoritis seperti ini merupakan hal sulit, karena beberapa hal. Pertama, ia membuat argumen-argumen yang menantang bahwa syari’ah itu “diam”, bahkan dalam topik-topik yang dapat dibicarakan secara jelas. Kedua, ia proyeksikan kembali pendirian asal keilmuan ortodoks, yaitu analisis tekstual terhadap sumber-sumber klasik. Ketiga, ia membatasi bagian-bagian wahyu dalam suatu cara yang menurut beberapa sarjana bersifat bid’ah pendapat-pendapatnya.
3) Syari’ah yang Ditafsirkan (Interpreted Syari’ah)
Bentuk ketiga argumentasi Islam liberal, dan yang paling dekat pada perasaan atau pikiran-pikiran liberal Barat, berpendapat bahwa syari’ah ditengahi oleh penafsiran manusia dan Islam membuka kemungkinan liberal pada masalah-masalah yang dimungkinkan munculnya penafsiran (interpretable). Dalam pandangan ini, syari’ah merupakan hal yang berdimensi ilahiah, sedangkan penafsiran-penafsiran manusia dapat menimbulkan konflik dan kekeliruan. Kesimpulan semacam ini sangat
205
rentan terhadap tuduhan-tuduhan relativisme.Namun, kaum liberal seperti Muhammad Asad (Leopold Weiss, Austria-Pakistan, lahir 1900), mempergunakan sumber-sumber pelaksanaan “Liberal Shari’a” seperti Hadist Rasulullah SAW,: ”perbedaan-perbedaan pendapat di kalangan umatku yang terpelajar merupakan rahmat Tuhan.
Muhammad Bahrul Ulum (Irak, lahir 1972), seorang ulama’ syari’ah terpelajar dan pendukung gerakan demokrasi Irak yang terkemuka, mengutip dua ayat Al-Qur'an dalam memandang masalah ini; ‘perbedaan pikiran, pandangan, dan metode sepenuhnya diakui, sehingga seseorang tidak bisa mencabut pendirian-pendirian orang lain. ‘Jika Tuhanmu menghendaki , tentu Dia menjadikan manusia sebagai umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat’ (QS.11:118).’manusia dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih’ (QS.10:19).
Kaum liberal lainnya berpendapat, menyangkut dasar-dasar empiris, bahwa keanekaragaman penafsiran merupakan salah satu tanda dari tradisi Islam. Zianuddin Sardar (Pakistan-Inggris, lahir 1951) berpendapat bahwa epistemologi Islam telah lama menekankan “keragaman cara untuk mengetahui”, yang “sama absahnya dalam Islam”. Soroush berpendapat bahwa penafsiran keagamaan Islam, dan yang lainnya, selalu merupakan fenomena manusiawi dan tunduk pada perspektif yang beragam : “agama wahyu, tentu saja, bersifat ilahiah. Namun, tidak demikian halnya dengan ilmu agama (science of religion), yang merupakan produksi dan konstruksi manusia. Hal ini bersifat manusiawi dalam pengertian bahwa ia tanamkan berdasarkan seluruh karakter kemanusiaan secara benar, yang baik maupun yang buruk.”
Basis “interpreted shari’a” yang ketiga bersifat normatif: bahwa ketidaksepakatan dalam penafsiran berguna bagi komunitas muslim. Beberapa tokoh yang mendukung pernyataan tersebut di antaranya ada Sa’id Binsa’id (Maroko) berpendapat bahwa pemahaman yang benar mengenai kebenaran-kebenaran religius menghendaki dialog, menurutnya, kaum radikal yang memaksa lawan-lawannya untuk diam, hanya dapat ‘menyembah Tuhan dalam kebodohan’. Selain itu ada
206
Abbas Madani (Aljazair, lahir 1931), dianggap sebagai salah seorang pemimpin pergerakan Islam Aljazair yang lebih liberal, berbicara tentang demokrasi dalam urusan-urusan yang juga pragmatis :
Pluralisme merupakan sebuah jaminan kekayaan, dan keanekaragaman diperlukan untuk pembangunan. Kita muslim, tetapi kitabukanlah Islam itu sendiri…kita memonopoli agama. Demokrasi yang kitapahami berarti pluralisme, pilihan, dan kebebasan.
Fahmi Huwaidi (Mesir, lahir 1937) berpendapat bahwa demokrasi merupakan hal yang amat penting bagi perkembangan dunia Islam, sehingga jika demokrasi tidak atau belum didukung dalam Islam, “kita harus “menemukannya” dengan cara apa pun”.
Salah satu tema yang muncul kembali dalam bentuk Islam liberal ini adalah bahwa penafsiran-penafsiran manusia seharusnya tidak disamakan derajatnya dengan wahyu bersifat Ilahiah, karena penafsiran-penafsiran manusia dapat keliru dan terbuka untuk diperdebatkan, ironinya, saat ini “interpreted shari’a” mungkin masih rentan terhadap tuduhan-tuduhan bahwa ia mereduksi wahyu pada derajat penafsiran manusia yang bias keliru. Kaum liberal ini tetap dituduh sebagai orang-orang yang menimbulkan kebingungan terhadap yang mereka kritik.
E. Pemikiran Charles Kurzman Terhadap Isu-Isu Global
Pada pembahasan selanjutnya, Charlez Khurzman di dalam bukunya membagi penjelasan mengenai isu-isu global ke dalam enam bagian di antaranya mengenai ; Menentang Teokrasi, Demokrasi, Hak-hak Perempuan, Kebebasan Berpikir dan Gagasan tentang Kemajuan.
1) Menentang Teokrasi Kata "teokrasi" berasal dari bahasa Yunani (theokratia). (theos) artinya “Tuhan” dan (kratein) “memerintah”. Teokrasi artinya “pemerintahan oleh wakil tuhan”. Teokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana dijalankan berdasarkan prinsip
207
Ketuhanan. (adalah negara yang menjadikan prinsip-prinsip Ketuhanan sebagai pedoman pemerintahan).132 Kaum muslim liberal berkeberatan terhadap pemberlakuan syari’ah karena beberapa alasan. Argumen tradisional, yang dipelopori oleh Ali Abd al-Raziq dan digaungkan oleh Khalaf-Allah menerapkan bentuk ‘silent shari’a’ : wahyu ilahi menyerahkan bentuk pemerintahan pada konstruksi pemikiran manusia. Nabi Muhammad SAW, merupakan pemimpin pemerintahan, sekaligus juga pemimpin agama, tetapi tidak membangun prinsip-prinsip tertentu bagi pemerintahan selanjutnya. Sebagaimana diungkapkan dalam pertemuan yang dilaksanakan oleh Ibn Khaldun Society : karena al-Qur’an lebih memberikan memberikan penekanan pada penciptaan masyarakat yang adil ketimbang ideologi negara, bentuk negara yang dipilih bukanlah sesuatu yang diamanatkan. Kaum muslimin seharusnya memandang al-Qur’an sebagai sebuah bangunan moral yang besar ketimbang sebuah kitab hukum. Dengan demikian, negara muslim yang baru sesungguhnya adalah negara sekuler, dengan ketentuan bahwa istilah negara sekuler tersebut tidak dipahami dalam sebuah pengertian yang negatif. Negara yang demikian dapat melindungi agama dari manipulasi politik oleh kekuasaan negara. Keberatan lain dinyatakan oleh Matori Abdul Djalil, sekretaris Partai Persatuan Pembangunan yang menyebutkan bahwa ‘kapanpun manusia bertindak sebagai wakil Tuhan, disitu tidak akan ada demokrasi dan teokrasi akan merusaknya. Jika sekelompok orang mengatakan telah memperoleh legitimasi Tuhan untuk memerintah, mereka akan menggunakan Tuhan sebagai alat untuk melawan kelompok lainnya dan pada dasarnya hal ini tidak demokratis. Keberatan terakhir menyatakan bahwa orang-orang yang menginginkan pemberlakuan hukum syari’ah pada dasarnya salah dalam memahami status syari’ah. Al-‘Ashmawi mencatat bahwa al-Qur’an memaksudkan syari’ah sebagai sebuah 132id.wikipedia.org/wiki/Teokrasi, November, 2014
208
jalan (path), bukan sebagai sebuah sistem hukum yang siap pakai untuk diberlakukan. 2) Demokrasi Tema kedua, demokrasi, secara luas diperdebatkan dalam model ‘liberal shari’a’, dengan penekanan khusus pada konsep syura atau musyawarah, yang dipakai untuk memberikan kesempatan atau menuntut pernyataan kehendak umum dalam masalah – masalah kenegaraaan. Bazargan dan Sadek J. Sulaiman (Oman, 1933)adalah pendukung utama syura’ sebagai demokrasi dalam antologi ini. Putra Bazargan, yaitu ‘Abdul ‘Ali Bazargan pun telah menulis topik mengenai keutamaan syura dalam syari’at secara mendetail dan berpendapat bahwa ‘sebuah pemerintahan Islam tanpa syura tidak berbeda dengan kediktatoran. Demikian juga, Hassan al-Alkim berpendapat bahwa syura tidak sekedar bermakna musyawarah, tetapi juga kekuasaan legislatif dari suatu badan perwakilan, Islam menegaskan bahwa rakyat memiliki hak untuk mengontrol presiden mereka dan menasihati serta mengkritiknya. Para penulis lainnya, seperti Al-‘Awwa dari Mesir mengadopsi model silent shari’a untuk mendukung pluralism politik. Tentu saja, Al-‘Awwa menolak pendekatan liberal shari’a secara eksplisit, dengan berpendapat bahwa syari’ah itu sendiri bersifat samara (vague) dan tidak memberikan cukup pembenaran terhadap praktik-praktik demokratis. Pendekatan lain mengenai demokrasi adalah silent shari’a yang pragmatis sebagaimana dicontohkan oleh Muhammad Natsir (Indonesia), Dimasangcay A. Pundato (Philipina), dan Ghannouchi. Semuanya mengutip al-Qur’an tetapi argumen utama mereka adalah pentingnya demokrasi dalam kondisi-kondisi nasional tertentu. Bagi Natsir, kondisi itu adalah pembentukan Republik Indonesia, karena begitu banyak dan beragamnya kepulauan (bekas jajahan) Hindia Belanda. Sebagai seorang nasionalis, Natsir mempertahankan demokrasi baru sebagai sebuah ekspresi dari karakteristik masyarakat Indonesia. Sedangkan Pundato sendiri, melihat koalisi-koalisi demokratis dengan orang-orang Kristen sebagai cara terbaik untuk mengawal
209
hak-hak minoritas Muslim di kepulauan Philipina. Selain itu, Ghannouchi, yang berbicara tentang kondisi umat Islam yang hidup di bawah pemerintahan non-muslim (termasuk pemerintahan yang dilaksanakan umat Islam), berpendapat bahwa partisipasi dalam sebuah demokrasi non-muslim lebih baik bagi kaum muslim daripada menderita di bawah pemerintahan yang tidak demokratis. Pendekatan terakhir terhadap demokrasi melibatkan bentuk ‘interpreted shari’a’, Zaki Ahmad (Mesir), mengidentifikasi empat macamtradisi pluralism di dalam Islam : praktik dari generasi Islam paling awal, perdebatan para cendekiawan selama beberapa abad tentang yurisprudensi Islam, ajaran-ajaran mengenai kebebasan di dalam syari’ah, dan seruan-seruan pragmatis untuk hidup berdampingan secara damai dalam masyarakat plural. Muhammad Asad, seorang Austria yang masuk Islam, memberikan alasan prosedur-prosedur demokratis karena adanya kemungkinan kesalahan penafsiran manusia, dengan rujukan prinsip liberal shari’a tentang syura : “Meskipun demikian, sulit untuk melihat alternative apa yang mungkin di dalam sebuah badan legislatif, bagi prinsip keputusan mayoritas ? Siapa yang harus menentukan, dari kasus ke kasus, apakah minoritas atau mayoritas yang benar ? Pendapat siapa yang harus berlaku ? Tentu saja, seseorang boleh jadi berpendapat bahwa putusan terakhir seharusnya menjadi tanggung jawab amir (penguasa), namun, terlepas dari fakta bahwa jaminan kekuasaan absolut yang demikian, terhadap siapa pun, menghalang-halangi prinsip amruhum syura bainahum(urusan-urusan mereka diselesaikan berdasarkan syura :QS. 42:38) yang sangat kuat ditekankan oleh hukum Islam, tidaklah sama kemungkinannya bahwa amir itu salah, sementara pendapat mayoritas benar ? adakah jaminan Tuhan yang diberikan terhadap pandangan-pandangannya?” 3) Hak-Hak Kaum Perempuan Posisi Islam liberal terhadap hak-hak perempuan, tidak seperti tentang demokrasi yang tidak terlalu banyak disinggung dalam penafsiran-penafsiran oleh para kaum intelektual muslim, melainkan dihadapkan pada sejumlah pernyataan ayat
210
al-Quran dan sunnah yang kelihatannya menunjukkan kontradiksi langsung. Sebagai contoh, ayat al-Qur’an tentang poligami bagi laki-laki, hak-hak unilateral kaum pria untuk bercerai, hak-hak kewarisan dan otoritas kesaksian hukum pria yang lebih besar. Hadits-hadits tentang jilbab, pemisahan gender, dan ketidaksesuaian kaum perempuan untuk menjadi pemimpin sebuah komunitas muslim. Para cendekiawan liberal menentang pernyataan-pernyataan dengan berbagai cara, salah satunya yaitu dengan memeriksa kembali pernyataan-pernyataan tersebut dan menyimpulkan bahwa pernyataan-pernyataan itu tidak benar-benar mengurangi hak-hak kaum perempuan sebagaimana anggapan sebelumnya. Dalam hal ini Benazir Bhuto dan Amina Wadud mengikuti strategi ini dengan pembahasan-pembahasan yang luas mengenai ayat al-Qur’an yang sering ditafsirkan untuk membenarkan dominasi laki-laki atas perempuan. Pendekatan ini mengaitkan tentang eksploitasi kaum perempuan dalam islam dengan adat istiadat sebelum dan sesudah peristiwa pewahyuan, bukan dengan pesan Islam itu sendiri. Pendekatan ini juga terkadang dikaitkan dengan argument lain yang menyatakan bahwa pernyataan-pernyataan antiperempuan sebenarnya merujuk pada waktu kondisi Arabia pada abad ke 7 sehingga tidak cocok untuk diterapkan pada waktu dan tempat yang lain. Nazira Zein ed-Din mengemukakan bahwa al-Qur’an memperbolehkan kelangsungan kebiasaan-kebiasaan Arab pra-Islam, seperti poligami dan perbudakan hanya untuk mempermudah transisi masyarakat Arab ke dalam Islam dan bahwa Nabi Muhammad wafat sebelum ia dapat memberantas kebiasaan-kebiasaan ini secara tuntas, sebagaimana yang diinginkan Islam. Sebuah pendekatan yang lebih lanjut versi silent shari’a, menerima pernyatan-pernyataan yang terkesaan antiperempuan, tetapi berpendapat bahwa pernyataan-pernyataan tersebut tidak melarang kaum perempuan untuk mengorganisir perlindungan terhadap hak-hak mereka. Sebagai contoh, kaum feminis di Republik Islam Iran telah berhasil dengan mudah mewujudkan legislasi yang menghendaki setiap pasangan untuk menyetujui sebuah kesepakatan pra-
211
perkawinan yang menjamin kesamaan hak-hak perceraian kaum wanita yang sama dengan kaum pria. 4) Hak-Hak Non-Muslim Isu tentang hubungan antaragama muncul di tahun pertama Islam dalam konteks penaklukan kaum muslim terhadap non-muslim. Pendekatan silent shari’a tampaknya lebih coock, terutama di negara-negara di mana kaum muslim berada dalam pemerintahan non-muslim. Sobhi Rajab Mahmassani (1911) berpendapat bahwa diskriminasi berdasarkan agama merupakan hal yang mustahil dalam sistem Islam, kemudian dari Indonesia ada Abdurrahman Wahid (1940) menegaskan bahwa pembentukan sebuah masyarakat Islam di Indonesia adalah pengkhianatan terhadap konstitusi, karena akan menjadikan non-muslim sebagai warga negara kelas dua. Muhammed Talbi (1921) menggunakan pendekatan teoretis terhadap topik tentang hubungan antar agama, dan mengemukakan pendapatnya menurut ketiga model Islam liberal. Talbi mengutip ajaran-ajaran positif mengenai perlakuan yang baik terhadap non-muslim (model liberal shari’a), dia berpendapat bahwa ajaran tentang toleransi memungkinkan pembentukan dialog antar komunitas, tanpa memperhatikan contoh-contoh masa lalu(model liberal shari’a). Dan dia menentang unsur-unsur syariah yang tidak toleran, khususnya mengenai hukuman mati bagi orang murtad, sebagai sesuatu yang potensial menimbulkan keragu-raguan(model interpreted shari’a). Sebagaimana Muzaffar, Pundato dan yang lainnya, Talbi menerjemahkan pandangan liberalnya kedalam aksi politik, bergabung dengan kaum liberal dari agama lain dalam dialog umum dan menyerukan untuk mengurangi ketegangan-ketegangan yang bermuatan agama.
5) Kebebasan Berpikir
Kebebasan berpikir secara logis merupakan pangkal dari prinsip-prinsip liberal lainnya, sebab kaum liberal harus mempertahankan kebebasan berpikir agar dapat memberikan dasar pembenaran terhadap pengungkapan pemikiran-pemikiran mereka yang lain.Pendekatan liberal shari’a tentang kebebasan berfikir menyatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia untuk menjadi pemikir dan bahwa syariah
212
mendorong kaum muslim untuk melakukan refleksi dan penyelidikan. Menurut Aminu Kano, kata ‘kebebasan’ ini merupakan kata yang dipilih Tuhan bagi orang-orang yang diberkahi di surga.
Al-Qardawi mengutip ajaran-ajaran yang khusus mengenai toleransi atau penghargaan terhadap pandangan-pandangan yang berbeda, khususnya yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban keagamaan. Pendapat lain dikemukakan oleh Ghulam Ahmad Parwez yang menyatakan bahwa perlindungan al-Qur’an terhadap kebebasan individu begitu kuat sehingga mengesampingkan semua bentuk otoritas; “tidak seorangpun memiliki hak untuk memaksa orang lain agar mematuhi perintahnya, tidaklah semestinya seorang manusia yang oleh Allah telah diberi Kitab, hikmah, dan kenabian, berkata kepada orang-orang. Jadilah kamu penyembah-penyembahku, bukan (penyembah) Allah.”
Pendekatan silent shari’a, berdasarkan alasan-alasan pragmatis memperlihatkan bahwa kebebasan berpikir berguna bagi kemajuan intelektual dunia muslim dan karena itu diperbolehkan berdasarkan ajaran-ajaran yang bersifat umum berkaitan dengan wujud komunitas mukmin yang baik. Andi Mappetahang Fatwa memberikan sebuah argumen, menurutnya di bawah karunia kebebasan, masyarakat harus diberikan perlindungan dalam mengembangkan aktivitas penelitian berikut perenungannya. Masyarakat harus diberi kebebasan untuk berpikir dan berpendapat dan masyarakat seperti inilah yang didambakan oleh demokrasi. Sedangkan Laith Kubba menambahkan dengan membicarakan model interpreted shari’a yang menurutnya penafsiran-penafsiran keagamaan boleh jadi merupakan produk dari kondisi-kondisi historis tertentu.
6) Gagasan Tentang Kemajuan
Kategori terakhir ini merujuk pada para penulis yang memandang modernitas dan perubahan sebagai perkembangan-perkembangan positif yang potensial.Sikap ini merefleksikan sebuah peralihan kebiasaan yang signifikan dari pandangan tradisional dalam islam, yang memandang sejarah kontemporer sebagai kemunduran dan peralihan yang berkesinambungan dari masa-masa awal pewahyuan yang
213
diagungkan. Dalam konteks ini, kemajuan atau progress hanya berarti sebuah pemulihan praktik-praktik masa lalu.
Seorang muslim liberal yang paling berpengaruh pada abad ke-20, Muhammad Iqbal (1877-1938) menempatkan ‘prinsip pergerakan’ pada bagian inti teologinya. Pemikiran Iqbal merangkum ketiga model Islam liberal, menurutnya, pada model interpreted shari’asistem-sistem hukum Islam, bagaimanapun merupakan interpretasi-interpretasi individual dan dengan demikian tidak dapat mengklaim finalitasnya. Kemudian pada model silent shari’a, al-Qur’an mustahil tidak memberikan tempat bagi pemikiran dan legislasi manusia dan pada model utamanya liberal shari’a, Iqbal berpendapat bahwa esensi Islam, yang jika dipahami secara benar, adalah perubahan evolusioner. Demikian juga halnya Muhammad Akram Khan (1868-1986)yang menyatakan bahwa “apa yang disebut Islam bukanlah sesuatu yang bersifat statis, dan apapun yang statis bukanlah bagian Islam karena Islam menghargai semua inovasi yang kreatif. Islam tidak akan pernah kurang dalam memberikan solusi terhadap problem apapun di dunia ini, karena pintu ijtihadnya terbuka setiap waktu.
Melalui pendekatan silent shari’a, pendapat lain dikemukakan oleh Nurcholis Madjid dan Shabbir Akhtar berpendapat bahwa penolakan terhadap modernitas dan perubahan historis telah membuat pemikiran Islam menjadi kaku, melumpuhkan kemampuan agama untuk berbicara kepada muslim ‘modern’ dan mengorbankan potensi-potensi modernitas yang positif.
Sedangkan Hassan Hanafi melalui pendekatan interpreted shari’a mengemukakan kesesuaian Islam dengan gagasan kemajuan melalui konstruksi sebuah teologi pembebasan Islam yang mirip dengan teologi pembebasan dalam agama Kristen :
Tidak ada teologi abadi yang sesuai untuk setiap waktu dan tempat. Teologi selalu merupakan ekspresi spirit dari waktu itu. Setiap waktu memberi kita dua spirit, spirit pertama, tentang agama secara institusional, yang selalu konservatif, formal
214
dan statis. Spirit semacam itu mencoba mempertahankan status quo (keadaan yang sebagaimana adanya). Spirit yang kedua, bersifat progresif , kongkrit dan dinamis, yang mencoba untuk mengubah status quo.
Fazlur Rahman menulis dalam model interpreted shari’a, ia menyatakan bahwa memaksakan penyeragaman penafsiran secara absolut adalah tidak mungkin dan tidak diperlukan. Rahman mengkritik pemikiran Islam tradisional yang lebih terikat pada penafsiran-penafsiran masa lalu ketimbang menghadapi tantangan perubahan. Rahman sendiri lebih cenderung mengembangkan penafsiran baru atas sumber-sumber asli saat ia mempelajari penafsiran masa lalu, baik untuk mengambil pelajaran dari wawasan-wawasannya maupun untuk memahaminya sebagai produk dari konteks historisnya sendiri.
F. Kesimpulan
Kemunculan istilah faham Islam liberal tidak lepas dari proses pergumulan pemikiran Islam yang telah terjadi sejak berabad-abad yang lalu. Liberalisme diartikan sebagai paham yang berusaha memperbesar wilayah kebebasan individu dan mendorong kemajuan sosial.
Mengacu pada istilah yang digunakan Charles Kurzman dan Asaf Ali Asgar Fyzee bahwa Islam liberal adalah Islam yang terbuka terhadap wacana modern dan menggunakan pendekatan historis yang kritis terhadap wacana keagamaan kontemporer yang berkembang saat ini.
Terdapat tiga tradisi interpretasi sosial religius dalam Islam yang selalu mengalami pergumulan pemikiran dan senantiasa menghiasi dunia Islam, yaitu Islam adat (customary Islam), Islam revivalis atau fundamentalist (revivalist Islam), dan Islam Liberal (Liberal Islam). Ketiga tradisi ini saling melengkapi dan dianggap mampu memberikan sudut pandang yang signifikan bagi sejarah wacana Islam masa kini.
Chales Kurzman selanjutnya mengidentifikasikan tiga bentuk utama Islam Liberal. Masing-masing ketiga bentuk tersebut dikenal dengan Syari’ah Liberal
215
(Liberal Shari’a), Syari’ah yang Diam (Silent Shari’a), dan Syari’ah yang Ditafsirkan (Interpreted Shari’a). Kemudian ia juga membagi penjelasan mengenai isu-isu global ke dalam enam bagian di antaranya mengenai ; Menentang Teokrasi, Demokrasi, Hak-hak Perempuan, Kebebasan Berpikir dan Gagasan tentang Kemajuan.
216
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi. 2002. Konflik Baru Antar peradaban: Globalisasi, Radikalisme danPluralitas. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Binder,Leonard. 2001. Islam Liberal: Kritik terhadap Ideologi-Ideologi Pembangunan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Dawan Raharjo. 2010. Merayakan Kemajemukan Kebebasan dan Kebangsaan . Jakarta : Kencana
Fathoni, Adib. 2012. Dinamika Gerakan Islaam Liberal Di Indonesia. Jurnal At‐ Taqaddum, Volume 4, Nomor 2
Hakim, Lukman. 2014. Mengenal Pemikiran Islam Liberal. Banda Aceh : Jurnal Substantia, vol.14, No.1, April
Husaini, Adian dan Nu’im Hidayat, Islam Liberal; Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya. 2002. Jakarta : Gema Insani
Husaini,Adian. http://icmikendal.blogspot.com/2012/02/mengapa-barat-sekuler-liberal.html, diakses 27 November 2014
Kurzman, Charles. 2003. Wacana Islam Liberal : Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global. Jakarta : Paramadina
Munawar, Budhy. 2010. Argumen Islam Liberalisme Untuk Islam Progresif dan Perkembangan Diskursusnya. Jakarta : Grasindo
Tim Peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan.2007. Paham-Paham Keagamaan Liberal Pada Masyarakat Perkotaan. Jakarta: Depag
217
ISLAM RASIONAL
Harun nasution
Oleh Abdul Mughis
NIM: 14750009
BAB I
PENDAHULUAN
Ketika Islam memasuki periode klasik mereka unggul dalam segala aspek khususnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada masa itu muncul sederet tokoh Islam yang memprakarsai perkembangan sains dalam berbagai disiplin ilmunya. Mulai dari Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Khaldun dan lainnya. Sayangnya saat ini kondisi umat Islam berbanding terbalik dengan kenyataan sejarah masa jayanya dahulu. Salah satu penyebabnya karena berhentinya aktifitas pemikiran dikalangan umat Islam akibat mereka terjebak dalam pola pemikiran tradisional yang mengarah kepada faham fatalism.133
Pada akhir abad 19 saat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern mulai memasuki dunia Islam, membawa kontak dengan dunia barat yang selanjutnya membawa ide-ide baru ke dunia Islam seperti, rasionalisme, nasionalisme, demokrasi dan lainnya. sebagai respon terhadap kondisi yang demikian delematis, umat Islam terpecah menjadi dua golongan, golongan pertama yang mayoritas penganut paham jabariyah tidak serta merta menerima ide baru tersebut karena masih terpaku pada ajaran-ajaran tradisional yang terwariskan dalam budaya mereka.
Golongan kedua, sebagai penganut paham qadariyah begitu adaptif yang tertuang dalam gerakan pembaharuan Islam, diantara mereka adalah
133 Fatalisme dari kata dasar fatal, adalah sebuah sikap seseorang dalam menghadapi permasalahan atau hidup. Apabila paham seseorang dianggap sangat pasrah dalam segala hal, maka inilah disebut fatalisme. Dalam paham fatalisme, seseorang sudah dikuasai oleh nasib dan tidak bisa merubahnya. Kata sifat daripada fatalisme adalah fatalistis. Sumber; http://id.wikipedia.org/wiki/Fatalism.
218
sejumlah kaum intelektual muslim, mulai dari Jamaluddin Afghani, Muhammad Abduh, Sheikh Ahmad Khan, Muhammad Iqbal, sampai Harun Nasution dan Nurkholis Madjid di Indonesia.
Membahas sepak terjang Prof. Harun Nasution sungguh luar biasa kontribusinya terhadap pembaharuanan di Indonesia. Melihat potensi Indonesia sebagai salah satu negara berpenduduk muslim terbanyak diharapkan dapat memberikan sumbangsih besar terhadap eksistensi umat Islam di Dunia. Untuk itu dengan gagasann pemikiran rasionalnya beliau berusaha merubah paradigma masyarakat Indonesia agar bersama secara positif merespon perkembangan zaman yang begitu dinamis.
Yang membedakan manusia dengan hewan adalah anugerah akalnya. Oleh karena itu dapat disebut manusia adalah makhluk berfikir, berfikir adalah bertanya, bertanya adalah mencari jawaban. Mencari jawaban adalah mencari kebenaran; mencari jawaban tentang sesuatu artinya mencari kebenaran tentang sesuatu itu. Mencari jawaban tentang hidup, umpamanya adalah mencari kebenaran tentang hidup. Jadi, manusia adalah makhluk pencari kebenaran.134
Sebagai upaya mencari kebenaran, dalam artian mewujudkan tujuan agama yaitu mensejahterakan umatnya, Harun Nasution memperkenalkan gagasan yang dapat menjadi landasan pembaharuan umat. Dalam bukunya ‘Islam rasional‘ beliau memaparkan pendapatnya tentang agama rasional, teologi rasional, masyarakat rasional dan budaya rasional. Selanjutnya kami akan membahas khusus sekelumit gagasan Harun Nasution, serta kontribusinya terhadap perkembangan Islam di Indonesia khususnya dalam dunia pendidikan.
134 Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam, Pokok-Pokok Pikiran tentang Paradigma dan Sistem Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2004), hlm.10
219
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sekilas Tentang Harun Nasution
1. Biografi singkat dan perjalanan intelektual.
Sebelum membahas pemikiran rasional Harun Nasution kurang tepat apabila kita belum mengenal beliau. Harun Nasution lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara, 23 September 1919. Ia merupakan putera keempat dari Abdul Jabbar Ahmad, ulama dan pedagang, menjadi Kadi dan Penghulu di Pematang Siantar. Ibunya seorang keturunan ulama Mandailing, Tapanuli Selatan, pernah bermukim di Makkah tahun 1943. 135
Dalam perkembangan intelektual (masa al-fikr) Pendidikan Harun dimulai di sekolah Belanda HIS pada usia 7 tahun. Harun lalu belajar bahasa dan ilmu pengetahuan umum di Hollansch Inlandceh School (HIS), sedangkan pendidikan agamanya didapat dari lingkungan keluarganya. Setamat HIS melanjutkan ke Moderne Islamietische Kweekschool (MIK), Sikap keagamaan Harun mulai nampak berbeda dengan sikap keberagamaan yang di jalankan orang tuanya, termasuk lingkungannya. Sikapnya yang rasional berbeda dengan orang tuannya yang tradisional. Setamat MIK Harun melanjutkan ke Saudi Arabia kemudian Universitas Al-Azhar Mesir Fakultas Ushuluddin. Karena ketidakpuasannya beliau pindah ke Universitas Amerika di Kairo. Ketika itu beliau mendalami ilmu pendidikan dan ilmu sosial.136
Dalam dunia politik beliau mengawali karir sebagai pegawai di Departemen Dalam Negeri dan menjabat sekretaris Kedubes Indonesia di Brussel. Karir diplomatiknya tidak bertahan lama karena beliau memutuskan mundur dan kembali ke Mesir, disini Harun menggeluti dunia ilmu pengetahuan di Sekolah Tinggi Islam
135 Ahmad Taufik dkk, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 162
136 http://www.docstoc.com/docs/48905819/ISLAM-RASIONAL--2 diakses tanggal 13 April 2012
220
dibawah bimbingan ulama fikih Mesir terkemuka Abu Zahrah. Pada Tahun 1962, beliau melanjutkan studinya di Universitas McGill Kanada, dan disinilah harun menemukan apa yang diinginkannya, dan memperoleh pandangan Islam yang luas. Harun mendapat gelar MA dengan desertasinya berjudul “The Rice of Ideology, The Movement for Its Creation and the Theory of the Masyumi”. Setelah itu beliau langsung melanjutkan studinya di tempat yang sama dan memperoleh gelar Ph.D dengan disertasinya berjudul “Posisi Akal dalam Pemikiran Teologi Muhammad Abduh”. Dengan kajian disertasinya itu maka tak heran banyak orang beranggapan Harun adalah seorang neo mu’tazilah karena corak fikirnya begitu kental dengan pemikiran Muhammad Abduh.
Pada tahun 1969 Harun kembali ke tanah air dan melibatkan diri dalam bidang akademis dengan menjadi dosen IAIN dan IKIP Jakarta dan pada Universitas Nasional. Sempat menjabat Rektor UIN Jakarta tahun 1973-1984, menjadi ketua lembaga pendidikan Agama IKIP Jakarta. Secara singkat kiprah beliau di IAIN membawa pembaharuan besar yang terjaga sampai saat ini137.
Menghadapi beberapa tanggapan dan tantangan yang kontra dengannya, Harun sangat tegar, melalui integritas pribadi, keluasan ilmu, dan refleksi dari jiwa seorang pendidik kharisma beliau tetap terjaga hingga saat ini.
2. Karya- karya Harun Nasution
Dalam rangka mengembangkan pemikirannya, Harun Nasution telah menulis sejumlah buku, antara lain sebagai berikut:
1. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya (1974). Buku ini terdiri dari dua jilid, diterbitkan pertama kali oleh UI-Press, yang intinya adalah memperkenalkan Islam dari berbagai aspeknya. Buku ini menolak pemahaman bahwa Islam itu hanya berkisar pada ibadat, fikih, tauhid, tafsir, hadits, dan akhlak saja. Islam menurut
137 Baru berkecimpung 4 Tahun Harun diangkat menjadi Rektor dengan empat langkah kebijaksanaan, yakni mendasarkan tujuan dan fungsi IAIN Jakarta atas dasar kebutuhan masyarakat pada umumnya, mengutamakan kualitas daripada kuantitas, peningkatan mutu ilmiah, dan penyederhanaan dan penyempurnaan organisasi, dikutip dari buku teologi Islam Harun Nasution.
221
buku Harun ini lebih luas dari itu, termasuk di dalamnya sejarah, peradaban, filsafat, mistisisme, teologi, hukum, lembaga-lembaga, dan politik.
2. Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa, dan Perbandingan (1977). Buku ini terdiri dari dua bahagian. Bahagian pertama, mengandung uraian tentang aliran dan golongan-golongan teologi, bukan hanya yang masih ada tetapi juga yang pernah terdapat dalam Islam seperti Khawarij, Murji’ah, Qadariah dan Jabariah, Mu’tazilah, dan Ahli sunnah wal jama’ah. Uraian diberikan sedemikian rupa, sehingga di dalamnya tercakup sejarah perkembangan dan ajaran-ajaran terpenting dari masing-masing aliran atau golongan itu, dan mengandung analisa dan perbandingan dari aliran-aliran tersebut. Sehingga dapat diketahui aliran mana yang bersifat liberal, mana yang bersifat tradisional. Buku ini dicetak pertama kali tahun 1972 oleh UI-Press.
3. Filsafat Agama (1978). Buku ini menjelaskan tentang epistemologi dan wahyu, ketuhanan, argumen-argumen adanya Tuhan, roh, serta kejahatan dan kemutlakan Tuhan. Buku ini semula diterbitkan Bulan Bintang.
4. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (1978). Buku ini juga merupakan kumpulan ceramah Harun di IKIP Jakarta. Buku ini terdiri dari dua bagian, yakni bagian falsafat Islam dan bagian mistisisme Islam (tasawuf). Bagian falsafat Islam menguraikan bagaimana kontak pertama antara Islam dan ilmu pengetahuan serta falsafat Yunani yang kemudian melahirkan filosuf muslim seperti al-Kindi, al-Razi, al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali, dan ibn Rusyd. Sedangkan, bagian mistisisme Islam menguraikan bagaimana kedudukan tasawuf dalam Islam sebagai upaya mendekatkan diri pada Tuhan. Buku ini terbit perdana tahun 1973 oleh Bulan Bintang, Jakarta.
5. Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan (1978). Buku ini merupakan kumpulan ceramah dan kuliah Harun Nasution di berbagai tempat di Jakarta tentang Aliran-Aliran Modern dalam Islam. Membahas tentang pemikiran dan gerakan pembaruan dalam Islam, yang timbul di zaman yang lazim disebut periode modern dalam sejarah Islam. Pembahasannya mencakup atas pembaruan
222
yang terjadi di tiga negara Islam, yaitu Mesir (topik intinya; pendudukan Napoleon dan pembaharuan di Mesir, Muhammad Ali Pasya, al-Tahtawi, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, murid dan pengikut Muhammad Abduh), Turki, (topik intinya; Sultan Mahmud II, Tanzimat, Usmani Muda, Turki Muda, tiga aliran pembaharun, Islam dan Nasionalis, dan Mustafa Kemal), dan India-Pakistan (topik intinya ; Gerakan Mujahidin, Sayyid Ahmad Khan, Gerakan Aligarh, Sayyid Amir Ali, Iqbal, Jinnah dan Pakistan, Abul Kalam Azad dan Nasionalisme India.
6. Akal dan Wahyu dalam Islam (1980). Buku ini menjelaskan pengertian akal dan wahyu dalam Islam, kedudukan akal dalam Al-Quran dan Hadits, perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam, dan peranan akal dalam pemikiran keagamaan Islam. Uraian tegas buku ini menyimpulkan bahwa dalam ajaran Islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak dipakai, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, tetapi juga dalam perkembangan ajaran keagamaan sendiri. Akal tidak pernah membatalkan wahyu, akal tetap tunduk kepada teks wahyu.
7. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (1987). Buku ini merupakan terjemahan dalam bahasa Indonesia dari tesis Ph.D. Harun Nasution yang berjudul “The Place of Reason in Abduh’s Theology, Its Impact on his Theological System and Views”, diselesaikan bulan Maret 1968 di McGill, Montreal, Kanada. Buku ini berisi tentang riwayat hidup Muhammad Abduh, filsafat wujud, kekuatan akal, fungsi wahyu, paham kebebasan manusia dan fatalisme, sifat-sifat Tuhan, perbuatan Tuhan, dan konsep Iman. Inti buku ini menjelaskan bahwa pemikiran teologi Muhammad Abduh banyak persamaannya dengan teologi kaum Mu’tazilah, bahkan dalam penggunaan kekuatan akal, Muhammad Abduh jauh melebihi pemikiran Mu’tazilah.
Islam Rasional (1995). Buku ini merekam hampir seluruh pemikiran keislaman Harun Nasution sejak tahun 1970 sampai 1994 (diedit oleh Syaiful Muzani), terutama
223
mengenai tuntutan modernisasi bagi umat Islam. Hal itu, menurut Harun, harus diubah dengan pandangan rasional yang sebenarnya telah dikembangkan oleh teologi Mu’tazilah. Karena itu, reaktualisasi dan sosialisasi teologi Mu’tazilah merupakan langkah strategis yang harus diambil, sehingga umat Islam secara kultural siap terlibat dalam pembangunan dan modernisasi dengan tetap berpijak pada tradisi sendiri
B. Sejarah Pemikiran Rasionalisme
Harun Nasution dalam bukunya, sebagaimana mengutip perkataaan Profesor Izutsu dalam Good and Man in the Koran, (Tokyo, 1964) al-aql pada zaman jahiliyah, berarti kemampuan memahami ayat-ayat Tuhan, yaitu arti religius Akal, dalam bahasa Yunani berati nouns sedangkan dalam bahasa arab al-aql. Berarti daya fikir yang memakai otak sebagai alat untuk berfikir. Penghargaan tinggi pada nouns atau intelek amat besar pengaruhnya bukan dalam teologi dan filsafat saja tetapi pada bidang lainnya.
Dalam sejarah Islam, mulanya berkembang pemikiran rasional (650-1250 M), lalu kemudian pemikiran tradisional (1250-1800 M). Pemikiran rasional dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana tingginya kedudukan akal seperti terdapat dalam Al-Qur’an dan hadist. Pertemuan Islam dan peradaban Yunani melahirkan pemikiran rasional dikalangan ulama Islam Zaman Klasik. Perbedaannya di Yunani karena tidak mengenal agama samawi maka pemikiran bebas, tanpa terikat ajaran agama dikenal dengan pemikiran rasional sekular. Akan tetapi pada masa Islam klasik pemikiran rasional ulama terikat pada ajaran-ajaran agama Islam yang terdapat pada Al-Qur’an dan Hadist oleh karena itu disebut juga pemikiran rasional agamis.
Dalam pemikiran rasional agamis, akal manusia mempunyai kedudukan tinggi dalam memahami ajaran Al-Qur’an dan hadist. Kebebasan akal tersebut hanya terikat pada ajaran-ajaran absolut kedua sumber utama Islam itu yang disebut dengan qat’iy
224
al-wurud dan qath’iy al-dalalah. Maksudnya ayat al-qur’an harus ditangkap sesuai dengan pendapat akal.138
Pemikiran rasional agamis dalam pendekatannya terhadap Islam diusahakan sesuai dengan pendapat akal dengan sarat tidak bertentangan dengan ajaran absolut tersebut (Qur’an dan hadist). Berbeda dengan pemikiran tradisional, peran akal tidak begitu menentukan dalam memahami ajaran Al-Qur’an dan hadist tetapi lebih difokuskan pada ajaran hasil ijtihad ulama zaman klasik yang jumlahnya sangat banyak. Menurut Harun perbedaan pemikiran rasional adalah kebebasan berfikir dalam memahami ajaran Terikat pada arti lafzhi dari teks Al-Qur’an dan hadist dengan akal sebagai posisi tertinggi, sedangkan pemikiran tradisional pemikiran yang terikat pada ijtihad ulama zaman klasik yang jumlahnya sangat banyak, pemikiran yang terikat pada arti lafzhi dari teks Al-Qur’an dan hadist sehingga sulit menyesuaikan dengan perkembangan modern.
Pemakaian akal dalam Islam diperintahkan oleh wahyu sendiri, hal itu terbukti dari banyaknya kata-kata yang dipakai dalam al-qur’an untuk menggambarkan perbuatan berfikir, bukan hanya ‘aqala tetapi juga nazara, tadabbara, tafakkara, faqiha, tazakkaram fahima, oleh karena itu tidak heran bahwa agama Islam adalah agama rasional.
Dari pada itu perlu ditegaskan bahwa pemakaian kata-kata rasional, rasionalisme dan rasionalis dalam Islam harus dilepaskan dalat arti kata sebenarnya, yaitu percaya kepada rasio semata-mata dan tidak mengindahkan wahyu, atau membuat akal lebih tinggi dari wahyu, sehingga wahyu dapapt dibatalkan oleh akal, akan tetapi akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk kepada teks wahyu. Teks wahyu tetap dianggap mutlak benar. Akal dipakai hanya untuk memahami teks wahyu dan sekali-kali tidak untuk menentang wahyu. Akal hanya
138 Harun Nasution, Islam Rasional, Gagasan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1998), hlm 7-8
225
memberi interpretasi terhadap teks wahyu sesuai dengan kecenderungan dan kesanggupan pemberi interpretasi139
Dalam ajaran Islam pemakaian akal memang tidaklah diberi kebebasan mutlak sehingga pemikir Islam dapat melanggar garis-garis yang telah ditentukan Al-Qur’an serta Hadist, tetapi tidak pula diikat dengan ketat, sehingga pemikiran dalam Islam hanya dibatasi teks qat’iy al-wurud dan qath’iy ad-dalalah, absolut benar datangnya dari Allah. Kedua hal inilah yang membuat pemikiran dapat berkembang dalam Islam dan perkembangan itu tidak keluar dari ajaran dasar Islam.140
C. Pendekatan Rasional Harun Nasution
Dalam bukunya Islam Rasional, Harun Nasution mengupas Islam lewat pandangannya yang terangkum dalam empat pandangan yang dapat menjadi landasan pembaharuan Islam.
1. Agama Rasional landasan pandangan dunia dan moral Islam.
Tiga perkataan yang dipakai masyarakat Indonesia tentang agama, yaitu Ad-iin, agama dan religion. Kurang lebih konotasinya Agama berasal dari bahasa Sanskrit yang menonjolkan soal tradisi, religion dalam bahasa latin menonjolkan ikatan manusia dengan kelompoknya. Sedangkan ad-diin dalam Islam bukan sebatas tradisi atau ikatan saja141 Meski secara terminologis ketiga kata itu memiliki arti yang sama tetapi Islam lebih daripada itu, Islam adalah agama Tuhan yang tidak terbatas pada aspek materil tapi juga spiritual. Islam agama yang sempurna, agama yang satu-satunya di Ridhoi Allah.
Agama merupakan suatu sistema credo, ‘tata keimanan’ atau ‘tata keyakinan’ atas adanya suatu Yang Mutlak diluar manusia. Selain itu juga merupakan ‘tata peribadahan’ kepada sesuatu Yang Mutlak, juga sebagai sistem norma atau ‘tata kaidah’ yang mengatur hubungan antar manusia sejalan dengan tata keimanan dan
139 Harun Nasution, Akal dan wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm 101
140 Ibid, hlm 104
141 HM. Rasjidi, Koreksi Terhadap Harun Nasution tentang “Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya”, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), Hlm 15
226
tata peribadatan142 itu Dalam Islam, kajian sumber utamanya tentu Al-Qur’an dan hadis. Sebelum itu mari kita pahami bahwa Al-Qur’an adalah Kitab Suci, mengandung firman Tuhan (Kalam Allah), yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw. Kitab suci adalah buku agama yang diturunkan Tuhan kepada masyarakat manusia untuk dijadikan petunjuk bagi mereka dalam menjalani hidup dunia dan akhirat. Sedangkan hadist adalah perkataan, perbuatan Rasulullah Saw.
Wahyu datang dengan tiga jalur : 1) kelihatannya adalah pengertian atau pengetahuan yang tiba-tiba sebagai suatu cahaya yang menerangi jiwanya, 2) wahyu berupa pengalaman dan pengelihatan dalam keadaan tidur atau dalam keadaan trance, ru’yat atau kasyf (vision), 3) dalam bentuk yang diberikan melalui utusan atau malaikat yang disampaikan dalam bentuk kata-kata. Perbedaan wahyu dalam Islam dengan agama lainnya, injl dalam teksnya bukanlah wahyu yang wahyu hanyalah isi yang dianggap sama kuat. Dengan kata lain dalam Islam sabda Tuhan menjelma menjadi Al-Qur’an dan dalam Kristen sabda Tuhan menjelma menjadi Yesus. Tidak semua hal dasar seperti keimanan dijelaskan dalam Al-Qur’an, oleh karena itu hadirnya hadis disini sebagai pelengkap agar tidak salah interpretasi terhadap Al-Qur’an.
Dalam usahanya memahami Al-Qur’an ulama Islam membagi umat Islam kedalam dua golongan besar: awam dan khawas. Kaum awam memahami misi Al-Qur’an sesuai dengan tingkatan kecerdasan yang ada pada mereka, sedangkan kaum khawas memahaminya menurut pengetahuan dan ketajaman akal yang mereka miliki. Karena Islam adalah agama rasional karena begitu besarnya peranan akal dalam memahami ajaran yang tersurat maupun tersirat, sehingga sejauh mana pemahaman manusia dalam menginterpretasi wahyu sejauh itu pula dia dapat memperoleh pemahaman yang baik tentang esensi ajaran Islam.
142 Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam, Pokok-Pokok Pikiran tentang Paradigma dan Sistem Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2004), mengutip tulisan John R. Bennet, Religion dalam Encyclopedia Americana Volume 29, New York, hlm.324.
227
Rasionalisme Islam yang tergambar dalam al-quran dan hadist mencangkup aspek ibadah dan muamalah, Sebagaimana Abduh membagi ajaran Islam menjadi ajaran dasar dan bukan dasar. Ajaran dasar mencangkup Al-Qur’an dan hadist, yang kemudian didalamnya mencangkup pengabdian terhadap Allah dan muamalah atau kemasyarakatan.
Tentang aspek ibadah dalam Islam sebenarnya merupakan latihan spiritual dan moral dalam usaha membina manusia agar tidak kehilangan keseimbangan hidup dan agar manusia berbudi pekerti luhur.143 Demikianlah bahwa ajaran yang tersirat dari aktifitas ibadah adalah pendidikan moral, hal itu karena salah satu tujuan agama Islam adalah membina manusia yang berakhlak baik dan berbudi pekerti luhur sangat erat kaitannya dengan ibadah dalam Islam. Moral yang berjiwa Qur’an dan Hadist membentuk sikap mental yang baik, karena itu kunci harmonisasi kehidupan sosial manusia seutuhnya.
2. Teologi Rasional Landasan pembaharuan dan Pembangunan Umat.
Obsesi Harun ingin melihat umat muslim Indonesia maju, bahkan keseluruhan muslim diseluruh dunia. Kemajuan akan tercapai bila pemikiran umat Islam juga maju, dan pikiran-pikiran maju tersebut bertitik tolak pada pandangan teologinya. Pandangan teologi tersebut adalah pandangan teologi rasional yang menurut harun sangat cocok dengan perkembangan dan tantangan kemajuan ketika itu. Sedang, pandangan teologi tradisional, yang sebagian besar dianut umat Islam, dapat menghambat kemajuan umat Islam.
Untuk pandangan teologi rasional, Harun merujuk kepada tradisi pemikiran teologi mu’tazilah dan pemikir pembaharu lainnya. Teologi mu’tazilah dengan faham qadariyah yang berarti manusia mempunyai kebebasan untuk berfikir dan bertindak. Harun berpendapat teologi mu’tazilah mengadopsi faham sunnatullah dengan ciri-ciri: 1) kedudukan akal yang tinggi, 2) kebebasan manusia dalam kemauan dan
143 Ibid, hlm 216
228
perbuatan, 3) kebebasan berfikir hanya diikat oleh ajaran-ajaran dasar dalam Qur’an dan hadis yang sedikit sekali jumlahnya, 4) percaya adanya sunnatullah dan kausalitas, 5) mengambil arti metamorfosis dari teks wahyu, 6) dinamika dalam sikap dan berfikir144. Hukum sunnatullah adalah hukum alam yang diciptakan Tuhan atau wahyu dan hukum alam keduanya berasal dari Tuhan dan tidak bisa bertentangan, bertindak sesuai hukum alam berarti bertindak sesuai kehendak Tuhan.
Sedangkan teologi tradisional, merujuk kepada teologi asy’ariyah. Teologi asy’ariyah dengan faham jabariahnya sebagaimana harun memaparkan mempunyai ciri-ciri Ciri-ciri teologi kehendak mutlak Tuhan (jabariyah) : 1) kedudukan akal yang rendah, 2) ketidak bebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan, 3) kebebasan berfikir yang diikat dengan banyak dogma, 4) ketidak percayaan kepada sunnatullah dan kausalitas, 5) terikat kepada arti tekstual dari Al-Qur’an dan hadis, 6) statis dalam sikap dan berfikir.145
Perbedaan antara faham jabariyah dan qodariyah sendiri adalah; Faham qadhariah adalah faham yang menyatakan bahwa mansuai mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan berbuat; faham jabariyah adalah faham yang berpandangan nasib manusia dalam segala bentuknya di dunia dan akhirat, memang ditentukan langsung oleh Tuhan sejak semula.
Bila dirunut pada sejarah Islam, produktivitas ulama pada zaman klasik dalam berbagai disiplin ilmunya sangat tinggi, hal itu tak heran karena mereka memakai metode berfikir rasional, ilmiah, filosofis dan pada waktu itu sikap umat Islam adalah dinamis, orientasi dunia mereka dikalahkan oleh akhirat. Bila dikontekstualkan saat ini tidak berbeda jauh, untuk membangun umat salah satunya dengan meningkatkan produktivitas umat itu sendiri. Pada kenyataannya umat yang memandang kehidupan dunia penting maka produktivitasnya meningkat, sebaliknya kalau akhirat diutamakan maka produktivitasnya menurun.
144 Harun Nasution, Islam Rasional, Oo.Cit, hlm 112
145 Ibid, hlm 116
229
Pembangunan umat kita ditekankan bahwa pembangunan dalam bidang material harus diimbangi oleh pembangunan dalam bidang spiritual. Manusia yang tidak seimbang perkembangan material dan spiritualnya tidak akan menjadi pelaku pembangunan yang baik, berarti manusia dalam hidup harus mementingkan kehidupan dunia juga akhirat.
Penyempurnaan dalam Islam tidak hanya penyempurnaan dengan segala ilmu pengetahuan, teknologi dan sistemnya kemasyarakatan manusia dalam segala seginya melainkan penyempurnaan mengandung arti lain, yaitu dalam arti hukum, ajaran atau dasar agama atau halal serta haram, atau kemenangan Islam. Pembangunan yang tidak dibimbing oleh ajaran moral yang luhur akan terganggu. Dalam tiap pembangunan, keikhlasan, kejujuran, keadilan dan rasa kesosialan yang dalam dan sebagainya amat diperlukan.146
Dibanding aspek ibadah, sangat sedikit dalam Al-Qur’an ayat yang membahas tentang aspek kemasyarakatan, oleh karena itu dengan pemahaman teologi yang rasional dapat merubah cara pandang manusia terhadap persoalan sosial, caranya adalah mengikat kembali masyarakat modern yang dinamis dengan agama.
Eksistensi agama yang telah mulai gagal dalam masyarakat modern ini perlu diperkokoh kembali, sudah saatnya umat Islam tidak menutup diri terhadap paham kritis yang muncul, tetapi dengan kebersamaan kembali membangunkan umat Islam kepada masa jayanya dahulu. Pendeknya menurut Harun, agama tidak lagi tinggal di masjid-masjid tetapi harus terjun ke masyarakat, meneliti dan mengamati perkembangan yang terjadi dalam hidum kemasyarakatan manusia modern.
3. Masyarakat rasional landasan aspirasi sosial politik dan hubungan antar agama.
Yang terpenting dari ajaran yang diwahyukan Allah adalah tauhid, faham tauhid bahwa seluruh manusia berasal dari asal yang satu membawa kepada
146 Ibid, hlm 251
230
humanitarianisme, yang berarti kasih sayang bukan hanya kepada manusia tetapi kepada alam binatang dan tumbuh-tumbuhan. Dalam hubungannya sesama manusia terbentuklah suatu masyarakat. Dalam sebuah masyarakat sangat riskan dengan permasalahan. Menjawab daripada itu, Al-Quran tidak menjelaskan secara detail, oleh karenanya menyuruh kepada manusia untuk mencerna dari pokok-pokok dasar yang ada didalam Al-Qur’an.
Apabila Al-Qur’an membuat sistem kehidupan masyarakat tentunya akan menghambat perkembangan masyarakat, karena peraturan dan hukum bersifat mengikat juga masyarakat bersifat dinamis yang berkembang mengikuti peredaran zaman.disinilah hikmah Al-Qur’an, soal kemasyarakatan manusia lebih banyak diserahkan Tuhan kepada akal manusia untuk mengaturnya. Yang diberikan Al-Qur’an adalah dasar-dasar atau patokan-patokan yang didasarkan pada keduanya inilah manusia dapat mengatur hidup kemasyarakatan. Selanjutnya, hasil olah fikir manusia tersebut diaplikasikan dengan memperhatikan konteks waktu dan tempat, hal itulah yang menjadi dasar terbentuknya masyarakat yang rasional.
Dalam usahanya menciptakan masyarakat rasional yang baik, dimulai membentuk manusia yang terdidik moralnya, hal ini merupakan langkah dasar hingga terciptanya masyarakat yang damai dan harmonis dalam menjalani pengabdiannya kepada Allah Yang Maha Esa. Prinsip-prinsip yang dipakai dalam mewujudkan masyarakat yang dimaksud adalah : 1) pemerintah yang adil dan demokratis (musyawarah); Organisasi pemerintahan yang dinamis; 3) kedaulatan.
Tujuan politik Islam yakni membentuk negara berdasarkan Islam. Karena hukum Al-Qur’an dapat dilaksanakan dengan baik, hanya oleh pemerintah yang berjiwa Islam. Pemerintah yang berjiwa Islam dapat dibentuk hanya dengan negara Islam (tidak mesti khilafah asalkan sesuai aturan dasar Islam). Untuk memahami hal tersebut sangat menuntut kreatifitas akal manusia. Itulah pentingnya kita memahami sebelum bertindak, dan itulah mengapa kita dilarang bertaqlid buta.
Aspek politik sangat kental sekali dalam pemembangunan umat, sebuah contoh saat Rasulullah wafat, beliau tidak langsung menunjuk penggantinya, banyak hikmah
231
yang dapat diambil dari kejadian tersebut, salah satunya agar umat Islam menggunakan akalnya memilih sendiri pemimpinnya dengan cara sesuai ajaran dasar yang sudah ditinggalkan Rasul. Dalam menciptakan stabilitas politik salah satu usahanya adalah menjaga hubungan antar agama. Menurut Harun, hal yang dapat diupayakan adalah membentuk lembaga antar agama yang tujuannya antara lain; 1) berusaha bersama menyelesaikan problem sosial dalam masyarakat, 2) memberikan bimbingan keagamaan pada masyarakat, 3) bersama memperkokoh kedudukan agama yang telah mulai goyah dalam masyarakat modern.147
Perlu diperhatikan, lembaga agama tersebut tidak membahas soal-soal doktriner (tidak saling memaksakan paham tertentu), melainkan membahas problematika sosial seperti kenakalan remaja, kemiskinan dll. Lembaga antar agama bersifat non pemerintah tetapi mempunyai kerja sama yang erat dengan pemerintah. Setelah terwujudnya kerukunan antar agama dan stabilitas politik sasaran untuk memajuan Islam akan tercapai.
4. Budaya rasional landasan perkembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan
Agama adalah wahyu dari Tuhan yang sifatnya absolut, sedangkan kebudayaan adalah hasil pemikiran manusia dan bersifat relatif, tetapi diantara keduanya terdapat hubungan timbal balik148 Setidaknya itu fakta yang diungkapkan sejarah. Kebudayaan apakah itu primitif atau maju, tidak lepas dari pengaruh agama yang hidup di masyarakat bersangkutan, sebaliknya, tidak jarang agama yang ada dipengaruhi oleh kebudayaan. Hal ini berbeda dengan budaya dalam Islam, mengutip perkataan H.A.R Gibb “Islam lebih dari satu sistem agama, Islam adalah kebudayaan yang lengkap”, Islam lebih dari satu sistem peribadatan, Islam adalah kebudayaan yang sempurna”
Bangsa Indonesia mayoritas beragama Islam dikenal kuat dalam budaya dan tradisi, hal yang berlawanan dengan ajaran agama tidak dapat diterima oleh masyarakat. Sebuah kenyataan yang tidak perlu diperdebatkan lagi bahwa peradaban
147 Ibid, hlm 282
148 Ibid, hlm 238
232
yang dibangun Islam adalah peradaban ilmu. Mulai ayat al-Qur’an, sunah rasul, sejarah hidup rasul adalah bukti bagaimana perhatian Islam terhadap ilmu begitu besar. Sampai berkembangnya budaya barat yang disebut sebagai peradaban modern. Sayangnya dalam konteks kekinian mengalami kondisi yang menyedihkan (deporable), sehingga membutuhkan solusi dan langkah efektif untuk membangkitkannya. Salah satu usaha adalah melalui usaha yang dilakukan Harun Nasution.
Dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa proses penciptaan manusia dimulai dari intisari tanah yang dijadikan nuthfah, kemudian menjadi darah beku mudghah, lalu menjadi tulang, tulang dibalut dengan daging yang kemudia ditiupkan ruh. Dari proses penciptaan tersebut jelas bahwa manusia tersusun dari dua unsur, materi dan immateri, jasmani dan ruhani. Materi atau tubuh manusia mempunyai daya fisik dan jasmani sedangkan dalam ruh mempunyai daya berfikir yang disebut akal dan daya rasa yang terpusat di dada. Bila dikaitkan kedalam proses pendidikan. Pendidikan modern yang diajarkan saat ini jelas berasal dari konsep penciptaan manusia. Hasil pemikiran manusia adalah kebudayaan, karena berasal dari ketentuan manusia bukan wahyu.
Salah satu kritik tajam yang dialamatkan kepada kondisi pendidikan Islam adalah dominasi indoktrinasi yang cenderung monolog serta menonjolnya sikap taqlid yang pasif sehingga mengabaikan aspek rasionalitas serta kritis dalam prosesnya. Sebagai perlawanan daripada itu paling tidak ada tiga perubahan sistem pendidikan yang diupayakan. Pertama, merubah sistem kuliah yang selama ini dinilai feudal, menjadi sesuatu yang sangat humanis, dengan menggunakan metode diskusi atau seminar. Kedua, merubah dari budaya lisan (qaul) menjadi budaya tulisan (qalam). Ketiga memperkenalkan pendekatan pemahaman Islam secara utuh dan universal. Dominasi pendekatan fiqh oriented selama ini dalam sistem
233
pengkajianIslam membuat kajian Islam agak mandek. Demikian juga tasawuf, dan bidang kajian keIslaman yang lain149
Dengan begitu besarnya peran pendidikan maka tak ayal salah satu wadah membentuk masyarakat yang rasional adalah dengan pendidikan. Dalam pendidikan dan pengajaran, budaya tradisional seperti menitik beratkan pada hapalan diganti menjadi sistem diskusi dan seminar yang memungkinkan terjadinya dialog, menumbuhkan sikap kritis dan terbuka terhadap beberapa pemikiran yang diformulasikan oleh para pemikir dan intelektual Islam baik klasik maupun kontemporer.
Apapun usaha manusia dalam hubungannya antara dia dengan Tuhannya atau sesamanya, semakin berjalannya waktu telah terbagi menjadi golongan-golongan tertentu. Hal itu dikarenakan manusia dianugerahi akal yang dapat berbuat sesuai caranya masing-masing, dan itu merupakan usahanya menuju sirotulmustaqim seperti apa yang digambarkan Harun.
149 Said Agil Husain Al-Munawar, Pengantar: Membangun Tradisi Kajian Islam: Mengkaji Jejak Prof. Dr. Harun Nasution, dalam buku: Teologi Islam Rasional, Apresiasi terhadap Wacana dan Praktis Harun Nasution, Abdul Halim (Editor), (Jakarta: Ciputat Press, 2001), hlm.xvi-vvii).
234
Gambar 150
150 ____________, Akal dan Wahyu dalam Islam, Opcit, hlm 37.
235
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Harun Nastuion adalah seorang pembaharu di Indonesia dengan gagasan utamanya pemikiran rasionalism. Pemikiran rasionalis beliau menjadi 4 gagasan utama, yaitu 1) agama rasional sebagai landasan bagi pandangan dunia dan moral Islam; 2) teologi rasional sebagai landasan bagi pembaharuan dan pembangunan umat; 3) masyarakat rasional sebagai landasan aspirasi sosial, politik dan hubungan antar agama; 4) budaya rasional sebagai landasan bagi pengembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Paham rasionalisme juga membawa pandangan bahwa faham fatalisme yang terdapat dikalangan umat Islam perlu dirubah dengan faham kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan karena inilah yang akan menimbulkan dinamika umat Islam kembali, atau seperti kata Muhammad Abduh faham jumud yang kemudian diganti dengan faham dinamika.
Sesungguhnya ajaran pokok yang dibawakan Nabi Muhammad secara garis besar mencangkup tiga aspek. Pertama, Tauhid, atau faham monoteisme; Kedua, bersikap rasional, tidak hanya yang berkaitan dengan duniawi saja, bahkan dalam soal keyakinan keagamaan. Bukti jelasnya bahwa pemakaian akal sangat dihargai dalam Islam tertuang dalam salah satunya hadist qudsi yang berbunyi : Makanya tidak sedikit dalam teks dalam Al-Qur’an menyuruh kita untuk berfikir, merenungkan, mengamati dan mempelajari yang kesemuanya itu tidak disangsikan lagi merupakan kegiatan akal; Ketiga, pelajaran moral yang diperlukan manusia untuk kebahagian dunia maupun akhirat. Dari ketiga hal tersebut sangat erat kaitannya dengan esensi dan eksistensi manusia lahir kedunia, yakni terdiri dari unsur jasmani dan ruhani. Jasmani memerlukan kebutuhan material dan ruhani membutuhkan kegiatan spiritual (ibadah).
Intisari dari pemikiran beliau adalah pemahaman bahwa agama Islam adalah agama rasional yang universal, dengan berteologi rasional manusia dapat memahami
236
secara utuh esensi wahyu baik Qur’an dan hadist. Untuk membangun umat Islam agar selalu eksis hanya dengan terbentuknya masyarakat rasional dan jalan untuk itu tidak lain adalah melalui gerakan pembaharuan melalui pendidikan.
Konsep pemikiran tersebut tertuang dalam gerakan Harun Nasution melalui lembaga pendidikan iain. Beberapa gagasan beliau yang menjadi budaya pada dunia pendidikan indonesia saat ini diantaranya: 1) merubah sistem kuliah yang selama ini dinilai feodal menjadi sesuatu yang sangat humanis; 2) merubah dari budaya lisan (qaul) menjadi budaya tulisan (qalam); 3) memperkenalkan pendekatan pemahaman Islam secara utuh dan universal.
Dengan kemajuan yang dicapai dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi modern dapat menjawab problem-problem sosial yang sulit dapat diselesaikan. Oleh karena itu tidak bisa disangsikan lagi bahwa stabilitas masyarakat merupakan syarat bagi berhasilnya pelaksanaan program pembangunan. Menciptakan stabilitas masyarakat tentunya dengan perubahan sosial, dimulai dari merubah sikap mental, dan itu hanya dapat dilakukan melalui perubahan pendidikan. Begitulah kiranya seorang intelektual muslim yang sangat berjasa bagi pengembangan etos ilimah dan pendorong gerbong pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia. Pendidikan keagamaan adalah sebuah kemestian untuk membangun konsep dan bisi yang terus dikembangkan menuju Indonesia baru.
237
DAFTAR PUSTAKA
Anshari, Endang Saifuddin, Wawasan Islam, Pokok-Pokok Pikiran Tentang Paradigma dan Sistem Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2006)
Halim, Abdul, Teologi Islam Rasional, Apresiasi terhadap Wacana dan Praktis Harun Nasution, (Jakarta: Ciputat Press, 2002).
Hoodbhoy, Pervez, Ikhtiar Menegakkan Rasionalitas, Antara Sains dan Ortodoksi Islam, (Bandung: Mizan, 1996).
http://info-biografi.blogspot.com/2010/02/dr-nurcholis-madjid.html.
http://id.wikipedia.org/wiki/Fatalism.
Ishak, M. Shuhaimi, Islamic Rationalism, A Critical Evaluation of Harun Nasution Thought, (Malaysia: International Islamic University Malaysia, 2009).
Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI-Press, 1986)
_______. Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1998).
_______. Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975).
_______. Teologi Islam, (Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 1986).
Nata, Abuddin, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, (Tafsir Al-Ayat Al-Tarbawiy), (Jakarta: Raja Grafindo Pustaka, 2002)
Rasjidi, H.M, Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution tentang Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta : Bulan Bintang, 1977).
Taufik, Ahmad dkk, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2005).
238
http://khazanahpengetahuann.blogspot.com/2012/05/islam-rasional-harun-nasution.html
http://udhiexz.wordpress.com/2009/05/12/pemikiran-prof-dr-harun-nasution/
239
KONTEKSTUALISASI AJARAN ISLAM
Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA.
Oleh: Rifqotul Jalilah
NIM: 14750002
BAB I
PENDAHULUAN
Ketika akhir tahun 80-an, Munawir Sjadzali melontarkan isu tentang reaktulisasi ajaran Islam yang berkaitan dengan gugatan yang cukup fundamental pada nash-nash syari’ah. Pada saat itulah ia mulai memasuki persoalan dilematis antara syari’ah yang bersifat holistik dan realitas ke-Indonesiaan yang bersifat domestik.
Selama menjabat Menteri agama, tidak sedikit kebijakan yang telah diambil Munawir. Setidaknya ada tiga agenda yang paling menonjol. Pertama, menuntaskan Pancasila sebagai asas organisasi sosial-kemasyarakatan. Kedua, pembenahan lembaga-lembaga pendidikan Islam. Ketiga, penguatan keberadaan Pengadilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam.151
Jika ditelusuri, sosok Munawir tidak hanya terkenal dengan terobosan-terobosannya dalam pemerintahan, tetapi juga konsistensi pemikirannya khususnya mengenai hubungan Islam dan Negara, serta reaktualisasi ajaran Islam dan bagaimana implementasi pemikiran itu di dalam kehidupan kita sehari-hari. Menurutnya; Islam tidak mempunyai sistem politik yang mapan, dan hanya memiliki nilai etis yang dapat dijadikan pedoman penyelenggara negara. Di dalam Al-Qur’an tidak ada dalil baik qath’i maupun dzanni yang memerintahkan untuk mendirikan agama Islam.152
151 Azyumardi Azra (Ed.), Menteri-menteri Agama RI; Biografi Sosial-Politik (Jakarta: Kerjasama INIS, PPIM, dan Badan Litbang Agama Departemen Agama RI, 1998), hlm. 394.
152 Abdul Azis Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, (Jakarta: Gema Insani Press. 1996).
240
Namun di luar dari pengemukaan ide tersebut, ia telah mencoba membangun karakter baru syari’ah, yang dalam lontaran politik, dikenal dengan istilah “membangun peradaban dan karakter masyarakat yang khas Indonesia (nation state and character building), yang pluralistik dan anti diskriminasi berdasarkan apapun”. Persamaan equalitas pria dan wanita dalam pandangan berbangsa, seperti terumuskan dalam UUD 1945, tidak hanya dalam urusan waris, tetapi hampir pada seluruh aspek kehidupan. Sementara itu dalam tafsir al-Qur’an dan al-Hadis dilema tersebut hampir terjadi di setiap aspek kehidupan. Dilema yang sama juga terjadi pada pergaulan antar umat beragama, antara muslim dan non muslim. UUD 1945 anti terhadap diskriminasi berdasarkan gender, agama dan lainnya, sedangkan syari’ah memberlakukan sebaliknya.
Menghadapi realitas seperti demikian, umat Islam Indonesia dihadapkan pada dua pilihan; antara menggunakan syari’ah yang ada secara fundamental, dengan konsekuensi umat Islam termarginalkan dalam pergaulan masyarakat modern yang berkembang dengan sangat kompleks, atau menyerahkan kepada hukum sekuler secara absolut tanpa bantahan, yang berarti meninggalkan doktrin al-Qur’an dan al-Hadis. Kemungkinan lain adalah menjadikan al-Qur’an dan al-Hadis sejalan dengan semangat perkembangan masyarakat, dengan tetap konsisten, tanpa mengubah identitas dasar Islam. Pilihan inilah yang kemudian didengungkan oleh beberapa pembaharu modern Islam termasuk Munawir Sjadzali.
Keberadaan Munawir Sjadzali dalam wilayah intelektual Indonesia, tidak disangsikan lagi sebagai salah satu pemikir modern dalam wacana pemikiran politik Islam di Indonesia. Di satu sisi kehadirannya mampu mendobrak tatanan baru pola pemikiran politik Islam dengan menghadirkan suasana baru ketika berhadapan dengan teks-teks Islam. Dan di sisi lainnya secara geniral ia mampu memadukan gagasan-gagasan yang ada dalam berbagai tradisi yang berbeda berdasarkan beberapa kerangka teoritisnya.
241
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Intelektual-Sosial Munawir Sjadzali
Munawir Sjadzali lahir di Karang Anom, Klaten, Jawa Tengah tanggal 7 Nopember 1925. Ia adalah anak tertua dari delapan bersaudara dari pasangan Abu Aswad Hasan Sjadazali dan Tas’iyah. Dari segi ekonomi, keluarganya tergolong jauh dari sejahtera, tetapi dari segi agama keluarga ini adalah santri153.
Pendidikan SD dan SMP di Solo (1937-1940), Sekolah Tinggi Islam Mamba’ul Ulum dan SMA di Solo (1943), Setelah menamatkan sekolah ini ia langsung menjadi guru di Ungaran, Semarang (1944-1945), Kursus Diplomatik dan Konsuler Deplu di Universitas Exeter, Inggris Raya (1953-1954); memperoleh M.A. dari Universitas Georgetown, AS (1959) mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dalam Ilmu Agama Islam dari IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Selama masa perjuangan kemerdekaan ikut menyumbangkan tenaga antara lain sebagai penghubung antara markas pertempuran Jawa Tengah dengan badan-badan kelaskaran Islam. Ia adalah tokoh intelektual dan agama serta diplomat yang menjabat sebagai Menteri Agama sejak Kabinet Pembangunan IV (1983-1988) hingga Kabinet Pembangunan V (1988-1993).
Karirnya di Departemen luar negeri dirintis sejak tahun 1950 ketika ditugaskan pada seksi Arab/Timur Tengah. Di luar negeri, ia menjalankan tugas berturut-turut di Washington DC (1956- 1959) dan Kolombo (1963-1968). Kemudian menjabat sebagai Minister/Wakil Kepala Perwakilan RI di London (1971-1974) dan selanjutnya diangkat menjadi Duta Besar RI untuk Emirat Kuwait, Bahrain, Qatar dan Perserikatan Keamiran Arab (1976-1980).
153 . Munawir Sjadzali,. 1995. Kontekstualisasi Ajaran Islam, Jakarta: Penerbit Paramadina, hlm: 04
242
Adapaun tugas-tugasnya di dalam negeri adalah Kepala Biro Tata Usaha Departemen luar Negeri (1969-1970), Kepala Biro Umum Deplu (1975-1976), Staf Ahli Menteri Luar Negeri dan Direktur Jenderal Politik Deplu (1980-1983). Setelah itu diangkat menjadi Menteri Agama selama dua periode (1983-1993). Jabatan lain yang pernah dijalaninya adalah anggota DPA dan pernah menjadi ketua KOMNAS HAM Republik Indonesia154.
Pak Munawir telah berpulang ke rahmatullah pada jumat 23 Juli 2004 di Rumah Sakit Pondok Indah Jakarta. Pak Munawir dikenal sebagai pendidik, diplomat, birokrat dan sekaligus pemikir. Sebagai pendidik ia dikenal dengan ide-ide cemerlangnya menyangkut perbaikan sistem pendidikan Islam dan masa depan mutu cendekiawan muslim. Saat ini doktor-doktor Islam lulusan Universitas di Barat ( MC Gill, UCLA) tidak akan mungkin melupakan jasa-jasa Munawir Sjadzali, karena dialah yang memperjuangkan jalur study ke barat tersebut ketika menjabat sebagai Menteri Agama. Proyek Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) yang dibuka sejak tahun 1988 dan kelak melahirkan banyak sekali bibit unggul, lahir dari pikirannya pula.
Sebagai Menteri Agama, Munawir telah banyak mengeluarkan kebijakan berkenaan dengan kehidupaan keagamaan dan lembaga keagamaan. Namun secara umum kebijakan-kebijakan itu berada di bawah semangat Munawir untuk merumuskan hubungan yang viable antara Islam dan negara. Rumusan yang diajukan Munawir memiliki afinitas dengan mainstream kebijakan negara yang ingin meneguhkan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi seluruh organisasi politik dan organisasi sosial kemasyarakatan, termasuk yang berhaluan keagamaan. Konsep-konsep yang dibawa Munawir mendapat dukungan sepenuhnya dari negara. Tidak heran jika semasa Munawir menjabat Menteri Agama pemerintah Orde Baru mengakomodasi banyak kepentingan umat Islam. Tercatat beberapa peraturan-
154 . ibid,.
243
peraturan yang nampaknya menguntungkan Umat Islam sebagai hasil konsesi pemerintah terhadap keadaan umat Islam dan Departemen Agama seperti UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Inpres no. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Untuk menghargai jasa-jasa Pak Munawir dalam diskursus pemikiran Islam di Indonesia ada beberapa karya khusus didedikasikan kepadanya antara lain: Kontekstualisasi Ajaran Islam; 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, Menteri-Menteri Agama RI; Biografi Sosial Politik, Islam, Negara dan Civil Society, dan Islam berbagai Perspektif.
B. Karya, Gagasan dan Penghargaan
Selain sebagai diplomat ulung Munawir juga seorang intelektual yang cukup produktif, sehingga sangat banyak karya yang telah ditulisnya, sebagian ada yang sudah dibukukan dan sisanya masih terpencar. Beberapa karya yang telah ditulis oleh Munawir Sjadzali mengenai beberapa bidang, mulai dari pengalamannya sebagai menteri agama, wawasan keislaman, ketatanegaraan, pendidikan agama, pemerintahan dan tentu saja tentang perkembangan pemikiran Islam. Adapun beberapa judul tulisan Munawir Sjadzali antara lain adalah:
“Islam dan Tata Negara” merupakan pokok pikirannya tentang wacana politik Islam yang dikomparasikan dengan konteks pluralitas bangsa Indonesia, diterbitkan oleh UI Press.
“Islam Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan Bangsa” yang berbicara mulai dari karakter dasar hukum Islam sampai Pancasila, diterbitkan oleh UI Press.
“Ijtihad Kemanusiaan”. Buku ini mengupas segi inner dinamic Islam sebagai rahmatan li al-‘alamien dalam perspektif kemanusiaan, diterbitkan oleh Paramadina.
244
“Bunga Rampai Wawasan Islam Dewasa ini”. Buku ini berisi tentang tawaran Munawir tentang problematika yang dihadapi umat Islam dewasa ini.
“Islam and Govermental System: Teaching, History and Reflections”, diterbitkan oleh INIS Jakarta.
“Reaktualisasi Hukum Islam”. Tema ini tersebar di dalam berbagai buku, bahkan sebagai tema polemik dalam diskursus pemikiran Islam di Indonesia. Misalnya dalam buku “Ijtihad Dalam Sorotan”, “Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam,” dan “Hukum Islam di Indonesia”.
“Islam dan tata negara Pembinaan aparatur pemerintah dan masyarakat beragama”
“Pendidikan agama dan pengembangan pemikiran keagamaan”
“Peranan ilmuwan Muslim dalam negara Pancasila”
“Kiprah pembangunan agama menuju tinggal landas”
“Pokok-pokok kebijaksanaan Menteri Agama dalam pembinaan kehidupan beragama”.
“Tugas pengajian Islam”
“Kebangkitan kesadaran beragama sebagai motivasi kemajuan bangsa”
“Partisipasi umat beragama dalam pembinaan nasional”.
“Mungkinkah Negara Indonesia Bersendikan Islam”
Munawir adalah seorang pemimpin pembaharu pemikiran Islam dan mempunyai banyak gagasan. Dialah yang menggagas pertemuan tahunan Menteri-Menteri Agama Negara Brunei Darussalam, Republik Indonesia, Malaysia dan Singapura. Ide dan gagasannya dalam kongres Menteri-Menteri Agama seluruh dunia di Jeddah pada tahun 1988, telah diterima beberapa negara, sehingga diadakan empat kali pertemuan tahunan untuk meningkatkan pembaharuan pemikiran perihal Islam di kalangan negara anggota.
C. Munawir Sjadzali dan Pembaharuan Pendidikan Agama Islam
245
Munawir Sjadzali sangat getol melakukan pembenahan pendidikan, khususnya pendidikan di wilayah Departemen Agama. Hal ini karena menurutnya, pendidikan merupakan media yang paling tepat untuk menyiapkan calon pemimpin bangsa yang tangguh. Untuk itu, Munawir segera melakukan pembenahan terhadap IAIN. IAIN merupakan lembaga pendidikan tinggi Islam yang strategis, akan tetapi tidak diimbangi dengan landasan hukum yang kuat. Kondisi demikian selanjutnya berimplikasi pada kecilnya anggaran yang diterima IAIN, khususnya jika dibandingkan dengan perguruan tinggi negeri lainnya yang bernaung di bawah payung Depdikbud. Sehingga, hal ini harus dicarikan solusi secepatnya, agar IAIN betul-betul mampu menjadi lembaga yang mencetak kader berpendidikan agama yang berkualitas. Setidaknya ada dua langkah yang dilakukannya sebagai solusi atas hal itu, pertama, pembenahan yang dilakukan dari segi hukum, dan kedua, dari segi Sumber Daya Manusia (SDM).155
Dari segi hukum, Munawir menjalin kerjasama dengan Depdikbud dan Kantor Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. Baik Mendikbud, Prof. Dr. Nugroho Notosusanto maupun Menpan, Prof. Dr. Saleh Afif menyambut baik prakarsa ini. Mereka bahkan sangat antusias membantu usaha Departemen Agama untuk menata pendidikan agama di Indonesia. Pihak Mendikbud mengatakan, “Jika IAIN dapat memenuhi syarat-syarat minimal sebuah perguruan tinggi yang ditetapkan oleh Depdikbud, maka IAIN akan diberlakukan sebagai perguruan tinggi yang statusnya sama dengan perguruan tinggi yang berada di bawah Depdikbud”. Pengakuan ini merupakan kemajuan yang sangat berarti bagi IAIN.
Tak lama kemudian, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang IAIN akhirnya tersusun. Pada bulan Mei 1985, Nugroho Notosusanto, Saleh Afif dan Munawir menghadap Presiden Soeharto di Bina Graha. RPP tentang dasar hukum IAIN tersebut akhirnya ditetapkan menjadi PP No. 33 Tahun 1985. Dengan PP ini
155 Azyumardi Azra (Ed.),Op.Cit, hal. 401
246
status, perlakuan, dan fasilitas IAIN yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia sederajat dengan perguruan tinggi negeri yang dikelola Depdikbud. Peraturan Pemerintah itu selanjutnya dijabarkan dalam Keppres No. 9 Tahun 1987 yang kemudian menjadi bagian dari UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Artinya pendidikan agama diletakkan sebagai sub-sistem pendidikan nasional, yang menjadi bagian dan penopang sistemnya.
Setelah berhasil membenahi segi dasar hukum IAIN, langkah Munawir selanjutnya adalah melakukan pembenahan dari segi sumber daya manusia. Pertama kali yang mendapat perhatian Munawir adalah sistem pendidikan madrasah. Selama ini madrasah masih dianggap sebagai lembaga pendidikan “kelas dua” dibandingkan sekolah umum. Fasilitas yang minimal, lokasi yang kebanyakan di pedesaan, dan kurikulum yang tidak seimbang antara pendidikan agama dan umum, menyebabkan lembaga ini tidak banyak menghasilkan bibit unggul bagi IAIN. Untuk itu, ia meninjau kembali Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri tahun 1975 yang dikeluarkan pada masa Prof. Dr. Mukti Ali menjabat Menteri Agama. SKB Tiga Menteri antara lain menetapkan bahwa madrasah harus bermuatan 70% pengetahuan umum dan 30% pengetahuan agama, dengan harapan agar madrasah sederajat dengan sekolah umum, terutama dari segi kurikulum.
Maksud SKB ini memang baik, tetapi akibat yang tampaknya kurang diperhitungkan adalah tamatan Madrasah Aliyah (MA) menjadi lebih siap masuk ke perguruan tinggi umum daripada perguruan tinggi agama. Mereka jelas bukan merupakan bibit unggul untuk IAIN. Penguasaan agama tamatan MA bukan hanya sangat lemah, lebih dari itu bahkan tidak dapat diandalkan untuk menjadi calon-calon ulama. Sehingga, Munawir merasa perlu untuk menyempurnakan SKB Tiga Menteri itu.
Bentuk penyempurnaan itu adalah mengadakan pilot project Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) dengan muatan kurikulum 70% pengetahuan agama dan
247
30% pengetahuan umum. Dengan struktur kurikulum demikian, konsekuensinya tamatan MAPK, tidak dapat masuk ke perguruan tinggi umum, tetapi mereka adalah bibit-bibit unggul bagi IAIN. Dengan proyek ini, harapan untuk mengembangkan ilmu-ilmu keislaman yang sejalan dengan tantangan modernitas melalui IAIN dengan cepat akan segera terwujud. Ide penyempurnaan SKB Tiga Menteri ini disetujui oleh Presiden Soeharto. Sehingga pada 1988 proyek MAPK dimulai dan untuk tahap pertama, dibuka di lima lokasi; Padang Panjang, Ciamis, Yogyakarta, Ujung Pandang, dan Jember. Selanjutnya, MAPK ditambah di lima kota lagi, yaitu di Banda Aceh, Lampung, Solo, Banjarmasin, dan Mataram.156
Dalam perkembangannya, menurut Dr. Zamakhsjari Dhofier, jumlah MAPK sudah membengkak menjadi 110 buah. Salah satu keberhasilan proyek ini, menurut Munawir adalah berhasilnya 48 alumni MAPK tahun 1991 mengikuti proses belajar mengajar di Universitas Al-Azhar. Melihat keberhasilan proyek MAPK ini, Presiden Soeharto memberikan saran agar proyek serupa juga diterapkan untuk Madrasah Tsanawiyah.
Kegelisahan Munawir bukan hanya berkaitan dengan kondisi Madrasah saja, melainkan juga mutu staf pengajar IAIN. Sehingga, bersamaan dengan pelaksanaan proyek MAPK, ia juga berusaha meningkatkan kualitas dosen IAIN. Hal ini dilakukan dengan menghidupkan kembali tradisi mengirim dosen IAIN untuk studi ke negara-negara Barat –khususnya ke Universitas McGill, (Montreal, Kanada) dan Universitas Leiden (Belanda)- yang dulu pernah dirintis Mukti Ali. Menurutnya, ilmuwan Muslim Indonesia yang mampu berkomunikasi dengan dunia modern adalah mereka yang di samping mendapat pendidikan S1 di Timur, juga mengenyam pendidikan S2 dan S3 di Barat. Munawir menunjuk nama-nama seperti Prof. Dr. HM.
156 Munawir Sjadzali, MA., Memori Akhir Tugas Menteri Agama Republik Indonesia, Masa Bakti 1988-1993 Kabinet Pembangunan V, (Jakarta, 1993)
248
Rasjidi, Prof. Dr. Mukti Ali, dan Prof. Dr. Harun Nasution157 sebagai prototype ilmuwan Muslim Indonesia.
Program pengiriman dosen ke luar negeri relevan dengan usaha menjaring alumni IAIN yang berkualitas, sehingga pada tahun 1988 dibuka Program Pembibitan Calon Dosen IAIN. Selain pesertanya sangat terbatas, hanya diikuti oleh tak lebih dari 30 peserta, program ini juga hanya menerima mereka yang indeks prestasi kumulatifnya di atas tiga. Di samping itu, para peserta juga harus memiliki dasar-dasar penguasaan bahasa yang memadai, baik Inggris maupun Arab. Hal ini untuk memenuhi persyaratan yang diminta lembaga-lembaga pemberi beasiswa dan universitas-universitas Barat.
Pada periode 1988-1991, program pengiriman dosen ini mengalami sukses. Tak kurang dari 75% pesertanya diterima untuk program S2 dan S3 di universitas-universitas Barat, seperti McGill di Kanada; UCLA di Columbia, Chicago, dan Harvard di USA; London, Leiden, dan Hamburg di Eropa Barat; serta ANU, Monash, dan Flinders di Australia. Kesuksesan ini mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kelangsungan pengiriman mahasiswa tahap berikutnya. Menurut catatan Munawir, selama ia menjadi Menteri Agama, Departemen Agama telah mengirim sebanyak 225 mahasiswa ke Barat. Sampai tahun 1993, dari mereka itu telah kembali ke Indonesia sebanyak 12 orang dengan menyandang gelar Ph.D dan sebanyak 67 orang dengan gelar MA.158
Pengiriman dosen IAIN ke universitas-universitas barat dapat dipandang sebagai bagian dari pelaksanaan konsep Munawir Sjadzali tentang hubungan antara Islam dan negara. Munawir menginginkan agar para dosen IAIN mampu berkomunikasi dengan para teknokrat dan birokrat yang rata-rata tamatan universitas-universitas Barat.
157 M. Wahyuni Nafis (Ed.), Op.Cit, hlm. 83.
158 Ibid, hlm. 86.
249
Kelompok pertama merepresentasikan kalangan agama, sedangkan yang kedua mewakili unsur-unsur modernitas.
D. AQIDAH, SYARIAH DAN KONTEKSTUAL
Islam menuntut kepada para pemeluknya untuk mampu mentransfer wahyu ke permukaan alam realita dengan mengangkat nilai humanisme dan melakukan reinterpretasi serta transformasi ide-ide pemikiran keagamaan ke tatanan sosial masyarakat dengan mengedepankan kemaslahatan bersama, sehingga mampu menciptakan kedamaian bagi seluruh manusia.
Islam adalah agama samawi yang ashlah dan universal. Ia memiliki perangkat hukum yang sempurna dan mampu menjadi agama yang solutif, sehingga tetap relevan di abad 21 ini, bahkan hingga akhir zaman nanti.
Membangun Aqidah Sebelum Syariah
Jika ditelusuri, turunnya wahyu tidak dimulai dari aspek syariah, melainkan aspek akidah. Kehidupan seorang muslim tidak diawali dengan sistem dan hukum, tetapi diawali dengan paradigma dan pandangan. Syariah merupakan sesuatu yang bersumber dari akidah, sementara sistem hukum Islam dihasilkan dari pandangan tentang agama. Oleh karenanya, sebelum menegakkan syariah Islam kita hendaknya berupaya terlebih dahulu mengeksplorasi prinsip-prinsip umum dalam bidang akidah, melalui penafsiran-penafsiran yang dapat memenuhi tantangan zaman.
Jika Islam telah mendarah daging dalam diri setiap individu, juga sadar akan urgensi syariah yang terlahir dari akidah, maka bukan tidak mungkin jika masyarakat Indonesia dengan sendirinya dapat menerapkan syariah Islam secara baik dan sempurna. Hingga pada akhirnya, tanpa disadari, mereka akan merasa hidup dalam suasana negeri yang damai dan bebas melaksanakan syariah, meski sebenarnya hidup di satu negeri yang tidak menganut sistem hukum Islam. Hal ini juga dapat terbaca dari fenomena menjamurnya bank-bank syariah di Tanah Air.
250
Penerapan syariah dapat dimulai dari masyarakat. Untuk itu, perlu menghadirkan wajah syariah yang sesungguhnya, dengan menunjukkan bahwa ia tidak seseram yang dibayangkan. Bukankah Islam shalih li kulli zaman wa makan? Mengapa penerapan syariah Islam cenderung hanya berkisar pada potong tangan bagi pencuri, rajam bagi pezina, atau pancung bagi pembunuh?
Padahal dzahir nash yang berhubungan dengan jinayat (hukum pidana) masih mungkin untuk diolah dan ditafsirkan secara kontekstual, dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi, serta maslahah sebagai pijakan sebagaimana yang dilakukan oleh khalifah, hakim, dan ilmuwan dalam menempuh kebijaksanaan hukum berdasarkan kontekstual (memahami ajaran Islam dengan akal budi dengan rasa penuh tanggung jawab terhadap Islam), diantaranya yaitu: Umar Ibn Khaththab; dalam hal pembagian ghanimah dan penghapusan pemberian zakat kepada golongan muallaf dengan alasan yang mendasari tindakan beliau yang tidak sesuai dengan petunjuk al-Qur’an secara harfiyah adalah perubahan situasi dan kondisi, begitu juga kebijakan dalam masalah talak, rajam dan larangan menjual Umm al-Walad semua hal tersebut karena perubahan situasi tetapi lebih merupakan perkembangan kesadaran. Umar Ibn ‘Abd al-Aziz; dalam soal penerimaan hadiah bagi para pejabat Negara dan karyawan pemerintah, demi mewujudkan pemerintah yang bersih dia berani mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh Nabi, Abu Bakar dan Umar. Abu Yusuf al-Hanafi, Izz al-Din Abd Salam al-Syafi’i, Al-Thufi al-Hanbali, Muhammad ‘Abduh; sangat menekankan peranan akal sebagian pemberian Allah yang paling berharga kepada manusia, sebagaimana dalam al-Qur’an terdapat dalam 43 ungkapan yang mendorong agar kita memanfaatkan akal dengan sebaik-baiknya.159
Konsepsi Syari`ah dan Relevansinya
Perdebatan kontekstualisasi pemikiran keagamaan adalah upaya untuk menguak nilai-nilai Islam “shalih li kulli zaman wa makan” yang tersembunyi dibalik teks,
159 Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 1997), hlm. 57-58.
251
selaras dengan visi dan misi maqashid syari`ah. Syariah bukan akidah adalah sesuatu yang dinamis, tidak statis. Kedinamisannya terletak pada kenyataan bahwa syariah menuntut implementasinya dalam kehidupan sosial masyarakat. Sedangkan sosial dan budaya masyarakat itu sendiri senantiasa berkembang dari masa ke masa, dan berbeda antara satu tempat dengan yang lain.
Untuk itu, diperlukan ijtihad para yuris dengan melandaskan diri pada prinsip dan kaidah-kaidah umum dalam syariah dan berpijak pada pertimbangan maslahah, yang pada gilirannya akan menghasilkan suatu produk hukum baru yang dapat dilaksanakan oleh masyarakat. Produk hukum baru tersebut adalah hasil reinterpretasi dari hukum yang sudah ada sebelumnya, tanpa menggeser hukum-hukum ushul agama yang sifatnya konstan (tsawabit).
Dr. H. Abu Yazid, LL.M mendefinisikan ‘maslahah’ sebagai suatu kondisi dari upaya untuk mendatangkan sesuatu yang berdampak positif (manfaat) serta menghindarkan diri dari hal-hal yang berdimensi negatif (madharat). Sedangkan Ushul (pokok) merupakan pengetahuan yang dijadikan pijakan dalam berpikir rasional untuk melahirkan hukum-hukum cabang (furu`) serta untuk menertibkan dalil-dalilnya. Disamping itu, ushul juga merupakan tolak ukur untuk menentukan mekanisme pembentukan hukum-hukum cabang agar tidak bergeser dari titik orbitnya.
Ilmu ushul dapat diumpamakan sebagai fondasi sebuah bangunan, sementara ilmu furu` dapat diposisikan sebagai bangunan itu sendiri. Bangunan yang tidak dilandaskan pada fondasi yang kuat akan mengakibatkan bangunan itu goyah. Sebaliknya, fondasi yang kuat saja tanpa dibina sebuah bangunan akan sia-sia belaka dan tak dapat difungsikan sebagaimana mestinya160.
160 ibid
252
Dalam sejarah pemikiran hukum Islam (fiqh) sering kita temui perubahan ketetapan hukum karena pertimbangan maslahah. Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz, ketika menjabat Gubernur di Madinah, hanya mau memberi keputusan hukum bagi gugatan penggugat bila ia dapat mengajukan dua orang saksi, atau seorang saksi yang disertai sumpah penggugat. Sumpah tersebut dimaksudkan sebagai ganti dari kedudukan seorang saksi lain. Tetapi, setelah Umar ibn Abdul Aziz menjabat sebagai khalifah yang berkedudukan di Syam, beliau enggan memberikan ketetapan hukum atas pengajuan formula saksi yang sama. Ketika ditanya tentang pendiriannya tersebut, ia menjawab: “kami melihat orang Syam berbeda dengan orang Madinah”. Kebijakan yang diambil oleh Umar ibn Abdul Aziz ini berasas atas pertimbangan bahwa dalam menyikapi satu perkara bisa berbeda berdasarkan perubahan tempat, kondisi dan waktu.
Khalifah Umar bin Khattab juga sering menggunakan ketetapan hukum berdasarkan pertimbangan maslahah. Hal ini bisa dilihat dari kebijakannya yang tidak menerapkan hukum potong tangan bagi pencuri. Kebijakan tersebut tentu bertentangan dengan dzahir teks al-Qur`an yang juga diperkuat dengan sunnah fi`liyah. (lihat: Islam Akomodatif, hal. 118-120).
Pertimbangan Umar ibn Khattab dengan tidak menerapkan jenis hukuman ini adalah bahwa hukum potong tangan tidak memungkinkan untuk diterapkan dalam kondisi masyarakat pada saat itu161. Dengan kata lain, maslahah yang menjadi pijakan ketetapan hukum menuntut adanya jenis hukuman lain untuk kondisi yang serba kekurangan. Dengan demikian, bagi Khalifah Umar, yang paling asasi adalah bagaimana ruh dan ajaran Islam dapat diterapkan demi kemaslahatan umat yang ukurannya tidak sama pada setiap komunitas masyarakat. Ibn Qayyim al-Jauziyah, seorang ulama madzhab Hanbali, pernah membuat statemen populer, yakni: “Perubahan dan perbedaan fatwa dapat dibenarkan karena perbedaan zaman,
161 Nurchalis Majid, Islam, Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Penerbit Yayasan Paramadina.
253
linkungan, situasi, niat dan adat istiadat”.162 Lebih jauh lagi beliau berkata: “Syariat Islam berdiri diatas fondasi kebijaksanaan dan kepentingan hidup umat manusia di dunia dan akhirat. Secara keseluruhan, syariat Islam bercirikan keadilan, rahmah, mashlahah, dan hikmah.
Pengertian Kontekstual
Istilah konteks, kontekstual, kontekstualisasi sesungguhnya telah banyak diakrabi dunia pesantren. Namun, perlu sekali kita kaji terlebih dahulu dari segi kebahasaannya. Konteks berasal dari bahasa inggris context atau dalam bahasa arabnya qarinah atau siyaqul kalam yang berarti situasi yang ada hubungannya atau budaya, atau situasi kondisi yang dilatar belakangi leh sosial budaya. Sedangkan kontekstual berarti yang berhubungan dengan konteks.
Secara umum dapat dikatakan bahwa hampir seluruh ulama menggunakan metode kajian kontekstual, walaupun dengan intensitas penggunaan yang berbeda-beda. Dalam mengkontekstualisasikan ajaran Islam barangkali lebih tepat menggunakan dua pendekatan163. Antara lain:
a. Sejarah Sosial Pemikiran
Dalam hal ini pemikiran hukum Islam. Meminjam pengertian dari M. Atho’ Mudzar, pendekatan sejarah sosial dalam pemikiran hukum Islam ialah pendekatan bahwa setiap produk pemikiran hukum Islam pada dasarnya adalah hasil interaksi antara pemikir hukum (mu`allif) dengan lingkungan sosio-kultural atau sosio-politik yang mengitarinya. Produk pemikirannya bergantung kepada lingkungan, ruang dan waktu. Pendekatan ini memperkuat alasan dengan menunjuk kepada kenyataan
162 Mahmasani , Subhi, Falsafah al-Tasyri’ fi al-Islam, (Beirut, Libanon: Dar al-Fikr li al-Malayin), hlm. 126.
163 . ibid.,
254
sejarah bahwa produk-produk pemikiran yang sering dianggap sebagai hukum Islam itu sebenarnya tidak lebih dari hasil interaksi tersebut.
Pendekatan ini penting digunakan sedikitnya karena dua hal. Pertama, untuk meletakkan produk pemikiran hukum Islam itu pada tempat yang seharusnya, dan kedua, untuk memberikan tambahan keberanian kepada para pemikir hukum sekarang agar tidak ragu-ragu bila merasa perlu melakukan perubahan suatu produk pemikiran hukum karena sejarah telah membuktikan bahwa umat Islam di berbagai penjuru dunia telah melakukannya tanpa sedikitpun merasa keluar dari kerangka pemikiran hukum Islam.
b. Substansi nilai-nilai teks
Selain pemahaman terhadap sejarah yang menjadi background timbulnya hukum-hukum yang digali oleh para ulama salaf yang termaktub dalam kitab, kita juga perlu untuk memahami secara substantif dari nilai-nilai teks yang telah kodifikasikan para ulama salaf. Karena dengan itulah kita bisa benar-benar memahami pemikiran para ulama terdahulu dengan tidak meninggalkan khazanah klasikal para ulama terdahulu yang tak ternilai.
Kita tidak perlu untuk meninggalkan buku klasik. Meninggalkan buku tersebut akan mengakibatkan terputusnya mata rantai sejarah dan budaya ilmiyah yang telah dibangun berabad-abad. Menutup mata dari hal itu berarti menutup jalur keilmuan yang menghubungkan tradisi keilmuan sekarang dengan tradisi keilmuan milik kita pada masa lalu. Hanya kitalah (generasi islam) yang bisa menjaga keutuhan khazanah tersebut sebagai warisan yang berharga dari ulama salaf, dan kita harus bisa memposisikannya hingga kita bisa terjiwai oleh keilmuan secara konseptual dan tidak menyimpang dari rel keilmuan yang telah dibangun oleh para ulama salaf.
255
Prinsip al-muhafadhah ‘ala qadim as-shalih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah yang harus kita pegang dalam rangka mengkontekskan kitab kuning dalam menjawab permasalahan umat saat ini
E. PEMIKIRAN MUNAWIR SJADZALI DALAM HUKUM ISLAM
1. Metodologi Ijtihad Munawir Sjadzali
Dalam beberapa kesempatan, Al-Qur’an menggunakan terminologi Jadid/Tajdid untuk memberikan justifikasi atas kekuasaan Allah dan ketidak mampuan manusia atau bahkan ayat tersebut dipakai untuk menguji ulang kekuasaan Allah yang untuk sementara diper-tanyakan oleh hamba-Nya dalam rangka memperkuat keimanannya, misalnya pada surat Al-Isra’ 51, As-Saba’ 7, As-Sajdah 10 dan Qaf 15. Oleh sebab itu Tajdid diperlukan dalam rangka meningkatkan keimanan dan memperbaharui keberagamaan itu sendiri. Dalam berijtihad, Munawir menggunakan tiga kerangka metodologi, yaitu ‘adah, nasakh dan maslahah. Adapun uraian tentang ketiga metodologi tersebut adalah sebagai berikut:
a. Kebiasaan (‘adah)
Munawir selalu mengutip pendapat Abu Yusuf yang mengatakan bahwa nash diturunkan dalam suatu kasus adat tertentu. Jika adat berubah, maka gugur pula dalil hukum yang terkandung dalam nash tersebut. Bagi Munawir nash hanyalah sebuah tawaran bagi pemecahan masalah (hukum, sosial, politik) yang efektif dalam kondisi sosial masyarakat tertentu. Apabila terjadi pertentangan antara nash dan adat, dan ternyata adat lebih menjamin kemaslahatan yang dibutuhkan oleh masyarakat, maka adat dapat diterima. Kekuatan hukumnya sama kuatnya dengan hukum yang ditetapkan berdasarkan nash. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi bahwa sesuatu yang dipandang baik oleh umat Islam, maka dianggap baik di sisi Allah.
Ada beberapa ayat yang menjadi sorotan Munawir karena dianggap sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan sekarang, seperti QS. Al-Nisa’: 3, QS. Al-Ahzab: 52, QS. Al-Ma’arij: 30.
256
Ayat-ayat tersebut hanya memberikan solusi bagi generasi awal pertengahan. “Penolakan” terhadap nash karena adanya adat baru yang dipandang sebagai illat pembatalan hukum yang terkandung dalam nash adalah sesuai dengan kaidah yang mengatakan:
الحكم يدور مع لِته وجودا و دِما
تغير الأحكام بتغير الأمكنة و الأزمنة والعرف
Hal ini tidak otomatis bisa dipandang sebagai pengabaian nash, namun merupakan cara lain untuk menafsir/menta’wilkan kandungan (maslahah) yang terdapat dalam nash. Teori ini masih sangat layak digunakan dalam pengembangan hukum Islam. Teori adat yang disiapkan dalam kerangka metodologi hukum Islam ini merupakan langkah untuk mengantisipasi perubahan dalam masyarakat, karena kebutuhan masyarakat akan terus berkembang. Untuk itu adat ini digunakan sebagai salah satu alat yang memberikan jaminan bahwa Islam Shalih li kulli makan wa zaman.
b. Nasakh
Dalam pandangan Munawir, nasakh adalah pergeseran atau pembatalan hukum-hukum atau petunjuk yang terkandung dalam ayat-ayat yang diterima oleh Rasul pada masa sebelum-sebelumnya. Munawir sering mengutip pendapat Mufassir besar seperti:
1. Ibn Katsir: “Sesungguhnya menurut rasio tidak terdapat sesuatu yang menolak adanya nasakh (pembatalan) dalam hukum-hukum Allah” (Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Juz 1, hlm. 151).
2. al-Maraghi: “Sesungguhnya hukum-hukum itu diundangkan untuk kepentingan manusia, dan kepentingan manusia dapat berbeda karena perbedaan zaman dan tempat. Maka apabila suatu hukum diundangkan pada waktu dimana memang dirasakan kebutuhan akan adanya hukum itu,
257
kemudian kebutuhan itu tidak ada lagi, maka suatu tindakan bijaksana menghapus hukum itu dan menggantikannya dengan hokum lain yang lebih sesuai dengan waktu terakhir” (Tafsir al-Maraghi, Juz 1, hlm. 187).
3. Muhammad Rasyid Ridla: “Sesungguhnya hukum itu (dapat) berbeda karena perbedaan zaman, tempat dan situasi. Kalau satu hukum diundangkan pada saat dibutuhkannya hukum itu, kemudian kebutuhan itu tidak ada lagi pada waktu lain, maka suatu tindakan bijaksana menghapus hukum itu dan menggantikannya dengan hukum lain yang sesuai dengan waktu yang belakangan itu” (Tafsir al-Manar, Juz 1, hlm. 414), dan 4.
4. Sayyid Qutb berpendapat bahwa ayat nasakh (al-Baqarah: 106) itu diturunkan sebagai sanggahan terhadap terhadap tuduhan orang-orang yahudi bahwa Nabi tidak konsisten, baik mengenai perpindahan kiblat dari Masjid al-Aqsa ke Masjid al-Haram, maupun perubahan-perubahan petunjuk, hukum dan perintah yang akan terjadi sebagai akibat dari pertumbuhan masyarakat Islam, dan situasi serta kondisi mereka yang terus berkembang (Sayyid Quthb, Tafsir fi Dhilali al-Qur’an, Juz 1, hlm. 101-102).
Inti dari pendapat para mufassir tersebut adalah nasakh merupakan suatu keharusan karena perubahan hukum sangat erat kaitannya dengan perubahan tempat dan waktu. Oleh karena itu, nasakh sangatlah diperlukan.
Dalam Al-Qur`an terdapat paling sedikit empat ayat yang berisi pemberian izin pengunaan budak-budak sahaya sebagai penyalur alternatif bagi kebutuhan biologis kaum pria di samping istri (ayat 3 surat al-Nisa`, ayat 6 surat al-Mu`minun, ayat 52 surat al-Ahzab dan ayat 30 surat al-Ma`arij). Memang, Nabi besar Muhammad saw, dahulu selalu menghimbau para pemilik budak untuk berlaku lebih manusiawi terhadap budak-budak mereka atau membebaskan mereka sama sekali. Tetapi yang jelas, sampai Nabi wafat dan wahyu terakhir sudah turun, Islam belum secara tuntas menghapus perbudakan. Kita sekarang hidup pada abad 21, dimana umat manusia sepakat untuk mengutuk perbudakan, dalam segala manifestasinya, sebagai musuh
258
kemanusiaan. Apa kata dunia terhadap Islam? berdasarkan empat ayat tersebut sebagai nash sharih kalau kita melihat Hak Asasi Manusia (HAM), sebab hak asasi yang paling asasi adalah hak untuk hidup sebagai manusia merdeka, sedangkan menurut dalil Qath`i itu masih dibenarkan oleh Islam164.
c. Maslahah
Mengutip dari konsep maslahah atThufi bahwa jika terjadi perselisihan antara kepentingan masyarakat dengan nash dan ijma’, maka wajib mendahulukan kepentingan masyarakat atas nash dan ijma’. Pemikiran at-Thufi ini dibangun atas empat prinsip dasar, yaitu:
استقلل العقول بادراك المصالح و المفاسد
(Kebebasan akal untuk menentukan baik dan buruk [tanpa harus dibimbing oleh kebenaran wahyu])
المصلحة دليل شر يِ مستقل نِ النصوص
“Maslahah adalah dalil syara’ yang tidak terikat dengan ketentuan nash.”
مجال العمل بالمصلحة هو المعاملت والعادات دون العبادات والمقدرات
“Maslahah hanya dapat dijadikan dalil syara’ dalam bidang mu’amalah , adat istiadat, tidak dalam bidang ibadah dan yang tersembunyi (yang telah ditakdirkan).”
المصلحة أقوى أدلة الشرع
“Maslahah adalah dalil syara’ yang terkuat.”
Adat, nash dan maslahah selalu menjadi landasan metodologis Munawir dalam melakukan ijtihad. Kadang ketiganya digunakan secara terpisah, dan tidak jarang digunakan secara bersamaan. Dalam menerapkan ijtihad di bidang waris, Munawir
164 Sjadzali, Munawir. 1995. Op cit hlm. 94
259
menggabungkan ketiga metodologi tersebut dengan mengangkat latar belakang sosial masyarakat Solo, Jawa Tengah. Karena di Solo kaum perempuan merupakan pihak yang aktif dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
Untuk masyarakat Arab yang menganut budaya patriakhi (budaya yang menguntungkan laki-laki), sistem pembagian waris yang ditawarkan Al-Qur’an sangat revolusioner, karena perempuan mendapat bagian setengah dari bagian laki-laki. Namun untuk konteks masyarakat Solo, ketentuan pembagian warisan sebagaimana ditawarkan Al-Qur’an tidak memberikan kemaslahatan dan tidak adil. Menurut Munawir ayat waris dalam Al-Qur’an perlu di nasakh (ditangguhkan pemberlakuannya) apabila dalam suatu masyarakat berlaku budaya matrilineal atau bilateral, seperti di Solo dan sejumlah wilayah di Indonesia. Peran dan status perempuan di Arab berbeda dengan peran dan status perempuan yang ada pada masyarakat Solo. Potret perempuan dalam pandangan masyarakat Arab adalah sosok manusia pingitan, sedangkan di Solo perempuan merupakan sosok yang aktif dalam memenuhi kebutuhan keluarga dan masyarakat165. Dengan demikian, ketentuan hukum yang harus diberlakukan terhadap komunitas tersebut harus berbeda.
Penangguhan pemberlakuan ayat waris dalam Al-Qur’an akan memunculkan pemikiran baru (ijtihad) yang lebih memperjuangkan nilai kemaslahatan bagi masyarakat Indonesia dalam pembagian warisan. Hal ini harus diakui sebagai sebuah produk hukum, agar umat Islam Indonesia tidak terjebak pada dualisme hukum dalam pembagian warisan. Umat Islam tidak tampak lagi sebagai orang yang tidak konsisten yaitu mengaku sebagai orang Islam, namun dalam sisi lain tidak melaksanakan hukum Islam secara holistik dalam keseharian kehidupan mereka.
Konsep adat, nasakh dan maslahah yang dijadikan Munawir sebagai pijakan epistema-metodologis dalam pembaharuan pemikiran dan pengembangan hukum
165Ibid.,
260
Islam masih perlu dikaji lebih dalam. Terlebih jika dikaitkan dengan masalah-masalah yang muncul dari fenomena-fenomena particular-kasuistik. Ijtihad Munawir tentang kewarisan hanya terfokus pada masyarakat Solo. Memerlukan alat dan pemikiran berbeda untuk mengijtihadi fenomena perempuan yang latar belakang kultur-sosioligisnya dalam masalah harta warisan berbeda dengan masyarakat Solo. Oleh karena itu, dengan tetap menghargai kontribusinya dalam pembaharuan pemikiran dan pengembangan hukum Islam.
2. Latar Belakang Pemikiran Munawir Sjadzali dalam Hukum Islam
Sebagai seorang negarawan dan ilmuan, Munawir sangat berminat dalam mengembangkan ilmu Islam. Penguasaan dan pemikirannya menonjol dalam dua bidang yaitu Hukum Islam dan Fiqh Siyasi. Kegelisahan Intelektual Munawir memicu dirinya untuk menuangkan beberapa gagasan reaktualisasi hukum Islam. Dua pemikiran yang memicu Munawir untuk memunculkan ide reaktualisasi ini adalah sebagai berikut166:
Pertama, Munawir melihat bahwa adanya sikap ambigu di kalangan umat Islam dalam menjalankan hukum Islam. Hal ini dapat dilihat dalam penyikapan umat Islam terhadap hukum keharaman bunga Bank. Pada saat yang sama umat Islam Indonesia tetap menggunakan jasa perbankan konvensional, hal ini bertentangan dengan apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan.
Kedua, dalam hal pembagian harta warisan. Dalam al-Quran surat al-Nisa’ ayat 11, dengan jelas menyatakan tentang pembagian harta warisan. Tetapi ketentuan tersebut sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat Islam Indonesia, baik secara lansung maupun tidak lansung. Munawir menyatakan bahwa ia mengetahui hal semacam ini setelah beliau menjadi Menteri Agama. Sebagai Menteri Agama Munawir banyak mendapat laporan dari para hakim di Pengadilan Agama di berbagai
166 . Sjadzali, Munawir. 1995. Op cit, hal: 87
261
daerah, termasuk daerah-daerah yang kuat Islamnya, seperti Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan, tentang banyaknya penyimpangan pembagian harta warisan dari ketentuan Al-Quran. Para hakim sering kali menyaksikan, setelah perkara waris diputus secara faraidh, ahli waris tidak mau melaksanakannya167. Hal ini tidak hanya dilakukan oleh orang-orang awam saja, melainkan juga dari tokoh organisasi Islam yang cukup menguasai ilmu-ilmu keislaman. Dari kedua latar belakang ini kemudian menarik Munawir untuk berijtihad.
Menurut Munawir, hukum Islam adalah hukum Allah yang terbagi dalam ranah qath’iyah dan zhanniyah. Dalam ranah qath’iyah, umat manusia harus menerimanya tanpa bantahan karena hal tersebut merupakan aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan masalah ibadah, dan dalam masalah ibadah tidak semuanya dapat dicapai oleh akal manusia.
Dalam bidang muamalah, Munawir sangat menganjurkan untuk menggunakan akal secara optimal dalam menemukan jawaban hukum. Munawir sangat berpihak pada aspek-aspek sosiologis-histories kemanusiaan, sekalipun kadang harus bertentangan dengan dalil nash yang sharih dan qath’i. Tidak mungkin mengabaikan aspek sosiologis-historis untuk menjawab kasus hukum yang berkaitan dengan urusan manusia. Orientasi yang dikedepankan oleh Munawir adalah kemaslahatan duniawi yang akan membawa manusia kepada kemaslahatan ukhrawi168.
Masih dalam bidang yang sama yaitu muamalah, Munawir juga berpandangan bahwa apabila ada dalil qath’i yang menunjukkan sebuah keharusan pelaksanaan ketentuan hukum, akan tetapi penerapannya tidak memberikan maslahah bagi masyarakat, maka penggunaan dalil qath’i tersebut ditinggalkan. Menurut munawir hal ini boleh karena lafadz qath’i mengandung makna ihtimal (kemungkinan). Kemungkinan lafadz qath’i, kemungkinan nasakh, kemungkinan taqyid, taqdim,
167 . Ibid, hal: 87
168 . ibid, hal: 93
262
ta’khir, takhsish dan ta’arudl al-‘aql (bertentangan dengan akal). Penerapan ayat qath’iyah pun masih dipertanyakan. Apakah ia dilaksanakan sepanjang waktu tertentu, atau karena adanya ‘illat yang memungkinkan diberlakukan dalam waktu tertentu. Dalam hal ini Munawir berpatokan pada statemen yang kedua, bahwa berlakunya hukum karena adanya ‘illat yang menyertai ketentuan hukum tersebut. Oleh karena itu, meskipun ayat tersebut qath’iyah, tetapi masih perlu dipertimbangkan pada aspek penerapannya, termasuk dalam hal ini adalah pembagian waris yang oleh banyak ulama dianggap sebagai ketentuan yang bersifat qath’i.
Munawir memperingatkan agar dalam proses ijithad tidak terjadi anarkhisme pemikiran. Prinsip yang harus diperhatikan adalah proses ijtihad harus dilakukan oleh kelompok yang betul-betul mumpuni. Untuk konteks sekarang ini ijtihad harus dilakukan secara kolektif.
3. Relevansi Pemikiran Munawir Sjadzali dengan Perkembangan dan Pembentukan Hukum Islam di Indonesia
Beberapa ide pembaharuan dalam bidang hukum oleh Munawir dalam Reaktualisasi Ajaran Islam pada awal tahun 1985, dilontarkan pada saat kondisi umat Islam Indonesia masih belum berani befikir kritis terhadap apa-apa yang dianggap final oleh para ulama terdahulu. Awalnya ide pembaharuan ini tidak begitu mendapat respon dari para pemikir hukum Islam Indonesia. Namun, setelah ide ini dilontarkan pada forum Paramadina, timbullah reaksi pro dan kontra di kalangan ulama dan cendekiawan muslim Indonesia pada saat itu.
Sebagai contoh, Ahmad Siddiq dan Ali Darokah –Pengurus Majelis Ulama Surakarta pada waktu itu- menulis makalah singkat atas dukungannya terhadap Munawir. Sedangkan yang kontra yang dapat disebutkan disini adalah para ulama yang ikut membahas rancangan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang secara tegas menolak menyimpang dari ketentuan Al-Qur’an, karena ketentuan 2:1 itu bersifat
263
qath’i, jelas dan rinci. Oleh karena aturan pembagiannya sudah rinci serta nashnya jelas (sharih) berarti ketentuan pembagian tersebut tuntas dan terhadap nash yang demikian tidak perlu lagi peluang berijtihad. Hal senada juga diungkapkan oleh Azhar Basyir bahwa ungkapan Al-Qur’an mengenai hukum waris sangat tajam. Dengan memperhatikan ketegasan Al-Qur’an mengenai hukum waris, menurut Azar Basyir, sepatutnya kita tanamkan keyakinan bahwa membagi harta warisan seseorang adalah menjadi hak Allah. Oleh karena manusia mukmin wajib ridha menerima ketentuan Allah sebagai bagian keimanan kita kepada Allah. Adapun penyimpangan yang terjadi di kalangan masyarakat muslim mengenai hukum waris, seharusnya tidak tegesa-gesa dinyatakan sebagai hukum waris yang bertentangan dengan rasa keadilan. Yang mungkin terjadi, mereka kurang memahami filosofi hukum waris Islam. Demikian alasan yang diajukan Azar Basir sebagaimana tercantum dalam Panji Masyarakat No. 552, 1987: 67. Senada dengan Azar Basyir, Ali Yafie berpendapat bahwa perubahan hukum melalui jalan nash terjadi pada tingkat syari’ah (Al-Qur’an dan hadist). Berakhirnya periode tasyri’, dengan wafatnya Rasulullah saw., maka perubahan hukum melalui jalur nash, sudah berakhir.
Namun demikian bagi golongan kontekstualis seperti Fazlur Rahman, ia mengemukakan metode memahami nash Al-Qur’an dan Hadist yang terkenal dengan istilah double movement (gerak ganda) artinya ia tidak hanya memahami nash Al-Qur’an dan al-Hadist itu dari segi teks tapi harus dilihat sebab-sebab yang melatarbelakangi teks itu diturunkan. Maka, jika kita menengok sejarah masa lampau dijelaskan bahwa kaum perempuan sebelum datangnya Islam dipandang rendah oleh Bangsa Arab. Ia tidak menerima warisan namun bisa diwarisi oleh anak-anaknya. Bahkan diasumsikan perempuan itu membawa sial, tidak kuat berperang sehingga tidak heran bila anak perempuan lahir maka dibunuhnya. Kasus seperti ini pernah dialami oleh Umar bin Khattab sebelum ia masuk Islam. Oleh sebab itu Islam datang dengan mengangkat derajat kaum perempuan yang dulunya tidak mendapatkan waris, lalu mendapatkan waris dengan bagian separoh. Jadi begitulah posisi perempuan pada
264
zaman jahiliyah yang tidak banyak memiliki peran, sedangkan dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, kaum perempuan sudah memiliki kesempatan yang sama dengan kaum laki-laki dalam segala aspek kehidupan.
265
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Agama Islam sebagai agama yang universal berlaku untuk semua manusia dalam setiap ruang dan waktu yang tak hanya mencakup aspek hukum, akan tetapi dapat meluas ke arah dakwah, budaya, sosial, bahkan hingga pada masalah politik dan ekonomi. Hal ini merupakan suatu pandangan yang sangat menarik. Dan pandangan seperti inilah yang mendapatkan respon dari para pemikir muslim secara beragam (plural). Karena Islam mempunyai banyak sisi dan dapat didekati dari banyak sisi pula. Pada satu sisi, Islam merupakan ajaran yang bersifat ketuhanan yang berorientasi pada kepentingan Tuhan dan kehidupan akhirat, tetapi pada sisi lain, juga ajaran yang bersifat sosiologis yang berorientasi pada kepentingan manusia dan kehidupan dunia. Adanya pendekatan yang berbeda terhadap Islam akan menghasilkan suatu pandangan yang berbeda pula. Ide atau gagasan reaktualisasi hukum Islam Munawir Sjadzali merupakan contoh yang menunjukkan adanya perbedaan ini.
Munawir Sjadzali adalah pemikir muslim Indonesia yang menarik untuk didiskusikan, baginya hukum Islam bukan sekedar doktrin yang kaku dan sulit memerima perubahan, melainkan dengan pendekatan sosiologisnya (sociological approach) lebih melihat hukum Islam sebagai fenomena peradaban, kultural dan realitas sosial yang selalu mengalami perubahan sesuai dengan perubahan dan dinamika sosial yang terjadi. Gagasan reaktualisasi hukum Islam munawir Sjadzali merupakan sumbangan pemikiran yang berharga bagi perkembangan hukum Islam di Indonesia baik dari segi konsep maupun pelaksanaannya, minimal sebagai bahan perbandingan dalam rangka merumuskan sebuah konsep hukum Islam yang maslahat dan berkeadilan di Indonesia.
266
Yang menjadi hal mendasar adalah; bagaimana ruh dan ajaran Islam dapat diterapkan demi kemashlahatan ummat, dan masyarakat menjalankan etos Islam dengan penuh kesadaran, kemudian negara menegakkan keadilan sosial dan menciptakan suatu masyarakat yang egalitarian. Bukankah yang demikian merupakan bentuk implementasi syariah? Bukankah prinsip-prinsip universalisme syariah -dengan tanpa menabrak prinsip ushul agama- mampu berinteraksi dengan budaya lokal yang partikular? Dan bukankah hal itu pula yang menjadikan syariah Islam shalih li kulli zaman wa makan?
Ajaran Islam senantiasa relevan kapanpun dan dimanapun, karena ia merupakan agama yang ashlah dan universal. Sedangkan universalisme Islam itu sendiri terletak pada kemampuannya menjawab tantangan zaman, yang tak hanya mencakup aspek hukum, karena ia dapat meluas ke arah dakwah, budaya, sosial, bahkan hingga pada masalah politik dan ekonomi.
.
267
DAFTAR PUSTAKA
Azyumardi, Azra (Ed.). 1998. Menteri-menteri Agama RI; Biografi Sosial-Politik. Jakarta: Kerjasama INIS, PPIM, dan Badan Litbang Agama Departemen Agama RI.
Mahmashani, Subhi. Falsafah al-Tasyri’ fi al-Islam, Beirut, Libanon: Dar al-Fikr li al-Malayin.
Majid, Nurchalis. 1996. Islam, Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Penerbit Yayasan Paramadina.
Sjadzali, Munawir. 1993. Memori Akhir Tugas Menteri Agama Republik Indonesia, Masa Bakti 1988-1993 Kabinet Pembangunan V, Jakarta.
Sjadzali, Munawir. 1995. Kontekstualisasi Ajaran Islam, Jakarta: Penerbit Paramadina.
Sjadzali, Munawir. 1997. Ijtihad Kemanusiaan, Jakarta: Penerbit Paramadina.
Thaba, Abdul Azis. 1996. Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Jakarta: Gema Insani Press.
268
KRITIK ISLAM LIBERAL SEJARAH, KONSEPSI, PENYIMPANGAN DAN JAWABANNYA
Oleh: yusuf al-Hamdani
NIM: 1475000
BAB I
A. Pendahuluan
Islam Liberal mulai dikenal di Indonesia pada tahun 2001. Gerakan ini muncul dengan semboyan,”Islam yang Membebaskan”. Menurut Adian Husaini, pemikiran liberalisasi Islam di Indonesia mulai ditanamkan sejak zaman penjajahan Belanda. Tetapi, secara sistematis, dari dalam tubuh organisasi Islam, Liberalisasi Islam di Indonesia, bisa dikatakan dimulai pada awa tahun 1970-an. Pada 3 Januari 1970, Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia (HMI), Nurcholish Madjid, secara resmi menggulirkan perlunya dilakukan sekularisasi Islam.
Demikian seruan liberalisasi Nurcholish Madjid, di awal 1970-an. Sejak itu, banyak
pihak memanfaatkan semangat dan pemikiran itu untuk menggulirkan ide-ide liberal lebih jauh di Indonesia. Kemudian, peristiwa-peristiwa tragis dalam dunia pemikiran Islam susul menyusul dan berlangsung secara liar, sulit dikendalikan lagi. Dan kini, di tengah-tengah era liberalisasi dalam berbagai bidang, liberalisasi pemikiran Islam juga menemukan medan yang sangat kondusif, karena didukung secara besar-besaran oleh negara-negara Barat. Dengan mengadopsi gagasan Harvey Cox –melalui bukunya The Secular City – Nurcholish Madjid ketika itu mulai membuka pintu masuk arus sekularisasi dan liberalisasi dalam Islam, menyusul kasus serupa dalam tradisi Yahudi dan Kristen.
Karya Adian Husaini ini berisi tentang kritikannya terhadap Islam Liberal di Indonesia. Dalam bukunya ini, pemaparan yang disampaikan oleh Adian Husaini tidak terlepas begitu saja. Artinya, kritikan yang disampaikannya berdasarkan kutipan para cendekiawan Muslim yang setuju dengan pemikiran Islam Liberal, kemudian pendapatnya ini dibantah oleh Adian Husaini menggunakan penguat baik ayat al-Quran, Hadis, dan tentu saja tidak luput dari pendapatnya sendiri.
269
BAB II
Pembahasan
B. Biografi dan Karya Pengarang
Dr. Adian Husaini, M.Si., lahir di Bojonegoro, Jawa Timur, 17 Desember 1965. Menyelesaikan program Ph.D. tahun 2009, dalam bidang Islamic Civilization di International Institute of Islamic Thought and Civilization-- Internasional Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM), dengan disertasi berjudul “Exclusivism and Evangelism in the Second Vatican Council”: A Critical Reading of The Second Vaticand Council Documents in the Light of the Ad Gentes and the Nostra Aetate.”169
Aktitivitas saat ini adalah Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan Islam – di Program Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor dan juga pendiri (pengasas dan peneliti INSISTS), satu lembaga yang mengkhususkan diri pada penelitian dan pelatihan-pelatihan tentang pemikiran dan peradaban Islam. Sejak 2004, INSISTS juga telah menerbitkan Jurnal ISLAMIA, dengan kekhususan tentang pemikiran dan peradaban Islam. Sejak Maret 2009, INSISTS bekerjasama dengan Harian Republika menerbitkan jurnal Islamia, edisi koran, yang terbit setiap Kamis pekan kedua di Harian Republika.170
Karya-karya Adian Husaini:
1) Presiden Wanita, Pertaruhan Sebuah Negeri Muslim, diterbitkan pertama tahun 2001 oleh Pustaka Darul Falah Jakarta.
2) Rajam dalam Arus Budaya Syahwat, diterbitkan pertama tahun 2001, oleh Pustaka Al Kautsar.
3) Jihad Osama versus Amerika, diterbitkan pertama tahun 2001, oleh Gema Insani Press.
4) Penyesatan Opini, diterbitkan tahun 2002 oleh Gema Insani Press
5) Mau Menang Sendiri: Israel Sang Teroris yang Pragmatis, diterbitkan tahun 2002 oleh Pustaka Progresif, Surabaya. (Tesis MA di Universitas Jayabaya)
6) Islam Liberal: Konsepsi, Sejarah, Penyimpangan, dan Jawabannya, diterbitkan oleh Gema Insani Press tahun 2002.
169 http://adianhusaini.com/index.php/tentang-dr-adian-husaini
170 http://alexnanangagussifa.blogspot.com/2011/05/riwayat-hidup-dr-adian-husaini.html
270
7) Habis Iraq, Siapa Lagi: Memahami Pragmatisme dan Terorisme Amerika, diterbitkan pertama oleh Pustaka Progresif Surabaya, tahun 2003.
8) Quo Vadis (Islam) Indonesia? Diterbitkan pertama oleh Media Wacana Surabaya tahun 2004.
9) Tinjauan Historis Konflik Yahudi-Kristen-Islam, diterbitkan pertama oleh Gema Insani Press, Jakarta tahun 2004
10) Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal (Jakarta: Gema Insani Press, 2005)
11) Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi (Jakarta: Gema Insani Press, 2006)
C. Kritik terhadap Islam Liberal
Dalam buku Adian Husaini yang berjudul Islam Liberal: Konsepsi, Sejarah, Penyimpangan, dan Jawabannya, terdiri dari lima bab. Antara lain:
BAB I : Islam Liberal dari Masa ke Masa
BAB II : Nurcholish Madjid: Lokomotif yang Nyaris Dikultuskan
BAB III : Penghancuran Aqidah Islam
BAB IV : Penghancuran Syariat Islam
BAB V : Islam Liberal, Imperaliasme Barat, dan Zionisme
D. Islam Liberal dari Masa ke Masa
Pada bab I ini, pengarang banyak menguraikan tentang ketidaksetujuannya tentang isi buku yang diterbitkan oleh Charlez Khurzman yang berjudul Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-Isu Global. Menurut pengarang, Khurzman dianggap tidak bisa menjelaskan apa Islam Liberal itu. di sisi lain, pengarang juga menjelaskan tentang sejarah Islam Liberal di Indonesia. Menurut Luthfie Assyaukanie, bahwa kemunculan Islam Liberal mulai dipopulerkan tahun 1950-an. Tapi mulai berkembang di Indonesia tahun 1980-an. Ini dipopulerkan oleh Nurcholish Madjid yang memang tidak secara eksplisit mengatakan Islam Liberal, namun gagasan pemikirannya tidak berbeda dengan misi Islam Liberal. Yaitu kelompok Islam yang tidak setuju dengan pemberlakuan syariat Islam (secara formal oleh negara), kelompok yang getol memperjuangkan sekularisasi, emansipasi wanita,
271
“menyamakan” agama Islam dengan agama lain, memperjuangkan demokrasi Barat dan sejenisnya.
Islam Liberal di Indonesia dianggap menggunakan payung Jaringan Islam Liberal (JIL) sebagai wadah untuk mengembangkan pemikirannya. Laman ini dikembangkan oleh Nurcholish Madjid dan kader-kader mudanya seperti Ulil Abshar Abdallah, Nasaruddin Umar, dan lainnya. Dan dalam programnya, JIL berterus terang ingin menghambat kelompok yang berjuang untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam kehidupan.171 Adapun tujuan gerakan JIL antara lain:
1) Memperkokoh landasan demokratisasi lewat penanaman nilai-nilai pluralisme, inklusivisme, dan humanisme.
2) Membangun kehidupan keberagamaan yang berdasarkan pada penghormatan atas perbedaan.
3) Mendukung dan menyebarkan gagasan keagamaan (utamanya Islam) yang pluralis, terbuka dan humanis.
4) Mencegah agar pandangan keagamaan yang militan dan prokekerasan tidak menguasai wacana publik.
Pengarang juga mengkritisi penilaian Khurzman yang memasukkan nama Muhammad Natsir, Yusuf al-Qardhawi dan Ali Syariati sebagai tokoh Islam Liberal. Dalam bukunya ini, Husaini menganggap bahwa Qardhawi bukanlah seorang liberalis Islam. Ini bisa dilihat dari pendapatnya yang bertentangan dengan ide Islam liberal pada umumnya, seperti kesesatan orang Kristen dan Yahudi. Bahkan Qardhawi menganggap bahwa Islam liberal dianggap sebagai orang-orang yang berusaha menyerang dasar-dasar akidah Islam dan tsaqafah Islam.
Dalam bukunya ini, Husaini memasukkan tokoh-tokoh Islam liberal dunia yang dianggap berpengaruh, seperti Ali Abdul Raziq (1866-1966) dan Fazlur Rahman. Selain itu, ada Faraj Faudah (1945-1993) yang berasal dari Mesir, Nashr Abu Zaid,
171 Mereka istilahkan dengan Islam Militan, yang dianggap sebagai kelompok ekstremis dan fundamentalis, melalui tindakan pengrusakan gereja (juga tempat ibadah lain), berkembangnya sejumlah media yang menyuarakan penggunaan istilah ‘jihad’ sebagai alat pengesah serangan terhadap kelompok agama lain. (hlm.7)
272
Mohamamd Arkoum, Abdullahh Ahmed an-Naim, Mohammad Abed al-JabiriFatimah Mernissi dan Rif’at Hassan. Sedangkan di Indonesia, pengarang memasukkan nama Harun Nasution dan Nurcholish Madjid sebagai pioner dalam mengembangkan Islam liberal di Indonesia. Jika Harun Nasution mengembangkan di PTAIN di Indonesiai, Nurcholish Madjid mempromosikan gagasannya ke masyarakat kelas menengah atas lewat Paramadina.
Benih pemikiran Harun Nasution tentang Islam liberal dari pendapatnya yang ‘menyerempet’ ke persamaan agama, yang mana ia mengatakan bahwa agama Yahudi, Kristen dan Islam adalah satu asal. Tetapi dalam perkembangan masing-masing dalam sejarah mengambil jurusan yang berbeda. Namun Harun tidak mengungkapkan adanya penyelewengan agama Yahudi dan Kristen. Selain itu, Harun juga terlihat memui tokoh yang mengabaikan syaruat seperi Rif’at al-Tahyawi dan Qasim Amin. Tahtawi dianggap memajukan Islam karena pendapatnya bahwa syariat harus disesuaikan dengan perkembangan zaman modern. Nurcholish Madjid dianggap sebagai pioner dalam mengembangan ide pemikiran sekularisasi dan liberalisasi Islam di Indonesia.172 Sejak meluncurkan ide gagasan sekularisasi, Nurcholish Madjid dijuluki sebagai “penarik gerbong” kaum Pembaru oleh majalah Tempo.
E. Nurcholish Madjid: Lokomotif yang Nyaris Dikultuskan
Visi Nurcholish Madjid menurut Liddle adalah membujuk muslim Indonesia menerima visi rasional, toleran dan sekuler Islam. Dalam tulisannya, Nurcholish Madjid banyak berkampanye tentang sikap toleransi Islam. Ia seolah-olah menunjukkan kepada Barat dan pihak nonmuslim lainnya bahwa Islam adalah agama yang toleran, melebihi Yahudi dan Nasrani, atau Islam adalah sangat menekankan
172 Dalam cuplikan pidatonya,”sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme dan mengubah kaum muslimin menjadi kaum sekularis. Tetapi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrowikannya. Dengan demikian kesediaan mental untuk selalu menguji dan menguji kembali kebenaran suatu nilai dihadapan kenyataan-kenyataan material, moral, ataupun historial menjadi sifat kaum muslimin”.
273
“pluralisme”.173 Nurcholish juga menggunakan Piagam Madinah untuk menunjukkan sikap toleransi Islam kepada agama lainnya. Namun, pengungkapan “fakta sepihak” seperti ini juga bermanfaat “sepihak”, yaitu menunjukkan “wajah lembut” Islam. Hal ini biasanya dimaksudkan untuk membantah anggapan lama kaum orientalis bahwa “Islam berwajah garang” karena “disiarkan dengan pedang”.
Menurut Husaini, dalam kasus Piagam Madinah tentu menjadi bukti bahwa Islam memiliki sikap toleransi yang tinggi. Tetapi, untuk mengimbangi hal itu, mestinya juga diungkap tentang peperangan dan pengusiran terhadap kaum Yahudi dari Madinah oleh Rasulullah. Dalam kasus Perjanjian Aelia, terlihat sikap Umar ibnul-Khaththab yang sangat toleran terhadap kaum nasrani. Tetapi d dalam Perjanjian itu secara tegas juga disebutkan, kaum Yahudi tidak diizinkan tinggal di Jerussalem. Sikap Umar r.a inilah yang menjadi landasan Sultan Abdul Hamid untuk menolak tawaran tokoh Zionis Theodore Herzl, agar kaum Yahudi diizinkan tinggal di Jerussalem. Jika tidak diimbangi dengan kisah-kisah tentang ketegasan sikap Islam terhadap kaum Zionis-Yahudi, maka kisah toleransi Islam kaum Yahudi dapat memberikan gambaran yang salah, seolah-olah kaum Yahudi berhak menduduki wilayah Palestina.
Husaini juga mengkritisi pernyataan Nurcholish Madjid yang mengambil pendapat Ibnu Taimiyah, namun tidak diberi rujukan kitab yang jelas sehingga sulit dicek validitas dan kejujurannya.174 Ucapan Nurcholish itu sangat diragukan kebenarannya. Karena dalam Kitan al-Jawaab ash-Shahih li man Baddala Diin al-Masiih, yang beberapa kali dikutip oleh Nurcholish Madjid dalam tulisannya, Ibnu Taimiyah dengan panjang lebar menguraikan kekeliruan dan kesesetan teologi
173 Kata Nurcholish,”Jadi pluralisme sesungguhnya adalah sebuah Aturan Tuhan (Sunnah Allah, Sunnatullah) yang tidak akan berubah sehingga juga tidak akan mungkin dilawan atau diingkari, hlm. 49
174 Saat peluncuran buku Teologi Inklusif Cak Nur karya Sukidi,”Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa sebagian besar isi kitab suci lama itu masih benar. Yang disebut adanya pengubahan itu dalam hal-hal yang bersifat berita. Terutama berita tentang kedatangan Nabi Muhammad saw....”. Hlm.50
274
Kristen. Di kitab itu justru dinyatakan oleh Ibnu Taimiyah bahwa sebagaian besar kitab suci lama itu telah diubah.175
Bentuk “pengkultusan” yang dilakukan oleh “penggemar” pemikiran Nurcholish Madjid, misalnya bahwa pemikiran keagamaan Cak Nur bukanlah hal yang baru, karena tradisi keilmuan Islam seperti ini sudah ada sejak abad Pertengahan.176 Dalam hal keilmuan, Nurcholish Madjid juga menyuarakan tentang Ahlul Kitab. Menurutnya, Zoroaster atau Majusi juga merupakan golongan Ahlul Kitab. Ini ditulisnya dalam makalah yang berjudul “Beberapa Renungan Kehidupan Keagamaan untuk Generasi Mendatang” pada 21 Oktober 1992. Dalam makalah tersebut tercatat,
”Dan patut kita camkan benar-benar pendapat sayyid Muhammad Rasyid Ridha sebagaimana dikutip Abdul Hamid Hakim bahwa pengertian sebagai Ahlul Kitab tidak terbatatas kepada kaum Yahudi dan Kristen seperti tersebut dengan jelas dalam al-Quran serta kaum Majusi (pengikut Zoroaster) seperti tersebutkan dalam sebuah hadits tetapi juga mencakup agama-agama lain yang mempunyai suatu bentuk kitab suci.”
Di belakang kata hadis, Nurcholish meletakkan nomor 46 yang dalam catatan kakinya tertulis, yaitu hadis,’Sannuu’alaihum sunnata ahlil kitaab’ (al-hadis). ‘Perlakukanlah mereka (kaum Majusi) seperti perlakukan kepada Ahlul Kitab (Yahudi dan Kristen).” Bagian ini dikritik oleh Daud Rasyid dengan menyatakan bahwa tulisan itu tidak memenuhi standar ilmiah, sebab tidak mencantumkan sumber atau perawi hadis, teks hadis itu dipotong dan tidak lengkap, serta teks itu sendiri justru bermakna bahwa Majusi bukanlah Ahlul Kitab. Pernyataan Nurcholish ini banyak dikritisi oleh para pemikir lainnya. Antara lain Muhammad Ghalib dan Quraish Shihab yang pada intinya bahwa yang termasuk Ahlul Kitab hanyalah
175 Dalam kitab al-Jawaab ash-Shahih li man Baddala Diin al-Masiih, Ibnu Taimiyah dengan panjang lebar menguraikan kekeliruan dan kesesatan teologi Kristen. Dalam kitab tersebut dicatat,”...wa syahida ‘alaiihim binnahum harrafu katsiiiran min ma’aniya at-taurati wa al-injili wa qabla nubuwatiihi. Dan Rasulullah saw bersaksi bahwa Ahlul Kitab itu telah mengubah sebagian besar dari makna-makna Taurat dan Injil sebelum masa kenabian beliau saw. Hlm. 52
176 Sesuai dengan pendapat Komaruddin Hidayat,”bagi mereka yang akrab dengan tradisi intelektual Islam abad Tengah, berbagai pikiran keagamaan Cak Nur tentu saja tidak akan mengagetkan”. Dan Komarudin mengatakan bahwa orang yang meributkan pemikiran Cak Nur diibaratkan,”yang umumnya datang dari aktivis-aktivis Islam kota yang tidak memiliki akses intelektual pada rujukan kitab klasik yang dicantumkan”. Hlm.52
275
Yahudi dan Nasrani. Dalam hal Ahlul Kitab ini, Nurcholish Madjid banyak menggunakan pendapat Muhammad Rasyid Ridha sebagai penguatnya sebagai salah satu bentuk kampanyenya.
Walaupun disertasi Nurcholish Madjid menangkat pemikiran Ibnu Taimiyah, namun dalam pemikiran Nurcholish Madjid tentang teologi inklusif atau pluralis, sangat kontradiktif dengan pemikiran Ibnu Taimiyah. Dalam pemikiran Ibnu Taimiyah sangat jelas bahwa tegasnya sikap yang harus ditunjukukkan terhadap kaum Yahudi dan Nasrani dalam hal akidah. Hal itu tampak dari uraian Ibnu Taimiyah tentang larangan menghadiri perayaan hari besar kaum kafir. Dengan membandingkan pendapat Ibnu Taimiyah dan Nurcholish Madjid, tampak bahwa kutipan-kutipan pendapat Ibnu Taimiyah yang diambil oleh Nurcholish Madjid dan meletakkannya dalam bingkai “teologi inklusif dan pluralis” merupakan tindakan yang tidak etis.
F. Penghancuran Aqidah Islam
Liberalisasi aqidah Islam dilakukan dengan menyebarkan paham Pluralisme Agama. Paham ini, pada dasarnya menyatakan, bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Jadi, menurut penganut paham Islam Liberal, semua agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang sama. Atau, mereka menyatakan, bahwa agama adalah persepsi relatif terhadap Tuhan yang mutlak, sehingga – karena kerelativannya – maka setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini, bahwa agamanya sendiri yang lebih benar atau lebih baik dari agama lain; atau mengklaim bahwa hanya agamanya sendiri yang benar. Bahkan, menurut Charles Kimball oleh Greg Berton, salah satu ciri agama jahat (evil) adalah agama yang memiliki klaim kebenaran mutlak (absolute truth claim) atasagamanya sendiri.177
177 Tahun 1999, disertasi Greg Barton diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Paramadina,
dengan judul Gagasan Islam Liberal di Indonesia. (1999:xxi), dalam Jurnal INSIST ditulis oleh Adian Husaini dengan judul Liberalisasi Islam di Indonesia, hlm.6
276
Salah satunya disampaikan oleh penggiat Islam Liberal di Indonesia yang menyatakan sebagai berikut:
Ulil Abshar Abdalla mengatakan: “Semua agama sama. Semuanya menuju jalan
kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar.”178 Ulil juga menulis: “Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Mahabenar. Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya.”179
Pendapat tentang liberalisasi jag disampaikan oleh Alwi Shihab:
Alwi Shihab mengatakan: “Prinsip lain yang digariskan oleh Al Quran, adalah pengakuan eksistensi orangorang yang berbuat baik dalam setiap komunitas beragama dan, dengan begitu, layak memperoleh pahala dari Tuhan. Lagi-lagi, prinsip ini memperkokoh ide mengenai Pluralisme keagamaan dan menolak eksklusivisme. Dalam pengartian lain,eksklusivisme keAgamaan tidak sesuai dengan semangat Al Quran. Sebab Al Quran tidak membeda-bedakan antara satu komunitas agama dari lainnya.”180
Para penganjur “persamaan agama” ini biasanya menggunakan dalil al-Quran QS.al-Baqarah 62 dan QS.al-Maidah 69 untuk dijadikan pijakan.
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar saleh, Maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
Bisa dilihat dalam berbagai pendapat yang diungkapkan oleh kaum inkusif-pluralis, ayat tersebut digunakan sebagai legitimasi, bahwa agama apapun pada dasarnya adalah benar dama dapat dijadikan sebagai jalan keselamatan.
178 (Majalah GATRA, 21 Desember 2002), dalam Jurnal INSIST ditulis oleh Adian Husaini dengan judul Liberalisasi Islam di Indonesia, hlm.6
179(Kompas, 18-11-2002, dalam artikelnya berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”,), dalam Jurnal INSIST ditulis oleh Adian Husaini dengan judul Liberalisasi Islam di Indonesia, hlm.6
180 Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1997), hal. 108-
109, dalam Jurnal INSIST ditulis oleh Adian Husaini dengan judul Liberalisasi Islam di Indonesia, hlm.8
277
Dari kalangan Protestan, Pendeta Dr. Stevri Lumintang menulis buku yang sangat serius dalam menjelaskan bahaya paham Pluralisme Agama bagi agama-agama yang ada.
Menurut Stevri, Teologi Abu-Abu adalah posisi teologi kaum pluralis. Karena teologi yangmereka bangun merupakan integrasi dari pelbagai warna kebenaran dari semua agama,filsafat dan budaya yang ada di dunia. Alkitab dipakai hanya sebagai salah satu sumber, itu pun dianggap sebagai mitos. Dan perpaduan multi kebenaran ini, lahirlah teologi abu-abu, yaitu teologi bukan hitam, bukan juga putih, bukan teologi Kristen, bukan juga teologi salahsatu agama yang ada di dunia ini. Namun teologi ini sedang meracuni, baik agama Kristen, maupun semua agama, dengan cara mencabut dan membuang semua unsur-unsur absolut yang diklaim oleh masing-masing agama.181
Dalam pandangan Islam, paham pluralisme agama jelas-jelas merupakan paham syirik modern, karena menganggap semua agama adalah benar. Padahal, Allah SWT telah
menegaskan, bahwa hanya Islam agama yang benar dan diterima Allah SWT. sesui dengan firman Allah dalam QS. Ali Imron 19 yang berbunyi:
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya”
Keyakinan akan kebenaran ad-Dinul Islam sebagai satu-satunya agama yang benar dan diridhai Allah, adalah konsep yang sangat mendasar dalam Islam. Karena itu, para cendekiawan dan ulama perlu menjadikan penanggulangan paham syirik modern ini sebagai perjuangan utama, agar jangan sampai 10 tahun lagi paham ini menguasai wacana pemikiran dan pendidikan Islam di Indonesia, sehingga akan lahir dosen-dosen,
181 Stevri Indra Lumintang, Theologia Abu-Abu Pluralisme Agama : Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme Dalam Teologi Kristen Masa Kini (Malang : Gandum Press, 2004), hal. 18-19, dalam Jurnal INSIST ditulis oleh Adian Husaini dengan judul Liberalisasi Islam di Indonesia, hlm.12
278
guru-guru gama, khatib, atau kyai yang mengajarkan paham persamaan agama ini kepada anak didik dan masyarakat.
Oleh penggiat Islam Liberal, QS. Ali Imron 19 ini dimaknai eksklusif, “Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.” Padahal kalau ayat ini dibaca dengan semangat inklusif, semangat agama universal (ad-din al-jami’) dengan mengembalikan makna Islam dalam arti generiknya sebagai pasrah sepenuhnya kepada Allah, maka maknanya akan berbeda sekali. Yakni, agama yang diterima di sisi Allah adalah agama yang membawa kepasrahan kepada-Nya. Barangsiapa yang mencari agama selain dari kepasrahan kepada-Nya, maka agama itu tidak akan diterima, dan ia di akhirat termasuk orang yang merugi.
Sedangkan masalah keselamatan agama-agama non Islam, menarik memperhatikan QS.al-Baqarah 62 yang berbunyi:
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
Jadi jika merujuk ke ayat diatas, bahwa keselamatan seseorang di akhirat bergantung pada tiga hal, yaitu (1) apakah percaya kepada Allah, (2) apakah ia percaya pada hari akhirat (adanya pembalasan baik dan buruk), (3) apakah ia melakukan perbuatan kebaikan kepada sesama umat manusia. Ini menjadikan pandangan terhadap ayat ini sangat parsial dan terlalu sederhana. Menurut tafsir Ibnu Katsir bahwa QS.al-Baqarah 62 menyatakan bahwa ayat-ayat terdahulu Allah menjelaskan kondisi kaum kafir, kaum munafik, Yahudi, orang-orang yang menyalahi perintah-Nya, dan melampaui batas dengan melakukan perbuatan yang tidak diizinkan Allah atas mereka, juga menjelaskan siksa yang menimpa mereka, maka kini Allah mengingatkan bahwa walaupun demikian, ada pula umat terdahulu
279
yang baik dan menaati berbagai perintah Allah, sebagaimana yang telah diperintahkan-Nya, dan bagi mereka balasan yang baik. Hal ini terjadi sampai Hari Kiamat. Maka setiap orang yang mengikuti Rasulullah saw sebagai nabi yang ummi, baginya kebahagiaan yang abadi.182
G. Penghancuran Syariat Islam
Menurut Islam Liberal, jika syariat Islam di jalankan di Indonesia, amka akan lebih banyak dampak negatif yang ditimbulkan. Dari soal kemiskinan, ketidakadilan hukum, hingga perampasan hak-hak kewarganegaraan akibat sentralisme kekuasaaan hanya pada satu penafsiran. Korban pertama yang muncul akibat penerapan syariat Islam adalah wanita. Kaum liberal dengan jelas mendukung suatu negara sekuler. Mereka berpandangan, jika syariat Islam dijalankan dalam kehiudpan berbangsa dan bernegara, maka prinsip negara sekuler akan runtuh dan negara itu menjadi negara yang antidemokrasi.
Padahal jika dilihat lebih jauh, penerapan syariat Islam dalam bentuk UU sudah dijalankan di Indonesia. Seperti UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Pokok Perbankan, UU Zakat, dan lainnnya. Penerapan syariat Islam adalah kewajiban bagi setiap muslim. Para pakar Kristen, seperti Van Leeuwen mengakui bahwa syariat Islam itu mencakup dan mengatur berbagai aspek kehidupan. Maka aneh sekali jika kemudian dari kalangan muslim sendiri justru muncul orang yang meremehkan dan menghina syariat Islam.
H. Islam Liberal, Imperialisme Barat, dan Zionisme
Eksistensi Islam Liberal dibangun diatas landasan pemikiran yang sederhana yaitu melemahkan Islam fundamentalis. Ini sangat dikhawatirkan oleh Islam Liberal, karena akan berdampak buruk pada demokratisasi di Indonesia. Di sisi lain, Islam militan biasanya akan menimbulkan ketegangan antarkelompok agama yang ada dan menjadi penghambat demokratisasi. Menurut GH Jansen, bangkitnya Islam militan adalah sebagai reaksi terhadap masalah bagaimana menghadapi tantangan cara hidup
182 Hlm. 65
280
Barat yang telah menjadi cara hidup dunia. Misi Islam Liberal yang ingin memberangus Islam fundamentalis sejalan dengan misi imperialisme Barat. Menurut Fazlur Rahman, semangat anti-Barat adalah semanagt yang melahirkan fundamentalisme. Mengaitkan faktor kekerasan dengan fundamentalisme agam adalah sebuah hal yang naif. Karena wacana fundamentalisme terutama dalam masyarakat muslim begitu bias dan debatable, ada baiknya para analis tidak terjebak dalam bias opini yang sudah berkembang jauh.183
183 Hlm. 172
281
BAB III
Penutup
Islam Liberal di Indonesia mengangkat tiga wacana-wacana sebagai misi utama penyebaran pemikiran Islam liberal. Pertama, teologi inklusif-pluralis; suatu gagasan yang mendangkalkan akidah Islam dengan mengaburkan dan menyamakan semua agama. Kedua, penolakan terhadap syariat Islam karena mereka nilai akan ‘memberangus’ kebebasan dan demokratisasi. Ketiga, untuk menghentikan gerakan Islam fundamentalis atau miltan yang mereka nilai berbahaya untuk perkembangan demokratisasi. Kritik tentang Islam Liberal lebih ditekankan pada kontradiksi pendapat, baik dalam menafsirkan ayat al-Quran dan Hadis yang dijadikan sebagai penguat dalam mempertajam pemikiran masing-masing. Dalam memahami penafsiran al-Quran, Islam Liberal berkeyakinan akan makna universal dan tidak lekang oleh waktu dan relevan dalam segaal aspek kehidupan pada setiap zaman.
282
DAFTAR PUSTAKA
Adian Husaini dan Nuim Hidayat, 2002. Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya. Jakarta: Gema Insani Press.
Lumintang, Stevri Indra 2004. Theologia Abu-Abu Pluralisme Agama : Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme Dalam Teologi Kristen Masa Kini. Malang : Gandum Press.
Husaini, Adian. tt. Liberalisasi Islam di Indonesia: Jurnal INSIST. Pdf.
Majalah GATRA, 21 Desember 2002. Ditulis oleh Ulil Abshar Abdallah.
Kompas, 18-11-2002, dalam artikelnya berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam. Ditulis oleh Nurcholish Madjid
http://adianhusaini.com/index.php/tentang-dr-adian-husaini
http://alexnanangagussifa.blogspot.com/2011/05/riwayat-hidup-dr-adian-husaini.html
283
FIQIH LINTAS AGAMA
Oleh: cindy puspitasari
NIM:
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kata sebagian orang, fiqih (hukum Islam) merupakan sumber keterbelakangan ummat. Alasannya sederhana, dengan mengafresiasi fiqih yang terfragmentasi dalam berbagai lembaran kitab kuning, tidak jarang kita terkondisikan oleh realitas masa lalu secara apa adanya tanpa gugatan historisitas. Kalangan lain mengatakan sebaliknya, Fiqih merupakan sumber dinamisme, karena ia tidak lain adalah produk ijtihad yang dikreasikan oleh para juris Islam. Sebagai kreasi ijtihad, fiqih tentunya tidak bisa lepas dari konteks sejarah kapan dan dimana ia lahir. Dengan demikian dasar pijakan fiqih tidak semata berupa teks (nash) ajaran suci, tetapi juga realitas masyarakat fiqih itu sendiri sebagai objeknya.
Dalam sejarah kelahirannya, bangunan fiqih sering muncul ketika persoalan kemanusiaan dimasyarakat mengemuka dan perlu direspon. Dengan demikian asumsi fiqih sebagai sumber dinamisme memiliki relevansinya tersendiri karena ia lahir untuk merespons dinamika masyarakat. Bahkan tidak jarang fiqih dinilai sebagai suatu epistimologi ilmu kewahyuan yang paling konkrit bersentuhan langsung dengan realitas. Pijakan fiqih tidak semata otoritas normatif yang melangit, tetapi penghayatan terhadap realitas obyektif dimuka bumi. Dalam kaitan ini tidak mengherankan jika tipologi mazhab fiqih dalam bentangan sejarahnya selalu dilatari konteks realitas sekitarnya.
284
Mazhab fiqih Hanafi, misalnya tampil dengan performa rasionalisnya, karena Imam Abu Hanifah (w. 150 H), sebagai founding father-nya lahir dan dibesarkan di masyarakat perkotaan yang cenderung berfikiran rasional, bahkan permisif. Karenanya dia lebih sering menggunkan dalil analogi (qiyas) ketimbang ke teks hadits yang terkadang diragukan kesahihannya. Sebaliknya Imam Malik (w. 179 H), yang lahir dan dibesarkan dalam komunitas madinah yang establish, cenderung membangun formula madzhab fiqih tradisional. Bangunan fiqih mazhab maliki, dengan formula demikian merupakan pelestarian terhadap amalan ulama Hijaz (Madinah) yang sudah menteradisi secara kokoh dan mapan.184
Adalah Ulama’ kontemporer Dr. Yusuf al-Qardawi mangajukan alternatif pemikiran agar fiqih direformasi menjadi fiqih realitas (fiqh al-waqi’) dan fiqih prioritas (fiqh al-awlawiyat), yaitu fiqih yang dapat dijadikan sinar baru bagi problem kemanusiaan yang muncul ditengah-tengah masyarakat. Dalam hal ini syari’at diharapkan tidak lagi hanya bercorak vertikalistik, yang hanya mengupas masalah hubungan manusia dengan Tuhan, melainkan mencoba merambah maslah-masalah kemanusiaan. Disini semakin terlihat bahwa mendinamisasikan fiqih merupakan langkah awal guna mendekonstruksi syari’at dari wajahnya yang statis, eksklusif dan diskriminatif menjadi syari’at yang dinamis, inklusif dan egalitarianistik.185
Langkah kolosal yang dilakukan ulama kontemporer dalam rangka memperbaharui fiqih adalah mencoba melihat syari’at sebagai sumber nilai dan etika sosial, bukan hanya sekedar sumber hukum. Kendatipun tidak bisa difungkiri, bahwa syari’at juga mengatur hal-hal yang bersifat takken for granted, tetapi meletakkan syari’at hanya dalam kerangka sumber hukum yang dapat menyebabkan hilangnya kelenturan syari’at. Akibatnya, syari’at rentan pada monopoli tafsir untuk
184 Fiqih Realitas, Respon Ma’had Aly Terhadap Wacana Hukum Islam Kontemporer, Pustaka Pelajar, 2005, Hal. ix.
185 Nurcholish Madjid dkk, Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralistik, Jakarta: Paramadina, 2004, Hal. 7.
285
kepentingan kekuasaan. Sejarah peradaban fiqih misalnya memberikan contoh menarik, bahwa fiqih selalu digunakan oleh penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Tafsir keagamaan harus merujuk pada kepentingan kekuasaan tertinggi (khalifah) bukan kepada realitas kemanusiaan ynang muncul ditengah-tengah masyarakat.
Untuk itu, yang mesti diangkat kepermukaan adalah syariat dalam arti sebagai sumber kemaslahatan. Kemaslahatan yang dimaksud tidak hanya kemaslahatan untuk tuhan dan penguasa, melainkan kemaslahat untuk manusia di seantero alam, apapun agama, suku dan rasnya. Karenanya yang perlu dikedepankan adalah fiqih al-maqasid yaitu fiqih yang lebih mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan universal, seperti kemaslahatan, keadilan serta kesetaraan daripada hukum-hukum yang bersifat fartikular.186
Para Ulama’ mazhab sesungguhnya telah merekomendasikan agar generasi Ulama’ berikutnya mengkaji dan melakukan ijtihad untuk menjawab segala persoalan umat yang terjadi. Imam Syafi’i berkata “Pendapat saya benar, tapi mungkin saja salah. Sebaliknya, pendapat orang lain salah, tapi bisa saja benar”. Imam Abu Hanifah berkata “Mereka (para ulama terdahulu ) adalah manusia biasa, dan kitapun manusia. Kita masih berterimakasih atas (karya dan pemikiran) mereka, tetapi kita tidak akan mengikuti seluruh pendapat mereka”. Ibn Hazm berkata “Seorang mujtahid yang salah jauh lebih baik daripada seorang yang suka meniru-niru (muqallid), walaupun kesimpulan hokum yang mereka ambil benar”.
Adalah Nurcholish Masjid bersama kawan-kawannya telah mencoba melakukan ijtihad untuk menjawab segala problematika ummat yang kemudian melahirkan fiqih lintas agama. Fiqih lintas agama adalah fiqih yang dapat memotret isu-isu kemanusiaan dan hubungan antar agama secara lebih mendasar yang bisa menjadi mediator merekatkan hubungan beragama yang dijamin adanya produk-
186 Ibid, Hal. 8.
286
produk fiqih yang memberikan ruang gerak bagi umat islam.187 Fiqih lintas agama juga diartikan sebagai fiqih yang dapat semua agama yang ada melindungi dan memberi kemaslahatan semua agama.188
187 Ibid. Hal. 15.
188 El-Jadid, Ilmu Pengetahuan Islam Volume 3 no 2 : 2005, hal. 76.
287
BAB II
pembahasan
A. Biografi Nurcholish Madjid
1. Riwayat Hidupnya
Nurcholish Madjid dikenal luas dikalangan terpelajar sebagai orang yang menyulut isu modernisme dalam bentuk agak radikal kalau tidak boleh disebut revolusioner. Tokoh ini lahir di Mojoanyar, Jombang sebuah desa di Jawa Timur, 17 Maret 1939 (27 Muharram 1358) dari kalangan keluarga santri sebagaimana lazimnya anak-anak santri di Jawa, tradisi penguasaan ilmu pun melalui tanjakan-tanjakan formal. Ia memasuki sekolah rakyat (SR) dan madrasah Ibtidaiyah, Pesantren Darul Ulum, kemudian melanjutkan ke KMI (Kulliyyatul Mu’allimin) pondok modern Gontor dan menamatkan pendidikan di pondok itu. Ia terus memasuki IAIN Syarif Hidayatullah Fakultas Adab, berhasil menggondol Sarjana. Lalu melanjutkan studi ke Universitas Chicago sampai memperolehgelar Doktor kalam dibidang pemikiran Islam, dengan desertasi Ibnu Taimiyah on Kala and Falsafah Problem of Reason and Revolation in Islam.
Dalam dunia organisasi Nurcholish Madjid pernah menjadi ketua HMI dua periode yaitu 1966-1969 dan 1969-1972. Presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara, Asisten Sekretaris Jendera IIFSO (International Islamic Fedration of student Organisation).
Nurcholish Madjid yang dikenal dengan Cak Nur, dikenal sebagai salah satu tokoh pembaharuan pemikiran Islam pada decade tahun 1970-an. Bahkan, beliaulah yang dinyatakan sebagai pencetus pembaharuan pemikiran Islam. Ketokohannya (secara tidak berlebihan) dianggap mewakili figur pembaharu pemikiran yang mampu menggagasa Islam secara lebih brilian. Terbukti, dengan munculnya sejumlah studi mendalam tentang tokoh ini yang tidak tanggung-tanggung yaitu, dalam studi
288
Doktoral (S3) tentang perannya dalam Gelora Kebangkitan Modernitas di Indonesia merupakan salah satu kajian Doktoral yang lebih awal ditulis oleh Muhammad Kamal Hasan, Muslim Intellectual Responses to “New Order” Modernization in Indonesia. Dalam studi Doktoralnya tersebut ia banyak menyorot tentang keterlibatan internal Cak Nur muda, dalam arus gelombang modernisasi kehidupan ummat Islam Indonesia beserta sekian tokoh lainnya. Namun, Cak Nur menjadi figure yang ditonjolkan menurut versi Kamal Hasan.189
Pada tahun 1986 bersama rekan-rekannya lalu mendirikan Yayasan Paramadina yang antara lain tujuannya sebagi berikut:
1. Meningkatkan perkembangan dan kesadaran hidup beragama Islam yang berpandangan terbuka.
2. Mengembangkan pemahaman dan pemikiran agama serta penampilan yang bersifat kesejahteraan (kontekstual) sehingga bermakna bagi pemecahan persoalan-persoalan baru kemanusiaan.
3. Mengembangkan suasana kehidupan beragama yang terbuka, dinamis dan bertanggung jawab sehingga terjadi dialog yang kritis dan kreatif.190
2. Ide Pemikirannya
Nurcholish Madjid telah memberikan sumbangan pemikiran yang membangkitkan dunia intelektual muslim di Indonesia. Beberapa ide beliau antara lain tentang modernisasi, sekularisasi dan penolakan terhadap partai Islam atau negara Islam.
Nurcholish merumuskan modernisasi sebagai rasionalitas. Pengertian yang mudah tentang modernisasi adalah pengertian yang identik (atau hamper identik) dengan pengertian rasionalitas. Hal tersebut berarti proses perombakan pola pikir dan
189 Akhmad Taufik Weldan, Metodologi Studi Islam, Bayumedia Publishing, jawa Timur, 2004, hal. 57.
190 Ahmad Amir Aziz, New Modernisme Islam di Indonesia, (Jakarta: Renika Cipta, 1999), hal. 24.
289
tata kerja baru yang akliah. Kegunaannya untuk memperoleh daya guna efesiensi yang maksomal. Hal itu dilakukan dengan menggunakan penemuan mutakhir anusia dibidang ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan merupakan hasil pemahaman manusia terhadap hokum-hykum objektif yang menguasasi alam, ideal dan material. Sehingga alam ini berjalan menurut kepastian tertentu dan harmonis. Orang yang bertindak menurut Ilmu pengetahuan (ilmiah), berarti ia bertindak menurut hukum alam yang berlaku.
Modernisasi menurut Nurcholish berarti rasionalisasi untuk memperoleh daya guna dalam berfikir dan bekerja maksiaml guna kebahagiaan umat manusia. Hal itu merupakan perintah Tuhan yang imperatif dan mendasar. Modernisasi berarti berfikir dan bekerja menurut fitrah atau sunatullah (hukum Ilahi) yang haq (sebab alam adalah haq). Sunatullah telah mengejawantahkan dirinya dalam hokum alam sehingga untuk dapat menjadi modern, manusia harus mengerti terlebih dahulu hukum alam itu (perintah Tuhan).
Pendekatan Cak Nur dalam usaha memahami umat dan ajaran Islam lebih bersifat cultural-normatif daripada formal-legalitas. Sehingga ada kesan bahwa ia lebih mementingkan komonitas dan integralistik umat daripada substansi sectarian individual. Seperti yang telah diperlihatkan oleh tokoh reformis sebelumnya, yang banyak mengatasnamakan kesukuan, organisasi dan citra kepentingan diluar komonitas umat Islam. Dengan kata lain, Cak Nur mau menyelamatkan image dan keutuhan umat islam tentang peran social politik keagamaannya memajukan diri daripada hanya terbatas kepentingan sementara dan dipermukaan saja,191
Ide sekularisasi atau devaluasi radikal yang dianjurkan Nurcholish, secara garis besar telah memisahkan masalah urusan dunia dan ukhrawi. Diantaranya (1) persoalan duniawi cukup diurus oleh ilmu dan kemampuan akal rasional; (2) agama
191 Nurcholish Madjid, op. cit. Hal. 59.
290
lebih mementingkan komunikasi psikologgi spiritual, dan (3) pemsahan secara jelas wilayah yang sacral dan wilayah yang temporal. Sedangkan menurut Harun Nasution, ide sekuralisasi yang dianjurkan Nurcholish ide dasarnya adalah (a) urusan bumi diserahkan kepada umat manusia, diberi wewenang penuh untuk memahami dunia ini; (b) akal pikiran adalah alat manusia untuk memahami dan mencari pemecahan masalah-maslah dunia, oleh karena itu terdapat konsistensi antara sekularisasi dan rasionalisasi; (c) terdapat konsistensi antara sekualarisasi dan desakralisasi; (d) membedakan antara hari dunia dan hari agama, pada hari dunia yang berlaku adalah hukum kemasyarakatan manusia dan pada hari agama yang berlaku adalah hokum ukhrawi; (e) dimensi kehidupan dunia adalah ilmu dan kehidupan spiritual adalah ukhrawi; (h) Islam adalah din, din adalah agama dan agama tidak bersifat idiologis, politis, ekonomis, sosiologis.192
Selain faham sekularisme Nurcholish juga membawa faham “Islam Yes, Partai Islam No?” Jika partai-partai islam itu merupakan wadah ide-ide yang hendak diperjuangkan berdasarkan Islam, maka ide-ide itu tidak menarik. Dengan kata lain, ide-ide dan pemikiran Islam itu sedang menjadi absolute memfosil, dan kehilangan dinamika.
Penolakan terhadap partai Islam atau Negara Islam bertolak dari pengertian hakekat Islam itu sendiri. Dalam konteks tersebut, Nurcholish menggambarkan bahwa pengertian Islam hakiki bukanlah struktur dan kumpulan hukum yang bisa melahirkan formalisme agama. Tetapi Islam sebagai pengejawantahan tauhid yang bisa melahirkan jiwa yang hanif, terbuka, demokratis, atau paling tidak mampu menempatkan dirinya dalam konfigurasi pluralistik.
Hal-hal yang disebutkan secara garis besar itulah, yang mendoroong Nurcholish memajukan gagasan modernisasi “versi baru” menurut pandangan-pandangannya. Kalau boleh dikatakan, pemahaman keagamaan Cak Nur lebih bersifat gelobal,
192 Ibid. Hal. 64.
291
seperti umat Islam harus menegakkan prinsif-prinsif ijtihad, berpegang pada fiqih rasional, dan bebas mazhab.193
B. Metodologi Kajian Fiqih Lintas Agama
Mukti Ali menyatakan, jika kita mempelajari cara orang mendekati dan memahami Islam, maka tampak tiga cara yang jelas, Pertama, cara naqli (tradisional), kedua secara naqli (rasional) dan cara ketiga yaitu kasyfi (mistik).194
Pendekatan yang dipakai Fiqih lintas agama dalam menggali hukum Islam adalah pendekatan teologi pluralis dan pendekatan sosiologis.
Pengamat fiqh lintas agama mengemukakan bahwa teologi terbagi pada tiga macam yakni ; Eksklusif, Inklusif dan Pluralis.195 Eksklusif adalah : Teologi-teologi yang tertutup, artinya ia tidak mengakui keyakinan agama lain tetapi yang benar itu adalah keyakinan mereka sendiri, dan Inklusif adalah : Teologi yang terbuka, artinya bahwa ia mengakui agama mereka mengandung kebenaran yang harus diikuti jika ingin memperoleh keselamatan akan tetapi ia juga mengakui keselamatan pada penganut agama lain, sedangkan Pluralis adalah teologi lintas agama artinya ia meyakini bahwa setiap agama merupakan jalan keselamatan masing-masing, tidak boleh saling klem atau menyalahkan antara agama yang satu dengan lainnya, sebagaimana masih diyakini oleh kalangan inklusif saat ini.196 Teologi pluralis memandang semua agama walaupun dengan jalan agama masing-masing yang berbeda namun menuju tujuan yang sama dan absolut, terakhir yang riil.197 .
Wahyu dan teori-tiori sosial modern merupakan sumber-sumber hukum (mashadir) fiqh lintas agama, mereka menukil pandangan Hasan hanafi tentang hermeneutika fungsionalis yang emansipatoris, bahwa teks akan disebut sebagai
193 Ibid. Hal. 60.
194 Mukti Ali, Memahami beberapa Aspek Ajaran Islam, Mizan, bandung, 1990, hal. 19.
195 Nurcholish Madjid, op.cit. hal.211-21
196 Ibid.
197 Ibid, hal. 65
292
wahyu tatkala mampu membela kaum tertindas, memihak fakir miskin, melawan penguasa dispotik serta menghargai pluralitas dan perbedaan, selama fungsi-fungsi tersebut tidak tercermin dalam teks maka tidak disebut sebagai wahyu, karena wahyu merupakan realitas budaya, historik, semiotik dan antropalogis.198
Pendekatan sosiologis dapat diartikan sebagaimana pendekatan agama melalui ilmu-ilmu social, didalam agama banyak timbul permasalahan social. Melalui pendekatan sosiologis, agama dapat dipahami dengan mudah karena agama itu sendiri diturunkan untuk kepentingan social. Dalam al-Qur’an misalnya kita jumpai ayat-ayat yang berkenaan dengan hubungan antar manusia, sebab-sebab terjadinya kemakmuran suatu bangsa, dan sebab-sebab terjadinya kesengsaraan.199
Setiap langkah melaksanakan ajaran Islam di Indonesia harus memperhitungkan kondisi social-budaya yang ciri utamanya adalah pertumbuhan, perkembangan dan kemajmukan.200
C. Masalah-masalah yang diangkat dalam Fiqh Lintas Agama
Sampai saat ini masih ada beberapa isu yang diangkat dalam kajian fiqh lintas agama yang masih belum terjawab secara tuntas oleh fiqh klasik karena fiqh klasik mengalami ketidakmampuan dalam memberikan jawaban yang benar-benar relevan terhadap masalah-masah yang muncul akhir-akhir ini sehingga fiqh klasik kehilangan elastisitasnya ketika dihadapkan pada persoalan-persoalan yang menyangkut keberadaan agama dan orang-orang yang ada di luar Islam.
Diantara beberapa isu mendasar yang diangkat dalam kajian fiqh lintas agama adalah sebagai berikut :
1. Menegaskan kesinambungan dan kesamaan agama-agama.
198 Ibid, hal. 173
199 Akhmad Taufiq, op. cit. hal. 17.
200 M. Syafi’I Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina, , 1995, hal. 158.
293
Segi persamaan yang sangat asasi antara semua kitab suci adalah ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini berbeda dengan persoalan kaum musyrik yang pada zaman Nabi tinggal di kota Makkah. Kepada mereka inilah dialamatkan firman Allah; “Katakanlah (Muhammad), aku tidak menyembah yang kamu sembah, dan kamupun tidak akan menyembah yang aku sembah, bagimu agamamu, dan bagiku agamaku” (al-Kafirun). Ayat yang sangat menegaskan perbedaan konsef “sesembahan” ini ditujukan kepada kaum musyrik Quraisy dan bukan kepada ahli kitab.201
Al-Qur’an memuat perintah Allah kepada Nabi saw agar berseru kepada semua penganut kitab suci untuk berkumpul dalam titik kesamaan, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, sesuai dengan Firman Allah (QS. 3:64).
Katakanlah: "Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah". jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)".(QS. Ali Imran:64).
Bahkan kepada kaum Yahudi dan Nasranipun diserukan untuk mentaati ajaran-ajaran yang ada dalam kitab suci mereka, sebab mereka yang tidak menjalankan ajaran yang diturunklan Allah adalah orang-orang kafir, orang-orang zalim (kaum Yahudi) dan mereka itu orang-orang fasik (kaum Nasrani). Hal ini berdasarkan QS. 5:44-47)
201 Nurcholish Madjid, op. cit. hal. 55.
294
44. Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.
295
45. Dan kami Telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
46. Dan kami iringkan jejak mereka (nabi nabi Bani Israil) dengan Isa putera Maryam, membenarkan Kitab yang sebelumnya, yaitu: Taurat. dan kami Telah memberikan kepadanya Kitab Injil sedang didalamnya (ada) petunjuk dan dan cahaya (yang menerangi), dan membenarkan Kitab yang sebelumnya, yaitu Kitab Taurat. dan menjadi petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa.
47. Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah didalamnya. barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik (QS. Al-Maidah: 44-47)
2. Menghalalkan pernikahan antara muslim/muslimah dengan pemeluk agama apapun dan aliran-aliran kepercayaan yang ada.
Persoalan yang sangat rumit dan kontrofersial adalah hukum kawin beda agama. Dalam banyak kasus dimasyarakat kita masih muncul resistensi yang begitu besar terhadap kawin beda agama. Umumnya, dalam persoalan halal dan haramnya kawin antara umat beragama, para ulama selalu berpegang pada ayat-ayat al-Qur’an berikut ini:
296
221. Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran... (QS. 2:221)
10. ”Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu Telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar
297
yang Telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang Telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang Telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”(QS. 60:10).
Ayat-ayat diatas termasuk ayat Madaniyah yang pertama kali turun dan membawa pesan khusus agar orang-orang muslim tidak menikahi orang musyrik atau sebaliknya. Imam Muhammad al-Razi dalam al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib menyebut ayat tersebut sebagai ayat-ayat permulaan yang secara eksplesit menjelaskan hal-hal yang halal (ma yuhallu) dan hal-hal yang dilarang (mayuhramu). Dan menikahi orang-orang musyrik merupakan salah satu perintah Tuhan dalam kategori ”haram” dan ”dilarang”.202
Begitu jelas perbedan antara kaum musyrik dan ahli kitab, sehingga kita tidak boleh mencampur adukkan makna dan arti antara keduanya; dimana musyrik diartikan Ahli Kitab dan Ahli Kitab diartikan musyrik. Bila Allah mengharamkan mengawini perempuan musyrik, seperti yang terdapat pada surat al-Baqarah, 2:221, ”janganlah kamu menikah dengan perempuan-perempuan musyrik sebelum mereka beriman...” makna tidak tepat bila ayat Qur’an itu dipahami bahwa yang dimaksudkan dengan perempuan musyirik itu adalah perempuan ahli kitab. Bahkan Imam Muhammad Abduh secara lebih spesifik dan terang berpendapat, sebagaimana dinukilkan oleh sang murid, Rasyid Ridha, bahwa perempuan yang haram dikawini oleh laki-laki muslim, dalam al-Baqarah, 2:22, itu adalah perempuan-perempuan musyrik Arab. Apakah masih ada sampai sekarang orang-orang seperti musyrik Arab itu? Kalau ada, hukum dapat berlaku, tapi kalau tidak maka dengan sendirinya tidak
202 Ibid. Hal. 154
298
ada suatu kepercayaan dan agama pun yang menjadi kendala dalam melakukan perkawinan.
Karena itu padangan yang memasukkan non muslim sebagai musyrik ditolak dengan beberapa alasan berikut: Pertama, dalam sejumlah ayat lainnya al-Qur’an membedakan antara orang-orang musyrik dengan ahli kitab (keristen dan yahudi). Dalam beberapa ayatnya al-Qur’an menggunakan huruf ”waw” yang adalam kaedah bahasa arab disebut ”athfun”, yang berarti pembedaan antara kata yang sebelumnya dan yang sesudahnya. Aatas dasar ini terdapat pembedaanantara kata musyrik dengan kata ahli kitab. Abu ja’far Ibnu Jarir al-Tabari dalam Jami’ al-bayyan an’Ta’wil al-Qur’an termasuk salah seorang ulama’ terkemuka yang menafsirkan ”musyrik” sebagai orang-orang yang bukan ahli kitab. Musyrik yang dimaksud dalam surat al-baqarah ayat 221 sama sekali bukan keresten dan yahudi. Yang dimaksud ”musyrik” dalam ayat tersebut yaitu orang-orang musyrik Arab yang tidak memnpunyai kitab suci.203
Kedua, larangan menikahi ”musyrik” karena dikhawatirkan wanita musyrik atau laki-laki musyrik memerangi orang-orang Islam. Kita tahu, bahwa ayat ini turun dalam situasi dimana terjadi ketegangan antara orang-orang muslim dengan orang-orang musyrik Arab. Disini jelas, yang dimaksud musyrik adalah mereka yang suka memerangi orang-orang muslim. Imam al-Razi adalah seorang ulama yang menolak bahwa makna ”musyrik” yang ditujukan kepada kalangan paganis Arab, melainkan mereka yang suka memerangi orang-orang muslim dan karenanya kaum musyrik bukanlah ahl al-dzimmah.
Ketiga, dalam masyarakat Arab terdapat tiga kelompok masyarakat yang disebut sebagai kelompok lain (al-akhar) yaitu musyrik, keresten dan Yahudi. Yang disebut musyrik adalah mereka yang mempunyai kedudukan tinggi dan posisi penting dalam masyarakat. Pusatnya di Makkah. Mereka mempunyai patung yang paling
203 Ibid. Hal 160.
299
besar, ”hibal” yang menghadap ke ka’ba, terbuat dari batu akik, bentuknya seperti manusia. Disekeliling patung tersebut terdapat patung-patung kecil sebanyak 360 buah. Sedangkan Kersesten termasuk kekuatan yang sangat besar didataran Arab. Mereka adalah sekelompok orang keresten Syam yang lari ke Arab sebagai jalan keluar dari kezaliman Romawi. Mereka mempunyai puncak gunung dan bukit-bukit melalui para pedagang Afrika. Kedatangan orang-orang keresten menyebabkan sejumlah kabilah Arab memeluk agama keresten antara lain: kabilah Ghassan, Taghallub, Tanukh, Lakhim, Kharamdan lain-lain. Dan yang dimaksud Yahudi adalah mereka yang juga lari dari Syam, karena kediktatoran Romawi dan Persia. Mereka berbusat di madinah. Jumlah mereka hampir dari separuh penduduk Madinah, antara lain: keturunan Qaynaqa’Nadhir dan Quraydzah. Sebagian mereka ada yang mengikuti al-Khumayri yang pergi menuju wilayah selatan Arab bersama orang-orang Yahudi, sehingga mereka menyebarkan agamanya di yaman. Dari sini, lalu mereka tersebar di antara Yatsrib, Kaiybar, Tabuk, Taayman dan Yaman.204
Keempat, alasan yang cukup pundamental tentang dibolehkannya nikah beda agama, terutama dengan non muslim, yaitu ayat yang berbunyi:
204 Ibid. Hal. 161.
300
5. Pada hari Ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan (merdeka) diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu Telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. barangsiapa yang kafir sesudah beriman (Tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi. )QS. Al-Ma’idah:5)
Ayat ini merupakan ayat madinah yang diturunkan setelah ayat yang melarang pernikahan dengan orang-orang musyrik, sehingga mereka beriman. Ayat ini dapat disebut ”ayat revolusi” karena secara eksplisit menjawab beberapa keraguan bagi masyarakat muslim pada saat itu, perihal pernikahan dengan non muslim.205
Tentang dibolehkannya pernikahan dengan orang non muslim, terdapat beberapa sahabat Nabi yang menikahi perempuan Kristen dan yahudi, antara lain; Hudzaifah, Thalhah. Khalifah Umar sempat berang dan marah tatkala mendengan kabar pernikahan tersebut. Sikap Umar yang seperti itu sebenarnya bukan untuk mengharamkan pernikahan mereka melainkan hanya khawatir.206
Juga ada beberapa alasan yang merujuk pada semangat yang dibawa Al-qur’an sendiri. Pertama, bahwa pluralitas agama merupakan sunnatullah yang tidak bisa dihindarkan. Tuhan menyebut agama-agama samawi dan mereka membawa ajaran amal shaleh sebagai orang yang akan bersama-Nya di surga nanti. Bahkan Tuhan juga secara eksplisit menyebutkan agar perbedaan jenis kelamin dan suku bangsa tanda agar satu dengan yang lainya saling mengenal. Dan pernikahan antara
205 Ibid. Hal. 162.
206 Ibid. Hal. 163.
301
beda agama dapat dijadikan salah satu ruang, yang mana antara penganut agama saling berkenalan secara lebih dekat.
Kedua, bahwa tujuan dari diberlangsungkannya pernikahan adalah untuk membangun tali kasih (al-mawaddah) tali tali sayang (al-rahmah). Ditengah rentannya hubungan antara saat ini, pernikahan beda agama justru dapat dijadikan wahana untuk membangun toleransi dan kesepahaman antara masing-masing pemeluk agama. Bermula dari ikatan tali kasih dan tali sayang, kita rajut kerukunan dan edamean.
Kertiga, Semangat yang dibawa Islam adalah pembebasan, bukan belenggu. Dan tahapan-tahapan yang dilakukan oleh al-Qur’an sejak larangan pernikahan dengan orang musyrik, lalu membuka jalan bagi pernikahan dengan ahli kitab merupakan sebuah tahapan pembebasan secara evolutif. Dan pada saatnya kita harus melihat agama lain bukan sebagai kelas kedua, dan bukan pula ahl al-dzimmah dalam arti menekan mereka, melainkan sebagai warga negara. Fahmi Huwaidi sudah memulai langkah maju tersebut dengan manifestonya, non muslim adalah warga negara dan bukan kelas kedua (muathinun la dzimmiyyun).207
Tentang perkawinan beda agama tersebut ada beberapa pendapat antara lain :
1. Perempuan Muslim dengan laki-laki non muslim.
a. Semua ulama sepakat bahwa perempuan muslimah tidak diperbolehkan (haram) kawin dengan laki-laki non muslim, baik ahli kitab maupun musyrik, didasarkan pada QS. Al-Baqarah ayat 221 dan Al-Mumtahanah ayat 10.
b. As-Sayyid Sabiq mengharamkan perempuan muslim kawin dengan laki-laki non muslim dengan alasan sebagai berikut;
207 Ibid, hal. 165.
302
1. Orang kafir tidak boleh menguasai orang Islam berdasarkan QS. Annisa’ 141. ...”dan Allah tak akan memberi jalan orang-orang kafir itu mengalahkan orang-orang mukmin.
2. Laki-laki kafir dan ahli kitab tidak akan mau mengerti agama istrinya yang muslimah, malah sebaliknya mendustakan kitab dan mengingkari ajaran nabinya. Sedangkan apabila laki-laki muslim kawin dengan perempuan ahli kitab maka dia akan mau mengerti agama, mengimani kitab, dan nabi dari istrinya sebagai bagian dari keimanannya karena tidak akan sempurna keimanan seseorang tanpa mengimani kitab dan nabi-nabi terdahulu.
3. Dalam rumah tangga campuran pasangan suami istri tidak mungkin tinggal dan hidup bersama karena perbedaan yang jauh.208
c. M. Quraish Shihab berpendapat bahwa larangan mengawinkan perempuan muslimah dengan peria non muslim-termasuk pria ahli kitab-diisyaratkan oleh al-Qur’an. Isyarat ini dipahami dari redaksi surat al-Baqarah 221, yang hanya berbicara tentang bolehnya perkawinan pria muslim dengan wanita ahli kitab, dan sedikitpun tidak menyinggung sebaliknya. Sehingga seandainya pernikahan semacam itu dibolehkan pasti ayat tersebut akan menegaskannya.209
d. Mahmud Syaltut menegaskan bahwa wanita muslim dilarang kawin dengan non muslim karena kekhawatiran akan terpengaruh atau berada dibawah kekuasaan yang berlainan agama dengannya.210
2. Laki-laki muslim dengan perempuan Ahli Kitab.
a. Pada dasarnya laki-laki muslim diperbolehkan (halal) mengawini perempuan ahli kitab berdasar penghususan QS. Al-Maidah ayat 5. Pengertian ahli kitab disini mengacu pada dua agama besar rumpun
208 Sayyid Sabiq, Fiqih as-sunnah, Beirut, Dar al-Kitab, 1985, hal. 99.
209 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan umat, Bandung: Mizan Pustaka, 2007 cet. I.
210 Ibid.
303
semitik sebelum Islam yaitu Yahudi dan Nasrani. Ibnu Rusyd menulis bahwa para ulama sepakat akan kehalalan mengawini perempuan ahli kitab dengan syarat ia merdeka.211
b. Para ulama Mazhab Hanafi mengharamkan seorang laki-laki mukmin mengawini perempuan ahli kitab yang berdomisili di wilayah yang sedang berperang. Sedangkan ahli kitab zimmi ( yang berada di negara dan perlindungan pemerintah Islam) hukumnya hanya makruh.
c. Mazhab Maliki berpendapat bahwa mengawini perempuan ahli kitab hukumnya makruh mutlah. Sebab perempuan ahli kitab tetap saja boleh minum khamer, makan babi, dan pergi ke gereja padahal suaminya tidak melakukan itu semua.
d. Mazhab Syafi’i memandang makruh mengawini perempuan ahli kitab yang berdomisili di dar al-Islam, dan sangat dimakruhkan bagi yang berada di dar al-harb sebagaimana pendapat fuqaha malikiyah. Ulama Syafi’iyah memandang kemakruhan tersebut apabila terjadi; pertama, tidak terbersit oleh calon mempelai laki-laki untuk mengajak perempuan ahli kitab tersebut masuk Islam. Kedua, masih ada perempuan muslimah yang shalihah. Ketiga, apabila tidak mengawini perempuan ahli kitab tersebut ia bisa terperosok kedalam perbuatan zina.212
e. Mazhab Hambali berpendapat bahwa laki-laki muslim diperbolehkan mengawini perempuan ahli kitab berdasarkan keumuman QS. Al-Maidah ayat 5. Disyaratkan perempuan ahli kitab tersebut adalah perempuan merdeka (bukan budak), karena al-muhsanat yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah perempuan merdeka.
211 Suhadi, Kawin Lintas Agama, Persfektif Kritik Nalar Islam, LKIS, Yogyakarta, 2006, hal. 39.
212 Ibid, hal. 42.
304
f. Mahmud syaltut berpendapat laki-laki muslim boleh kawin dengan wanita ahli kitab selama ia tidak akan terpengaruhi oleh istrinya dan ia bisa menjaga anak-anaknya untuk masuk islam, sebaliknya jika laki-laki muslim tersebut akan terpengaruh maka perkawinannya dengan ahli kitab tidak dibenarkan.
g. M. Qurais Shihab berpendapat bahwa ahli kitab yang boleh dikawini itu adalah yang diungkapkan dalam redaksi ayat ”wal muhshanat minal ladzina utul kitab”. Kata al-muhsanat disini berarti wanita-wanita terhormat yang selalu menjaga kesuciannya, dan yang sangat menghormati dan mengagungkan kitab suci.213
h. MUI berpendapat bahwa tidak diperbolehkan kawin lintas agama dengan argumen masalih al-mursalah , yakni demi kepentingan masyarakat Islam.
i. Undang-Undang perkawinan tidak mengatur perkawinan (campuran) antar agama. Tiap agama telah ada ketentuan tersendiri yang melarang perkawinan antar agama. Agama-agama di Indonesia melarang perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda.214
3. Menghalalkan waris mewarisi antara orang-muslim dengan orang kafir.
Persoalan lain yang tak kalah rumitnya dari persoalan diatas adalah waris beda agama. Ayat yang digunakan sebagai landasan hukum adalah ayat yang berbunyi “Dan Allah tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk menundukkan (kemusnahan) orang-orang mukmin (QS.4:141). Sedangkan hadits yang digunakan landasan normative, yaitu “seorang muslim tidak mewarisi kepada orang-orang kafir, begitu pula orang-orang kafir tidak mewarisi kepada orang muslim”.
213M. Quraish Shihab, op.cit.
214 Abdul Halim Barkatullah dkk, Hukum Islam, Menjawab Tantangan Zaman yang Terus Berkembang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, hal.157.
305
Ibnu Rusyd mengakui bahwa sebagian besar ulama melarang atau mengharamkan waris beda agama. Namun masih terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum seorang muslim mewarisi non muslim. Para ulama terbelah dalam dua pendapat. Pertama, mereka yang mutlak menolak waris beda agama, baik seorang muslim mewarisi seorang kafir atau sebaliknya, berdasarkan kedua dalil diatas.215 Kedua, mereka yang membolehkan hukum seorang muslim mewarisi seorang kafir dan mengharamkan kebalikannya. Ini berdasarkan analogi (qiyas) diperbolehkannya pernikahan seorang muslim dengan wanita non muslim (ahli kitab), sebagaimana disinyalir dalam surat al-Ma’idah ayat 5.
Dengan demikian sejatinya hukum waris harus dikembalikan pada semangat awalnya yaitu dalam konteks keluarga (ulu’ al-ahram) keturunan (nasab) dan menantu (shakhir), apapun agamanya. Yang menjadi tujuan utama dalam waris adalah mempererat hubungan keluarga. Dan logikanya, bila Islam menghargai agama lain dan mempersilahkan pernikahan dengan agama lain, maka secara otomatis waris beda agama diperbolehkan.216
4. Menuju Fiqih yang Peka terhadap Fluralisme
Beragama dalam arti bagian dari realitas kemanusiaan masih menyisakan sejuta problematika yang mesti dijawab secara serius. Ini dibuktikan dengan realitas empiric yang memilukan: kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan, kezaliman politik dan imperialism budaya. Fenomenanya agama berada disebuah lembah, sedangkan problem kemanusiaan dilembah yang lain. Agama tak mampu memberikan jalan keluar bagi kemelut dan kerisis, sehingga agama kehilangan fungsinya. Alih-alih ingin menjadikan agama sebagai alat pembebasan, yang muncul justru klaim kebenaran agama yang berujung pada pembelaa kepada agama tanpa reserve. Akibatnya, agama mmenjadi dogma-dogma eksklusif.
215 Nurcholish Madjid, op.cit. Hal. 164.
216 Ibid, hal. 167
306
Dalama mendeteksi ajaran hukum Islam banyak melalui pendikatan ta’abbudi (hukum Islam diterima apa adanya tanpa komentar) karenanya kausalitas ‘illat hukum dan hikmah tasyri’ tidak banyak terungkap sehingga pikiran kaum muslimin menjadi jumud dan beku. Pembaharuan dalam bidang ini dapatditempuh dengan jalan bahwa sebaliknya dalam memahami ajaran/hukum Islam ditempuh lewat pendekatan ilmiah rasional menuju pendekatan ta’aqquli. Dengan prinsif ini , illat hukum dan hikmah tasyri’ dapat dicerna oleh penalaran umat Islam, terutama dalam masalah kemasyarakatan.217
Yang diperlukan sekarang yaitu mengembalikan nilai-nilai universal, seperti kemaslahatan umum, egalitarianism, rasionalisme, pluralism sebagai prinsip-prinsip paradigmatik fiqih sehingga tidak terjebak didalam kubangan literalisme, fundamentalisme dan konservatisme.218
Langkah tersebut sesungguhnya telah diusung oleh sejumlah ulama, antara lain Imam al-Syathibi dalam mognum opus-nya al-Muwafaqat, yaitu tatkala memulai upaya menangkap komitmen wahyu dan melakukan ijtihad baru sebagai upaya rekonstruksi atas orisinalitas (ta’shiil al-ushul), yang didasarkan pada nilai-nilai universal dan tujuan umum fiqih daripada hanya sekadar memahami fiqih dari lafaz partikujlar atau menyimpulkan sebuah hukum dari lafaz yang problematic. Atau hanya analogi sebuah peristiwa atas peristiwa yang lain.219 Ibnu Rusyd, filuusuf Muslim asal Andalusia, juga melakukan hal yang sama yaitu meletakkan rasionalitas (filsafat) sejajar dengan fiqih (agama).220 Kesemuanya ini menjadi landasan paradigmatic yang menjadi pijakan dalam pembaruan fiqih dan transformasi sosial.
217 Munawir Sjadzali, Kontekstualisasi Ajaran Islam, (Jakarta: PT. Temprint, 1995, cetakan kesatu), hal. 268.
218 Nurcholish Madjid, op.cit. Hal. 172.
219 Muhammad Abid al-Jabiri, al-‘Aql al-Siyasi al-araby (Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-Arabiyah, cetakan ketiga, 1995), hal. 19.
220 Ibnu Rusyd, Fash al-Maqal fi ma bayn al-Hikmah wa al-Syar’iah min al-Ittishal (Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-Arabiyah, cetakan kedua, 1999), hal. 125.
307
Selain itu pembaharuan pemikiran keagamaan dimasa mendatang mesti mengembangkan budaya tafsir yang terbuka dan toleran. Di sini, hermeniutika dapat dijadikan mekanisme mengungkap ‘makna yang tertunda” guna mengembalikan komitmen wahyu yang bersifat universal dan pluralis. Hermeniutik yang dimaksud tidak hanya sekadar “revelasionis” yang menggantungkan diri pada wahyu yang terbatas pada teeks, akan tetapi lebih diaplikasikan dalam hermeniuttika “fungsional” yakni sejauh mana teks mampu melakukan pembebasan terhadap realitas kemanusiaan.221 Hasan Hanafi mempunyai pandangan hermeniutika fungsional yang emansipatoris, bahwa “teks” akan disebut wahyu tatkala mampu membela kaum tertindas, memihak pakir miskin, melawan penguasa despotic serta menghargai pluralitas danperbedaan. Selama fungsi-fungsi tersebut tidak tercermin dalam teks, maka tidak dapat disebut “wahyu”, karena wahyu merupakan realitas budaya, historis, semiotic dan antropologis.222 Karena itu memahami teks-teks keagamaan secara literal justru kan menghapuskan entitas kewahyuan yang terdapat dalam teks.
Karena itu yang harus digelar adalah upaya membangun “fiqih demokratik” dan “fiqih civil society”, yaitu fiqih yang tidak menggunakan agama sebagai komoditas politik. Agama harus ditafsirkan secara emansipatoris untuk mengakselerasikan demokrasi dan civil society. Karenanya agama dalam hal ini tidak dijadikan “tameng politik”, akan tetapi sebagai elan pembebasan, pemihakan pada kaum lemah dan pemberdayaan masyarakat.223
Mahmud Muhammad Thaha dalam The second Message of Islam, mengutarakan pentingnya fiqih yang dapat membangun masyarakat, menciptakan kesetaraan politik melalui mekanisme demokrasi, mewujudkan kesetaraan ekonomi
221 Farid Esack, Qur’an Liberation and Pluralism: An Islamic Perpective of Interrelegious Solidarity agains Oppression (terj. Watung A. Budiman), (Bandung: Mizan, 2000), hal. 84.
222 Hasan hanafi, Min al-Aqidah ila al-Tasawrah; al-Muqaddimat al-Nazhariyah, Jilid I, Maktab Madbuli, 1988.
223 Nurcholish Madjid, op.cit. Hal.175.
308
melalui sosialisme dan kesetaraan sosial dengan menghapus diskriminasi dan kelas.224
D. Pijakan Keimanan Fiqih Lintas Agama
Yang menjadi pijakan fiqih Lintas Agama ini atas dasar Hikmah dan kemaslahatan persaudaraan, persahabatan, kesejahteraan dan kedamaian, kerukunan, toleransi, persatuan dan kehangatan pergaulan antar umat beragama dan Fiqih yang peka keragaman ritual meneguhkan inklusivisme Islam, fiqih yang membangun masyarakat inklusif-pluralis. Kita memulai dengan menganalisis masalah yang berkaitan dengan paham keimanan pluralis sebagaimana yang tertera dalam buku Fiqih Lintas Agama. Dari masalah tersebut akan berlanjut kepada beberapa peristilahan yang banyak disebutkan dalam buku ini seperti istilah din dan syir’ah, ajaran kehanifan (hanafiyyah), makna Islam, ahli kitab, dan kalimatun sawa’. Terdapat beberapa pendapat atau pandangan utama dalam buku Fiqih Lintas Agama yang akan menjadi pokok pembahasan kita, antara lain:
Teologi pluralis membutuhkan fiqh pluralis. Fiqh hubungan antaragama yang sesuai dengan teologi pluralis adalah fiqh pluralis. Fiqh ekslusivis hanya sesuai dengan teologi eksklusivis. (hlm. 65)
Sementara din atau inti agama itu sama, kepada setiap golongan dari kalangan umat manusia Allah menetapkan syir’ah (atau syari’ah, yakni: jalan) dan minhaj (cara) yang berbeda-beda, sebab Allah tidak menghendaki umat manusia itu satu dan sama dalam segala hal. (hlm. 20)
Perkataan hanif menunjukkan kepada yang murni, suci dan benar dengan titik inti pandangan Ketuhanan yang maha Esa atau tawhid; sedangkan perkataan muslim menunjukkan pengertian sikap tunduk (din) dan pasrah total hanya
224 Mahmud Muhammad Thaha, The second Message of Islam, (terj. Nur Rachman), (Surabaya:ELSAD, 1999), hal. 223.
309
kepada kemurnian, kesucian dan kebenaranan itu, yang di atas segalanya ialah tunduk dan pasrah total kepada Tuhan yang maha Esa (islam). (hlm. 26)
Sekalipun para nabi mengajarkan pandangan hidup yang disebut al-islam tidaklah berarti bahwa mereka dan kaumnya menyebut secara harfiah ajaran mereka al-islam dan mereka sendiri sebagai orang-orang muslim. Sebab semua itu adalah peristilahan dalam bahasa Arab. (hlm. 42)
Ahl al-kitab dapat dipahami sebagai petunjuk tentang kesinambungan tradisi agama-agama Ibrahim. Ahli kitab secara harfiah berarti “yang mempunyai kitab” ialah konsep yang memberikan pengakuan tertentu kepada para penganut agama diluar Islam yang memiliki kitab suci. (hlm. 42-42).
Ahli kitab bukan hanya Yahudi dan Nasrani saja, tetapi Hindu, Budha, Majusi dan sebagainya juga termasuk ahli kitab. (hlm. 48)
Bahwa dalam pengertian yang benar tentang Tuhan, masalah nama bukanlah hal yang asasi; yang asasi ialah pengertiannya. (hlm. 56)
E. Tujuan Fiqih Lintas Agama
Bila kita cermati secara seksama dari tujuan fiqih lintas agama baik secara eksplisit maupun implisit ada beberapa maksud dan tujuannya antara lain :
1. Untuk membebaskan umat Islam dari belenggu fiqih Islam yang sudah dianggap tidak mampu lagi menampung perkembangan dan kebutuhan manusia modrn, karena fiqh hanya berbicara untuk kebutuhan-kebutuhan dizamannya, bukan untuk kebutuhan zaman dimana kita hidup.
2. Untuk menciptakan fiqih yang mengedepankan semangat toleransi dan kebersamaan, sebab fiqih secara eksplisit ataupun implisit telah menebar kebencian kecurangan dan kebencian serta permusuhan terhadap agama lain, karena di dalam fiqih klasik ada beberapa istilah yang dianggap musuh seperti musyrik, murtad dan kafir. Padahal fiqih adalah produk budaya yang hadir pada zamannya tertentu dan untuk komonitas tertentu
310
pula, maka dalam masalah-masalah tertentu fiqih klasik perlu dikritisi secara serius.225 Untuk menciptakan fiqih yang adil, karena fiqih klasik bersifat diskriminatif, menomorduakan non muslim, sedangkan secara eksplisit fiqh ditulis untuk kepentingan umat Islam saja, sedangkan fiqih yang berkaitan dengan umat lain hampir tidak dijelaskan.226
3. Untuk merespon konflik dan tuduhan orientalis bahwa Islam adalah agama yang telah menebar teror terhadap pemeluk agama lain.227 Untuk menghadapi dan menghalangi laju kelompok Islam Konservatif, yang menjadikan masa lalu sebagai cermin dari masa kini yang bersifat eksklusif dan menganggap Islam sebagai agama yang dititahkan untuk bersikap defensif sekaligus ofensif.228
4. Untuk menciptakan kehidupan yang damai dengan orang non muslim, walaupun harus menimbulkan konflik dengan muslim yang dianggap konservatif fundamentalis.229 Untuk menegakan hak beragama sesuai dengan undang-undang, HAM dan sistem demokrasi dll.
F. Analisis
Dari beberapa kajian dan masalah-masalah dalam fiqih lintas agama yang faktual banyak dialogkan oleh berbagai kalangan perlu penulis memaparkan pembahasan analisisnya berdasarkan beberapa temuan dan analisis yang ada.
Pertama, dalam kajian fiqih lintas agama mereka menyamakan semua agama dengan alasan bahwasanya hakekat agama apapun semuanya menyeru kepada keharmonisan yang hakiki, mereka juga mengutip firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat : 69
225 Ibid, hal. 2-3
226 Ibid, hal. 129
227 Ibid, hal. 3
228 Ibid, hal. 170
229 Ibid, hal. 13
311
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar saleh, Maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Menurut analisis penulis pada mulanya memang semua agama yang diturunkan oleh Allah SWT. Tersebut adalah benar, tetapi agama itu tidak dibenarkan lagi ketika para umatnya telah merombak atau mengubah-ubah ajaran atau kitab sucinya sesuai dengan selera dan kemauan mereka sendiri.
Kedua, kajian fiqih lintas agama menghalalkan pernikahan antara muslim/muslimah dengan pemeluk agama apapun dan atau aliran kepercayaan apapun, mereka berpendapat bahwa tidak ada larangan yang shahih pernikahan antar agama karena mereka beranggapan bahwa pernikahan muslim dengan non muslim merupakan persoalan jihad dan terkait dengan konteks tertentu, seperti konteks dakwah Islam untuk mengajak mereka masuk kedalam agama Islam, padahal itu berlaku dahulu semasa umat Islam jumlahnya sedikit tidak seperti saat ini. Dan juga pendapat mereka itu bertentangan dengan firman Allah surat Al-Baqarah ayat : 221 dan surat Al-Mumtahanah ayat : 10
312
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka Allah mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
Ketiga, dalam kajian fiqih lintas agama mereka menghalalkan waris mewarisi antara orang muslim dengan orang kafir, mereka mengemukakan dua argumen mengenai waris mewarisi antara muslim dengan non muslim, pertama kalau Islam menghargai agama lain dan membolehkan nikah antar agama maka otomatis waris beda agama juga diperbolehkan, kedua hadis yang melarang waris beda agama banyak yang mereka batalkan hukum di dalamnya.
Dari pendapat mereka di atas jelas sekali bertentangan dengan ayat-ayat Al-qur’an yang melarang muslim saling mewarisi dengan orang-orang kafir, dan mereka tidak mau menggunakan hadis-hadis shahih yang melarang waris mewarisi antara orang muslim dengan orang kafir dan sebaliknya.
313
Keempat, fiqih lintas agama mencoba menggagas fiqih yang peka terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial, demokratik, berpihak kepada kaum lemah dan terbuka pada pluralism. Keberadaan pluralisme sesungguhnya telah disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat 69. Maka ditengah kehidupan yang plural ini dibutuhkan hukum yang mengedepankan azas-azas kemanusiaan.
G. Kritik dan penilaian Buku Fiqih Lintas Agama
Pertama; Penggunaan term “Fiqh” pada buku FLA tidak tepat. Mereka menggunakan istilah fiqih dari sudut pandang ke-bhasa-an. Dalam uraian-uraiannya, FLA seringkali hanya berbegang padaa logika dan pendekatan kemasyarakatan dengan meninggalkan dalil-dalil nash yang kuat (Qur:an dan Hadits), sehingga kesimpulannya menjadi salah. Buku FLA tidak layang diandang sebagai buku fiqih, karena tidak menggunakan metodologi fiqih yang benar.
Kedua; Mencermati pokok-pokok fikiran, uraian-uraian, dan argumentasi yang diajukan FLA, terlihat para penulisnya menggunakan cara berfikir liberal yang tidak terikat oleh nash-nash syara’, apalagi pendapat para ulama klasik maupun modern. Cara berfikir semacam ini tidak layak disebut sebagai pemikiran keagamaan.
Ketiga; Pandangan para penulis FLA terhadap teks Al-Qur:an sebagai teks terbuka dan produk budaya; Al-Qur:an dipandang bukan sebagai kitab suci, dan kebenaran itu bukan hanya milik Islam (kebenaran tunggal), merupakan pandangan para orientalis yang berusaha mengaburkan ajran Islam dengan melemahkan posisi Al-Qur:an sebagai sumber ajaran pertama dan utama. dan ini merupakan bagian dari upaya pendangkalan aqidah umat secara sistematis. Padahal sebagaimana diketahui, Al-Qur:an adalah wahyu Allah swt yang diturunkan kepada Rasulullah saw melalui malaikat Jibril sebagai pedoman hidup bagi manusia. Tida ada yang ragu. Bahwa Al-Qur:an adalah kitab suci agi umat Islam, seperti halnya umat-umat agama lain mengakui adanya kitab-kitab suci mereka masing-masing. Sangat mengganggu
314
perasaan dan merusak keyakinan umat Islam (penyalin :kecuali umat Islam yang anti Islam), jika kedudukan Al-Qur:an sebagai kitab suci itu diragukan, karena Al-Qur:an adalah benar-benar wahyu Allah swt yang mendapat jaminan-Nya. Allah berfirman, yang artinya;
“Kitab (Al-Qur:an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”. (QS Al-Baqarah 2).
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur;an dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya”. (QS AlHijr 9).
Begitu juga tidak benar, jika AlQur;an dipandang sebagai “teks terbuka’ yang bisa dikritik, diganti, ditinggalkan dan ditafsirkan sesuai selera pembacanya. Karena isi Al-Qur:an mengikat umat Islam dan mengingkari kebenaran isinya dalah kafir. Dalam menafsirkan Al-Qur;an harus menggunakan metodologi penafsiran yang benar, bukan semata-mata menggunakan logika dengan menafssirkan semaunya sendiri. Tentu saja sebaik-baik tafsir adalah Rasulullah, sesuai firman Allah yang artinya; “Dan Kami menurunkan kepadamu (Muhammad) Al-Qur:an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yangtelah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”. (Qs An-Nahl 44)
Keempat; Pernyataan para penulis FLA, bahwa jika Al-Qur:an bertentangan dengan problem kemanusiaan maka Al-Qur:an tidak dapat digunakan, adalah pernyataan yang menunjukkan belum difahaminya fungsi dan kedudukan Al-Qur:an dengan baik. Al-Qur:an tidak mungkin bertentangan dengan problem kemanusiaan, karena Al-Qur:an justru mengandung banyak tuntunan tentang prinsip-prinsip kemanusiaan yang universal dan dibenarkan oleh Allah swt, serta menjadi mukjizat yang diturunkan untuk menjadi petunjuk dan rahmat bagi alam semesta (QS Al-A’raf 203, Al-Anbiya 107, An-Naml 76-77, dan Ad-Dukhan 1-6).
315
Kalau ada ayat yang menurut akal manusia belum bisa difahami atau dipandang belum bisa memecahkan problem yang dihadapi manusia, hendaknya kita bertawakkal dan berserah diri sambil berharap kepada-Nya. Sebab, boleh jadi akal fikiran kita yang tendensius dan belum bisa memahami apa maksud, esensi, intisari, atau rahasia yang terkandung pada ayat tersebut,a tau memang hanya Allah saja yang memahami rahasia yang sebenarnya (QS Ali Imran 7) (penyalin : Ahmad Zaki Yamani MCJ LLM menulis buku “Syari’at Islam Yang Abadi Menjawab Tantangan Masa Kini”).
Kelima; Pandangan yang menyatakan tidak boleh mengklaim, Islam adalah ajaran (agama) yang paling benar atau satu-atunya yang benar (kebenaran tunggal) sebagaimana dikemukakan oleh para penulis buku FLA, merupakan pandangan yang menyalahi nash Al-Quran sendiri. “Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka karena kedengkian di antara mereka. barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya”. (QS Ali Imran 19).
Alangkah naifnya ajaran Islam bila ayat tersebut diartikan bahwa ajaran Islam bukan satu-satunya kebenaran (penyalin : kecuali bagi umat Islam yang anti Islam).
Keenam; Lontaran isu yang memandang telah terjadi problem huungan antar umat beragama, yang diakibatkan tulisan para ulama klasik dengan mendiskriditkan mereka, khusunya Imam Syafi’i, merupakan tuduhan yang berlebihan, tidak beralasan, dan sulit dibuktikan. Justru uraian-uraian buku FLA yang dapat menimbulkan ketegangan baru, baik pada intern maun antar umat beragama. Buku FLA amat provokatif, sarkatik dan meremehkan para ulama tempo dulu yang karya-karyanya sangat berpengaruh luas.
316
Pada tataran internal umat, buku FLA akan menimbulkan beberapa hal, antara lain; (1) Keteangan, kegelisahan, dan perdebatan baru pada hal-hal yang sudah jelas hukumnya tanpa menimbulkan problem. Ini hanya akan membuang dan menguras energi secara percuma, padahal masih banyak problem umat yang lebih mendesak dan penting untuk difikirkan dab ditemukan solusinya. (2) Perpecahan dan perselisihan pada intern umat yang justru akan melemakan ukhuwah Islamiyah. (3) Memberi peluang kepada fihak lain untuk menarik keuntungan dari situasi konflik inern umat, dan dari isi buku yang menyesatkan ini untuk kepentingan fiahk lain (non-muslim).
Pada tataran eksternal, dengan uangkapan bahwa Islam sebagaimana dijelaskan oleh para ulama klasik, menurut versi buku FLA, adalah agama kekerasan dan diskriminatif, akan menimbulkan fitnah dan kesalah-fahaman yang merugikan umat Islam. Buku Fla secara tidak langsung memberikan pembenaran terhadap tuduhan terorisme ada dalam fiqih Islam, dan fiqih Islam diyakini sebagai sumber (ajaran) teroris.
Ketujuh; Tawaran dan uraian dalam FLA, berupa perkawinan beda aama, hak waris beda agama, ucapan salam untk non-muslim, ucapan selamat natal, doa bersamaantara pemeluk agama, adalah bertentangan dengan nash Al-Qur:an, hadits shahih, ijma’ ulama, fatwa MUI dan kemaslahatan umat.
a. Anjuran nikah beda agama (muslimah dengan non-muslim) adalah ketetapan hukum yang salah, karena menyalahi Al-Qur:an (QS Al-Mumtahanah 10, Al-Ma:idah 5), menyalahi ijma’ ulama, bertentangan dengan kemaslahatan umat dan UU No.1/1974, pasal b c, KHI Bab VI, pasal 444 : “Seorang wanita Islam dilarang melakukan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”.
b. Membolehkan hak waris beda agama, adalah berentangan dengan Hadits Nabi saw (HR Muttafaq ‘alaih dari Usamah ra), dan ijma’ ulama.
317
c.Anjuran mengucapkan salam kepada non-muslim adalah bertentangan dengan Hadits Nabi saw (HR Muslim dari Abu Hurairah ra).
d. Anjuran mengucapakan selamat natal kepada yang merayakannya dan mengikuti upacara natal adalah bertentangan dengan kandungan ayat-ayat Al-Qur:an (QS Al-Baqarah 42, Al-Ma:Idah 72, 73, 75, 116 dan 118, Al-Kafirun 1-6). Hadits Nabi saw tentang kedudukan perkara yang syubhat, dan fatwa MUI.
e. Anjuran doa bersama antar pemeluk agama, adalah berentangan dengan Al-Qur:an (QS At-Taubah 84, Al-Muafqun 5-6), dan Hadits Nabi saw tentang kedudkan perkara yang syubhat.
Kedelapan; Pemahaman para penulis FLA tentang ahlu dzimmah dan jizyah yang dianggap diskrimiatif dan menomor-duakan non-muslim, adalah keliru karena konsep ini dimaksudkan sebagai perlindngan terhadap kaum minoritas dengan konsekuewnsi membayar jizyah sebagai kompensasi atas jaminan keamanan dan perlindungan terhadap jiwa mereka (penyalin : ahlu dzimmah tak dikenai kewajiban bela negara). Dasar dan konsep ini QS At-Taubah 29, dan beberapa Hadits shahih riwayatal-Bukhari dan at-Tirmidzi. konsep ahlu dzimmah dan jizyah merupakan konsep keseimbangan antara kewaiban dn hak bagi kaum minoritas di negara Islam, bukan tekanan dari sikap diskriminatif dari penguasa muslim. Oleh karena itu tidak benar jika konsep ini dipandang sebagai titik awan hubungan antar umat beragama.230
230(http://makalahlaporanterbaru1.blogspot.com/2012/04/gambaran-tentang-fiqih-lintas-agama.html. 16-12-014. 10.45)
318
BABA III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian-uraian di atas dapat kita lihat bagaimana pemikiran dan konsep-konsep yang ada dalam buku Fiqh Lintas Agama. Adapun kesimpulan yang dapat penulis sampaikan dari kajian fiqih lintas agama dalam makalah yang sederhana ini adalah :
1. Fiqih lintas agama adalah salah satu terobosan fiqih yang mencoba mengangkat persoalan-persoalan yang belum dibahas secara maksimal dalam fiqih klasik, terutama yang berkaitan dengan persoalan-persoalan pluralism dan hubungan antar agama islam dan agama non Islam.
2. Fiqih lintas agama mencoba menawarkan bentuk hukum yang mengakomodir kepentingan-kepentingan agama Islam maupun non muslim.
3. Fiqih lintas agama dalam mengembangkan fiqh banyak yang keluar dari Al-maqashid As-Syar,iyyah yang menyebabkan keraguan para umat terutama orang –orang awam.
4. Sebagai umat muslim/muslimah harus bisa membedakan mana pendapat yang lebih saheh dan kuat, dan man pendapat yang masih lemah atau meragukan.
319
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim Barkatullah dkk, Hukum Islam, Menjawab Tantangan Zaman yang Terus Berkembang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Ahmad Amir Aziz, New Modernisme Islam di Indonesia, Jakarta: Renika Cipta, 1999.
Akhmad Taufik Weldan, Metodologi Studi Islam, Jawa Timur: Bayumedia Publishing, 2004.
Farid Esack, Qur’an Liberation and Pluralism: An Islamic Perpective of Interrelegious Solidarity agains Oppression (terj. Watung A. Budiman), Bandung: Mizan, 2000.
Fiqih Realitas, Respon Ma’had Aly Terhadap Wacana Hukum Islam Kontemporer, Pustaka Pelajar, 2005.
El-Jadid, Ilmu Pengetahuan Islam, ( Volume 3 no 2 : 2005)
Ibnu Rusyd, Fash al-Maqal fi ma bayn al-Hikmah wa al-Syar’iah min al-Ittishal, Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-Arabiyah, cetakan kedua, 1999.
Hasan hanafi, Min al-Aqidah ila al-Tasawrah; al-Muqaddimat al-Nazhariyah, Jilid I, Maktab Madbuli, 1988.
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan umat, Bandung : Mizan Pustaka, 2007.
Muhammad Abid al-Jabiri, al-‘Aql al-Siyasi al-araby, Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-Arabiyah, cetakan ketiga, 1995.
320
Mahmud Muhammad Thaha, The second Message of Islam, (terj. Nur Rachman), (Surabaya: ELSAD, 1999),
Mukti Ali, Memahami beberapa Aspek Ajaran Islam, Bandung: Mizan, 1990.
Munawir Sjadzali, Kontekstualisasi Ajaran Islam, Jakarta: PT. Temprint, 1995.
M. Syafi’I Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1995.
Nurcholish Madjid, Fiqh Lintas Agama, Jakarta: Paramadina, 2004.
Suhadi, Kawin Lintas Agama, Persfektif Kritik Nalar Islam, Yogyakarta: LKIS, 2006.
(http://makalahlaporanterbaru1.blogspot.com/2012/04/gambaran-tentang-fiqih-lintas-agama.html. 16-12-014. 10.45)